1.1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
1.2. Sosiologi dan Pengetahuan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang paling mulia. Sejak lahir Tuhan mengkaruniai manusia akal budi. Akal budi diciptakan untuk berfikir, berkehendak, dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan.
Sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika. Logika merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran. Ketika kita sudah mengetahui batasan sosiologi, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan?
Kalau para pelopor sosiologi, sejak dahulu tentunya menganggap bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Namun benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui dahulu apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dan pengertahuan itu dapat dikontrol oleh orang lain atau umum (obyektif). Atau ilmu pengetahuan bisa dirumuskan apabila memiliki beberapa elemen (unsur) yang menjadi suatu kebulatan, yaitu :
pengetahuan (knowledge)ü
tersusun secara sistematisü
menggunakan pemikiranü
bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)ü
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi, pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan angan-angan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan diterapkan langsung.
1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)
Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS (FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan. Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit analisis.
Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan..
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri, ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang, terutama pendapatnya tentang “agama sebagai candu masyarakat“ (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat (juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Bukunya yg terkenal berjudul “ A Contribution to the histoy of Medieval Business Organizations” dan “ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” (1904) . Dalam bukunya yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan “nominalis” yg lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi social.
1.3.4. Émile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul “ The division of Labor in Society” (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci. Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui factor penyebabnya.
1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.
Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan
ompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai perbedaan kebudayaan dan masyarakat, etnosentrisme, xenosentrisme, dan relativisme kebudayaan.
7.1. Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
7.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya seperti kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan keben¬daan yang mempunyai kegunaan utama di Main melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkung¬an alam, pada taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf tekno¬logi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai ling¬kungan alamnya.
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.
7.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam, be¬lum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pen¬dapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebu¬dayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat¬-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peter¬nakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).
Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.13 Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang dise¬butnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items. Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai ke¬gunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.
7.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai contoh contoh suatu masyarakat sudah emncoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur, makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb. Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways (kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat. Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores). Jadi mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut.
7.5. Etnosentrisme
Etnosentrisme bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dgn standar kelompok sendiri. Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”, kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
Etnosentrisme membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.
7.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang datang dari luar negeri lebih baik.
7.7. Relativisme Kebudayaan
Kita tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai yang kita anut. Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adl berhubungan dg lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan hrs dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak benar pada semau tempat”
Pertanyaan :
1. Menurut anda apakah musik jazz lebih bagus dari musik dangdut? Bagaimana anda menjelaskan jawaban anda dengan konsep relaitivisme kebudayaan?
2. Apakah etnosentrisme membantu ketahanan nasional atau etnosentrisme membahayakan ketahanan nasional?
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mengetahui mengenai perbedaan kebudayaan dan masyarakat, etnosentrisme, xenosentrisme, dan relativisme kebudayaan.
7.1. Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat
Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
7.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya seperti kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan keben¬daan yang mempunyai kegunaan utama di Main melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkung¬an alam, pada taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf tekno¬logi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai ling¬kungan alamnya.
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.
7.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam, be¬lum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti pen¬dapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebu¬dayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat¬-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peter¬nakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).
Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.13 Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang dise¬butnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items. Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai ke¬gunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.
7.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai contoh contoh suatu masyarakat sudah emncoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur, makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb. Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways (kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat. Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores). Jadi mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut.
7.5. Etnosentrisme
Etnosentrisme bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dgn standar kelompok sendiri. Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”, kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
Etnosentrisme membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.
7.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang datang dari luar negeri lebih baik.
7.7. Relativisme Kebudayaan
Kita tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai yang kita anut. Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adl berhubungan dg lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan hrs dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak benar pada semau tempat”
Pertanyaan :
1. Menurut anda apakah musik jazz lebih bagus dari musik dangdut? Bagaimana anda menjelaskan jawaban anda dengan konsep relaitivisme kebudayaan?
2. Apakah etnosentrisme membantu ketahanan nasional atau etnosentrisme membahayakan ketahanan nasional?
No comments:
Post a Comment