Garebeg merupakan perayaan ritual yang sangat popular dan disenangi
masyarakat. Karaton Jogjakarta dan Surakarta menyelenggarakan prosesi Garebeg,
tiga kali dalam setahun, yaitu :
Untuk sekedar informasi Tahun 2014 ini sama dengan Tahun Alip Jawa 1947
Garebeg Mulud telah diadakan pada tanggal 12 Mulud, pada
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
Garebeg Sawal yang diadakan pada tanggal 1 Sawal, setelah
bulan puasa.
Garebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 Besar,
pada hari raya Idul Adha
Pada penyelenggaraan Garebeg,
Sultan Jogja dan Sunan Solo memerintahkan aparat
karaton masing-masing untuk melakukan upacara tradisional berupa sesaji dalam
bentuk gunungan. Sesaji ini merupakan rasa syukur dan permohonan kepada Gusti
Allah, Tuhan untuk keselamatan dan kemakmuran negeri, kerajaan dan rakyatnya.
Prosesi Garebeg
Pagi hari dihari Garebeg, ribuan orang telah berada didepan Pagelaran
di Alun-alun Utara. Banyak orang telah berderet di Alun-Alun Utara dan
Mesjid Ageng, disepanjang 500 meter rute yang akan dilewati arak-arakan-
prosesi gunungan.
Dari dalam Pagelaran terdengar
alunan musik gamelan, trompet, tambor, lalu muncul barisan prajurit karaton
dengan berbagai uniform warna-warni dengan menyandang berbagai senjata
tradisional dan bedil-bedil kuno.
Prajurit karaton dari berbagai kesatuan dengan seragamnya yang khas dan indah
dan masing-masing kesatuan menyandang bangga lambang dan petakanya
masing-masing, berbaris mantap didepan sederet gunungan sesaji yang dikirabkan
dari Karaton menunuju ke Masjid Ageng di Kauman.
Di halaman masjid, sesudah upacara doa selesai, gunungan yang berupa sesaji
nasi tumpeng, sayur-mayur, buah-buahan, kue-kue dan lain-lain makanan akan
dibagikan kepada warga masyarakat yang menghadiri upacara ini. Mereka percaya
bahwa sedikit makanan, pemberian ratu memberi berkah keberuntungan dan
ketentraman hidup. Oleh karena itu ,untuk mendapatkan sedikit makanan,
orang harus mau berebutan. “ Orang yang beruntung” dengan senang hati
membawa makanan itu kerumah untuk disantap bersama keluarganya.
Tujuan Upacara Garebeg
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, upacara ritual Garebeg adalah upacara
karaton dimana Ratu memberikan sesaji gunungan dengan memohon berkah Gusti
Allah untuk keselamatan dan kemakmuran negeri, kerajaan/karaton dan seluruh
rakyatnya.
Kata”garebeg” itu sendiri berarti mengawal ratu atau pejabat tinggi karaton
untuk menerima pisowanan/audiensi dari keluarga maupun pegawainya
selama Upacara Garebeg. Upacara Garebeg yang terbesar adalah Garebeg Mulud pada
tahun Jawa Dal. Seperti diketahui Kalender Jawa mengenal adanya 8/delapan tahun
yang berputar ,yaitu : Tahun Alip, Ehe, Jimawal,
Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir.
Untuk sekedar informasi : Tahun 2014 ini sama dengan Tahun Alip Jawa 1947.
Perayaan Garebeg tahun 2014 ini diselenggarakan pada :
Garebeg Mulud telah diadakan 14 Januari 2014.
Garebeg Sawal akan diadakan 28 Juli 2014.
Garebeg Besar akan diadakan 3 Oktober 2014.
( Sebaiknya anda tanyakan kepada Biro Perjalanan atau Kantor Pariwisata atau
Informasi dari Karaton untuk mengecek tanggal yang tepat).
Perayaan Garebeg adalah satu upacara ritual kerajaan yang telah ada sejak masa
kuno yaitu dimasa Jawa Timur/Majapahit diabad ke 12. Sesudah kejatuhan Kerajaan
Majapahit diabad ke 15, muncul Kerajaan Demak di Jawa Tengah.
Pada masa awal Demak, Perayaan Garebeg tidak diselenggarakan. Hal ini membuat
orang-orang yang sudah terbiasa dengan tradisi tersebut, tidak senang
perasaannya. Sunan Kalijaga yang bijak dan peka, menasihati Raja supaya
Perayaan Garebeg dihidupkan lagi. Sejak saat itu, Garebeg juga dipakai untuk
penyebaran agama Islam. Gamelan ditabuh didekat masjid dan hal tersebut menarik
banyak orang.
Sunan Kalijaga adalah seorang Wali yang bijak, tutur katanya sopan dan lembut,
beliau mengajak orang untuk masuk Islam tanpa menjelekkan agama dan kepercayaan
lain.
Penabuhan gamelan selama perayaan Garebeg disebut ‘Sekaten”. Dari zaman kuno
sampai kini, Sekaten tetap menarik banyak orang.
Gunungan
Yang menjadi perhatian dalam Upacara
Ritual Garebeg adalah sesaji yang berupa gunungan. Ada 6/enam macam gunungan,
yaitu :
Gunungan Lanang
Gunungan Pria yang tingginya 1.5 meter ini diletakkan diatas nampan kayu
berukuran 2x 1.5 meter.
Mustoko yaitu bagian atas gunungan dihias dengan Baderan,
kue-kue kecil terbuat dari beras dan berbentuk ikan. 5/lima buah rangkaian
bunga dari melati dan kanthil digantungkan pada Baderan.
Bendhul yaitu kue-kue dari beras berbentuk bola-bola kecil dan
telur-telur asin juga menghiasi bagian atas gunungan. Seluruh badan gunungan
ditutupi dengan kacang panjang hijau dan Lombok merah.
Ujung dari setiap deretan kacang panjang hijau dihias dengan kucu,
kue kecil dari beras ketan dalam bentuk cincin dan upil-upil yang
berbentuk segitiga.
Diatas nampan kayu digelar kain dengan motif Bangun Tulak untuk
mengusir gangguan mahluk halus jahat dan gangguan –gangguan lain. Diatas
nampan itu diletakkan : 12 buah nasi tumpeng; 4 buah wadah dari daun
pisang yang diisi bermacam laik pauk; sepasang daun pisang muda. Disetiap sudut
nampan, digantungi dengan rangkaian bunga melati.
Gunungan Wadon
Bagian atas dari Gunungan Wadon atau Gunungan Putri ini berbentuk
seperti payung yang terbuka yang dihiasi dengan sebuah kue besar yang rata,
dikelilingi oleh rengginan ,kue-kue kecil berbentuk daun dan
kuncup bunga. Badan gunungan dihiasi dengan kue-kue dari beras ketan
berbentuk bintang, cincin dan segitiga. Dihiasi pula dengan kue-kue lain
seperti eblek yang bentuknya persegi; betetan yang seperti
paruh burung betet; wajik, kue manis warna cokelat dan berbagai
macam buah.
Seperti gunungan yang lain,nampan kayunya juga digelar kain bermotif Bangun
Tulak untuk tolak bala. Gunungan Wadon bentuknya mirip sebuah bunga
besar.
Gunungan Gepak
Gunungan yang puncaknya rata ini juga diletakkan diatas nampan kayu ukuran 2x
1.5 meter, nampannya juga ditutup dengan kain Bangun Tulak dengan maksud
yang sama.
Di atas nampan diletakkan sesaji yang berupa : 40 buah keranjang yang berisi
kue-kue dengan lima macam warna ,yaitu : merah, biru, kuning, hijau dan hitam
dan berbagai macam buah-buahan.
Gunungan Pawuhan
Gunungan Pawuhan mirip dengan Gunungan Wadon. Dipuncaknya
beberapa bendera putih ditancapkan. Badan gunungan dihias dengan
bendera-bendera bulat warna hitam.
Gunungan Darat
Puncak gunungan ini juga rata. Beberapa kue warna hitam ditaruh disitu,
dikelilingi oleh kue-kue kecil dari beras ketan berbentuk seperti bibir
manusia.
Gunungan Kutug/Bromo
Kutug dalam bahasa Jawa artinya membakar kemenyan. Banyak orang
yang percaya bahwa kutug/ membakar kemenyan adalah untuk memudahkan
komunikasi dengan alam halus.
Gunungan Kutug bentuknya mirip Gunungan Putri, tetapi hiasannya
berupa kue-kue dan buah-buahan seperti Gunungan Lanang. Seperti
gunungan yang lain ditempatkan diatas nampan kayu yang ditutup dengan kain Bangun
Tulak.
Di puncak gunungan ini ada sebuah lobang untuk menempatkan sebuah anglo/tungku
untuk membakar kemenyan. Selama parade gunungan, asap kemenyan terus menerus
keluar dari gunungan ini.
Gunungan Kutug atau Bromo hanya keluar pada saat Garebeg Mulud
ditahun Dal, artinya sekali setiap delapan tahun. Sesaji gunungan Kutug
diperebutkan oleh para putri Karaton.
Setiap gunungan yang dikirab diusung oleh 16/enambelas abdidalem/pegawai
raja dari Karaton sampai Masjid Ageng. Untuk Gunungan Lanang ditambah
dengan 2/dua orang yang mendukung gunungan itu dengan dua buah galah supaya
gunungan tetap tegak.
Lalu berapa buah gunungan yang dibuat untuk Perayaan Garebeg?
Pada zaman kuno untuk Garebeg Mulud
ditahun Dal dibuat 31/ tiga puluh satu buah gunungan, terdiri dari :
- 10 Gunungan Lanang
- 4 Gunungan Wadon
- 4 Gunungan Pawuhan
- 4 Gunungan Darat
- 8 Gunungan Gepak
- 1 Gunungan Kutug/Bromo
Untuk Garebeg Sawal disiapkan
12 gunungan.
Garebeg Besar disiapkan 30/ tigapuluh buah gunungan (seperti Garebeg
Mulud Tahun Dal, hanya tanpa Gunungan Bromo).
Pada saat ini jumlah gunungan yang dikirab lebih sedikit. Karaton Jogjakarta
biasanya membuat 6/enam buah gunungan, yaitu : 2 Gunungan Lanang; 1 Gunungan
Wadon; 1 Gunungan Gepak; 1 Gunungan Pawuhan; 1 Gunungan
Darat.
Puro Pakualaman menerima 1 Gunungan Lanang dari Karaton Jogjakarta.
Karaton Surakarta biasanya mengkirab
4 buah gunungan.
Persiapan Upacara Ritual Garebeg
Upacara Numplak Wajik
Upacara Numplak Wajik
menandakan dimulainya perayaan Garebeg. Upacara ini dilakukan di
Kemagangan Kidul dikompleks Karaton, disaksikan oleh keluarga raja dan seorang
pejabat tinggi Karaton.
Disore hari, beberapa hari sebelum Garebeg, beberapa pegawai karaton memainkan
music tradisional yang disebut “Gejogan”, yaitu memukuli lesung
kayu dengan alu, mereka menendangkan Tembang Tundhung Setan,
sebuah tembang kuno untuk mengusir mahluk halus jahat.
Pembuatan Gunungan
Pembuatan gunungan dilakukan oleh
para seniman karaton yang ahli dalam bidang ini. Untuk menghormati tradisi yang
sudah berlaku sejak dulu, yang dibuat terlebih dahulu adalah Gunungan Putri,
ini untuk menghormati tugas mulia wanita dalam proses kehidupan. Berbagai macam
benda disajikan untuk pembuatan gunungan ini ,yaitu ; kosmetik, sebuah sisir,
sirih ayu, kain bangun tulak, sehelai kain mori warna putih, sumekan-
pakaian penutup dada wanita.
Baru kemudian dibuat jenis gunungan yang lain. Gunungan yang sudah jadi
sementara disimpan di Omah Gunungan- Rumah Gunungan yang berada
di Kemagangan Timur dan Barat.
Gamelan Sekaten
Untuk Garebeg Mulud, 2 set gamelan
dipersiapkan. Gamelan ini dikenal oleh umum sebagai gamelan Sekati
yang terdiri dari :
Kyai Gunturmadu yang berarti mendapat berkah yang baik.
Kyai Nogowilogo ,artinya selalu menang dalam perang.
Kyai Gunturmadu berasal dari Karaton Majapahit, Kyai Nogowilogo
merupakan duplikat dari Kyai Gunturmadu.
Setiap set gamelan terdiri dari : 1 saron demung, 2 saron barung.
1 saron penerus, 2 bende, I set kempyang, 1 bedug
dan 1 gong.
Sebelum tanggal 5 Mulud, gamelan dibersihkan dan diberi sesaji. Para Wiyogo,
penabuh gamelan harus menyucikan diri dengan cara berpuasa sehari, mandi suci
dan mencuci rambut/keramas, lalu ikut menghadiri Kenduri atau Selamatan,
berdoa bersama beberapa orang dengan sesaji berupa makanan untuk mohon selamat
dari Gusti Allah, Tuhan.
Dimalam hari pada 5 Mulud, gamelan dibunyikan di Karaton sebagai tanda
dimulainya Sekaten. Pertama kali ditabuh dulu Kyai Gunturmadu dengan gendhing/lagu
Wirangrong. Pada saat itu beberapa pangeran menyebarkan udhik-udhik
yang terdiri dari uang logam, beberapa macam bunga, beras kuning dan
irisan-irisan daun pandan kepada pemain gamelan dan gamelan.
Jam 23.00 permainan gamelan
dihentikan dan tepat tengah malam jam 24.00, 2 set gamelan tersebut di usung ke
kompleks Mesjid Ageng.
Kyai Gunturmadu ditempatkan di Pagongan Kidul dan Kyai
Nogowilogo di Pagongan Lor.
Gamelan selalu ditabuh kecuali saat Adzan dan sholat lima waktu.
Pada tanggal 11 Mulud, jam 23.00 tepat, kedua set gamelan itu diangkut kembali
ke Karaton.
Prosesi pengusungan gamelan dari
Karaton ke Masjid dan sebaliknya dilaksanakan sesuai tradisi yang berlaku,
dengan khusuk, dikawal oleh beberapa petinggi karaton dan prajurit-prajurit
karaton, merupakan satu prosesi menarik yang disaksikan banyak peminat.
Palace Regalia / Benda-benda Kebesaran Raja
Pihak karaton juga mempersiapkan
9/Sembilan benda emas kebesaran raja, yaitu:
- Banyak (
Angsa) lambang kesucian.
- Dhalang
(Kijang) lambang kepandaian.
- Sawung
(ayam jago) lambang keberanian.
- Galing
(burung merak) lambang kekuasaan.
- Ardawalika
(naga) lambang tanggung jawab.
- Kacu Mas
( saputangan emas) lambang kebersihan.
- Kutug
( sebangsa ikan) lambang keindahan.
- Kandhil
( lentera) lambang kecerahan.
- Saput (
kotak perhiasan) lambang kesiapan.
Tanda-tanda kebesaran raja itu akan
dibawa oleh Manggung, petugas putri karaton dalam kirab Garebeg.
Ampilan
Ampilan adalah benda-benda
kelengkapan Sultan yang bernilai sakral, terdiri dari ;
Dampar Kencono – Kursi Emas, Singgasana Raja
Pancadan - Tempat menapakkan kaki)
Cepuri – Kotak tempat sirih ayu
Wijikan – Tempat cuci tangan
Badak – Kipas dari bulu burung merak
Pusaka
Beberapa benda pusaka seperti keris,
tombak dll ,ikut dikirabkan dalam Garebeg untuk mengawal Sultan.
Abdi Dalem Polowijo
Abdi Dalem Polowijo adalah kelompok khusus abdidalem/pegawai
karaton yang bentuk badannya cacat, tetapi mentalnya waras, seperti pincang,
bule/albino, ada juga orang kate/cebol yang disebut cebolan.
Mereka ikut kirab Garebeg berjalan didepan kelompok putri Manggung. Di
upacara khusus karaton seperti pisowanan, mereka berada dekat Sultan.
Ini merupakan bukti bahwa Sultan memperhatikan semua warga, meski mereka cacat
fisik, tetapi mampu mengabdi kepada Negara.
Kunjungan Sultan ke Masjid Ageng
Malam sebelum Garebeg Mulud yang
akan dilaksanakan hari besok,Sultan melakukan kunjungan ke Masjid Ageng di Kauman.
Pertama kali , beliau mengunjungi Pagongan Kidul dan Pagongan Lor untuk
menyebarkan udhik-udhik berupa uang logam dan berbagai macam bunga kepada
pemain gamelan dan gamelannya.
Kemudian Sri Sultan berkunjung ke masjid. Di serambi mesjid beliau disambut
oleh Kepala Penghulu dengan cium tangan Sultan dengan hormat. Kemudian Sultan
dan rombongan beserta seluruh hadirin mendengarkan dengan khidmat pembacaan
riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, dilanjutkan dengan doa selawat.
Sebelumnya Sultan masuk kedalam masjid untuk memberikan sumbangan dan udhik-udhik
didekat empat saka guru masjid.
Sesudah selawatan Kepala Penghulu mempersembahkan kepada Sultan dan pengikutnya
bunga melati dan kanthil. Sultan dan yang lain menyelipkan masing-masing
sebuah bunga diatas telinganya. Tradisi ini disebut “Caos Sumping”
yang melambangkan kesucian. Sebelum tengah malam ,Sultan dan pengiringnya
kembali ke karaton.
Kirab Gunungan
Dipagi hari pada hari Garebeg, semua pejabat dan petugas karaton telah
siap untuk melaksanakan Perayaan Garebeg. Kirab dimulai dari dalam
karaton. Sultan duduk di singgasananya di Bangsala Kencono (
Bangsal Emas) memerintahkan kepada Pangeran senior yang mendapat tugas untuk
memimpin dan memulai kirab gunungan.
Kirab dari prajurit dan perwira karaton, gunungan dan lain-lain benda sakral
karaton, mulai bergulir dari Bangsal Kencono menuju Bangsal Manguntur
Tangkil di Sitihinggil.
Sultan kemudian duduk di singgasana diatas Selo Gilang didampingi
oleh beberapa pangeran dan pejabat-pejabat karaton. Korps music karaton
memainkan lagu kuno “ Munggang” , kemudian beberapa kesatuan
prajurit karaton dengan uniformnya dan petaka-petakanya yang indah dan
berwarna-warni berbaris dan memberikan hormat kepada Sultan. Mereka berbaris
turun ke Pagelaran untuk selanjutnya ke Masjid Ageng. Pada baris
terakhir adalah kesatuan Mantrijero yang membawa dan memainkan
gamelan Kyai Guntursari selama prosesi berlangsung.
Kemudian terdengan alunan lagu “Kodok
Ngorek” dari dua set gamelan karaton Kyai Keboganggang dan Kyai
Gunturlaut. Dengan diiringi lagu ini, gunungan mulai muncul dengan
didahului oleh sebuah Gagarmayang yang indah dan besar, berupa
rangkaian bunga dan dedaunan. Yang muncul pertama adalah Gunungan
Kutug/Bromo yang mengepulkan semerbak dupa kemenyan yang dibakar, lalu
diikuti oleh gunungan-gunungan yang lain.
Munculnya barisan gunungan disambut salvo prajurit karaton dan tepuk tangan
gempita para pengunjung. Orang-orang di Alun-alun Lor berteriak gembira,
secara tradisi mereka percaya mendapatkan berkah dari Sultan sehingga akan
mendapatkan keberuntungan dalam hidupnya dan para petani yang hadir percaya bahwa
panen tahun ini akan bagus.
Prosesi mulai memasuki Alun-alun Lor. Mula-mula terlihat barisan prajurit
karaton dan perwira-perwiranya, beberapa pangeran dan pejabat tinggi karaton,
abdi dalem khusus Polowijo dan Cebolan( cacat fisik), pusaka raja
dan pengawal-pengawal raja. Beberapa pusaka selalu dipayungi dan diasapi dupa
kemenyan.
Pada masa kini, Sultan tidak berada dalam kirab gunungan, Sultan Hamengku
Buwono VIII almarhum adalah Sultan terakhir yang ikut kirab gunungan.
Di Masjid Ageng, Kenduri dipimpin Kepala Penghulu. Ini merupakan Wilujengan
Negari untuk keselamatan negeri. Sesudah acara ini selesai, dilanjutkan
dengan makan bersama, dhahar kembul
Sementara itu, dihalaman masjid,
ratusan orang dengan riuh rendah berusaha mendapatkan sedikit makanan dari
sesaji gunungan, mereka percaya akan mendapatkan kehidupan yang lebih tentram
dan baik.
Sesudah makan siang bersama, raja atau wakilnya dan para pejabat mengambil dan
membawa sedikit makanan, ini disebut “berkat” untuk disantap
bersama keluarga dirumah. Secara tradisi hal ini dipercaya bahwa siapapun yang
menyantap “berkat” akan mendapat berkah dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.
Puro Pakualaman
Dihari Garebeg, pagi hari, beberapa
pembesar Puro Pakualaman, didampingi oleh prajurit-prajurit Pakualaman, telah
siap dan berada dihalaman depan Puro yang luas dan tertata apik.
Mereka menunggu utusan-utusan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat yang ditunjuk
Sultan untuk menyampaikan sebuah gunungan sesaji berupa sebuah Gunungan
Lanang.
Puro Pakualamaman tidak membuat
gunungan, dengan terhormat Puro Pakualaman menerima pemberian gunungan
dari Karaton Jogjakarta.
Gunungan Lanang kiriman Karaton Jogjakarta kepada Puro Pakualaman itu dilakukan
melalui sebuah parade yang sangat menarik dan megah.
Gunungan tersebut dikawal oleh Prajurit Kavaleri Karaton termasuk 4 ekor
gajah dan diperkuat oleh 2 peleton prajurit Pakualaman dari kesatuan
Lombok Abang dan Plangkir. Sepanjang jalan kirab sejauh
kira-kira 2 kilometer itu dipenuhi oleh penonton yang sangat menikmati prosesi
itu.
Proses serah terima gunungan
berjalan dengan khusuk tetapi juga gembira. Salah seorang pangeran senior dari
Pakualaman atas nama Sri Paku Alam IX menerima dengan tulus anugerah dari
Sultan Hamengku Buwono X.
Kemudian gunungan digotong oleh para
prajurit Pakualaman ke halaman masjid Puro Pakualaman. Sesaji gunungan langsung
dibagikan kepada kawula dan yang membutuhkan.
Pisowanan di Karaton
Pada saat garebeg Mulud dan Sawal, di karaton diadakan pisowanan,dimana Sultan
menerima audiensi dari anggota keluarga, pejabat karaton dan pejabat daerah
lainnya.
Dalam pisowanan, mereka yang
menghadap menghormat Sultan sesuai dengan protokol karaton yaitu “sembah
bekti” kepada Sultan.
( Sembah: Menghormat dengan menyatukan kedua telapak tangan
dengan kedua ibu jari menyentuh pucuk hidung. Bekti : Menghormat
dengan tulus dan taat).
Sultan dan para tamu mengenakan busana Jawa kebesaran. Sultan duduk dengan
posisi tubuh tegak. Para tamu yang memberikan “sembah bekti”, satu
persatu berlutut didepan Sultan,lalu menghaturkan sembah , mencium lutut kanan
raja dengan menempelkan sedikit ujung hidungnya ke lutut raja, kedua telapak
tangannya kanan dan kiri memegang lutut Sultan dan menghaturkan : “ Saya
menghaturkan “sembah bekti”, maafkan segala kesalahan saya dan saya
memohon berkah Sultan/ Ngarso Dalem”. ( Dalam bahasa akrab sopan,
kawula Jogja menyebut Sultan sebagai “Ngarso Dalem”). Dalam jawabannya,
Sultan akan menepuk-nepuk secara pelahan punggung atas dari yang menghadap dan
memberkahinya.
Di Karaton Surakarta, “sembah bekti” dihaturkan kepada Sinuwun (
raja), tidak melakukan cium lutut kanan tetapi ke jempol kaki kanan raja.
( Sampai dengan saat ini, keluarga dan keturunan raja yang tinggal diluar
Karaton, yang masih melestarikan tradisi Jawa, melakukan “sembah bekti”
yang sama kepada orang tua dan kakek neneknya, pada saat perayaan Lebaran, hari
saling memaafkan di bulan Sawal)
Ada tata cara khusus bagi saudara Sultan yang lebih tua untuk menyampaikan “sembah
bekti” kepada Sultan. Seorang Pangeran, paman Sultan, berjalan menghampiri
Sultan yang duduk di singgasananya, kira-kira dua meter dari Sultan berhenti,
sedikit menekuk lututnya, mengangkat kedua tangannya , jempol kiri dan kanan
tangannya menyentuh telinga kiri kanannya sendiri dan menghaturkan”sembah
bekti’. Sultan menjawab dengan cara yang sama dari tempat duduknya.
Dimasa kuno, pada masa kekuasaan ditangan raja, bawahan yang tidak
melakukan”sembah bekti” kepada raja, dinilai tidak setia, bahkan memberontak
dan akan menerima hukuman.
Sembah bekti di Puro Pakualaman disampaikan kepada Sri Paku Alam IX.
Sembah bekti di Puro Mangkunegaran dihaturkan kepada Sri Mangkoe Nagoro IX.
Karaton Surakarta Hadiningrat
Karaton Surakarta juga
menyelenggarakan upacara Garebeg yang waktunya sama dengan garebeg di
Jogjakarta.
Di karaton Surakarta, gunungan disiapkan dikompleks karaton yang bernama Koken,
artinya dapur, 4/empat hari sebelum hari Garebeg dibulan-bulan Jawa
Mulud, Sawal dan Besar.
Beberapa priyayi karaton ditunjuk untuk melaksanakan Perayaan Garebeg
yang dikeluarkan oleh Parentah Karaton. Raja, Susuhunan
Pakoe Boewono XIII, dari tempat semayamnya memberi perintah kepada
Pejabat Karaton, Mas Tumenggung Bupati untuk meneruskan kepada
pejabat-pejabet terkait di Bangsal Marakata untuk melaksanakan upacara Garebeg.
Untuk Garebeg Mulud, Gamelan karaton Kanjeng Nyai Sekati yang
terdiri dari Gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Gamelan
Kanjeng Kyai Guntursari dikeluarkan dari Bangsal Parangkarso.
Abdi dalem, pegawai karaton dari kesatuan Semut Ireng mengangkut
gamelan-gamelan tersebut dipundaknya ke Mesjid Ageng di sebelah barat
Alun-alun Lor. Gamelan-gamelan itu ditempatkan di Bangsal Pagongan.
Selama Pasar Malam Sekaten untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, ,gamelan selalu dibunyikan kecuali
pada saat sholat wajib lima waktu.. Gunungan dibawa kembali ke karaton pada
saat berakhirnya Sekaten.
Sesaji gunungan dibagikan kepada yang hadir dihalaman masjid saat Garebeg dan
kepada pegawai karaton di istana.
Banyak orang Solo, orang biasa dan
petani yang senang sekali menikmati gendhing-gendhing/ musik yang
ditabuh oleh Gamelan Sekati Mereka itu mendengarkan selama berjam-jam didepan
Pagongan menikmati lagu-lagu favoritnya terutama komposisi musik gamelan “Rembu”
dan “Rangkung”
“Rembu” intinya merupakan pujaan kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha
Kuasa; sedangkan “Rangkung” mengajak orang untuk mempunyai jiwa besar
dalam hidup ini. Untuk orang-orang ini, lantunan Gamelan Sekaten adalah
obat penenang yang nikmat dalam kehidupan duniawi yang hiruk pikuk ini,
sehingga sangat berguna untuk keseimbangan hidup.
Pada saat Garebeg Mulud, Sawal dan Besar, diadakan pisowanan
kepada Sinuwun, dimana para abdi dalem, pejabat karaton
diwajibkan untuk turut ambil bagian sebagai tanda hormat dan setia kepada Raja.
Jagadkejawen,
Suryo S.Negoro