Revolusi Perancis (bahasa Perancis:
Révolution française;
1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik
di Perancis
yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan
lebih luas lagi, terhadap Eropa
secara keseluruhan. Monarki absolut yang telah memerintah Perancis
selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis mengalami
transformasi sosial politik yang epik; feodalisme,
aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok
politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan
oleh masyarakat petani di perdesaan.[1]
Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat,
dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh
prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan,
persamaan, dan persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada
monarki lainnya di seluruh Eropa, yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi
monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat. Pertentangan antara pendukung
dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.
Di tengah-tengah krisis
keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI
naik takhta pada tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin
menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya
ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi
Perancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada
bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Perancis diawali dengan
diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada
bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille
pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita
di Versailles yang memaksa istana kerajaan pindah kembali ke Paris
pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Perancis didominasi
oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya
menggagalkan reformasi.
Sebuah negara republik didirikan pada
bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun kemudian. Perang Revolusi Perancis dimulai pada tahun
1792 dan berakhir dengan kemenangan Perancis secara spektakuler. Perancis
berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan
sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi
terbesar Perancis selama berabad-abad.
Secara internal, sentimen
radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran
virtual oleh Komite Keamanan Publik
selama Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794.
Selama periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Perancis tewas.[2]
Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih
kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh Konsulat di bawah
pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Perancis telah
menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah Modern.
Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal,
menyebarnya sekularisme, perkembangan ideologi
modern, dan penemuan gagasan perang total
adalah beberapa warisan Revolusi Perancis.[3]
Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi
monarki terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki Juli,
serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834
dan 1848 yang melahirkan
Perancis modern.
Daftar
isi
- 1 Penyebab
- 2 Pra-revolusi
- 3 Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)
- 3.1 Penyerbuan Bastille
- 3.2 Perumusan konstitusi baru
- 3.3 Mars perempuan di Versailles
- 3.4 Revolusi dan Gereja
- 3.4.1 Kemunculan berbagai faksi
- 3.4.2 Ke arah konstitusi
- 3.4.3 Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
- 3.4.4 Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau
- 3.4.5 Pelarian ke Varennes
- 3.4.6 Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional
- 3.5 Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki
- 3.6 Konvensi
- 3.7 Direktorat
- 4 Lihat pula
- 5 Tokoh-tokoh
- 6 Referensi
Penyebab
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penyebab Revolusi
Perancis
Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an,
dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani
masalah ini.
Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Perancis
adalah ketidakpuasan terhadap Ancien Régime.
Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari
perspektif Marxis;
hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak sehat,
panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang tidak
memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah.
Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu oleh kebangkrutan
pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang besar akibat
keterlibatan Perancis dalam berbagai perang besar. Upaya Perancis dalam
menantang Inggris –
kekuatan militer utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana,
menyebabkan hilangnya jajahan Perancis di Amerika Utara
dan hancurnya Angkatan Laut Perancis. Tentara Perancis dibangun kembali dan
kemudian berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika, namun perang ini
sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan keuntungan yang nyata bagi
Perancis. Sistem keuangan Perancis terpuruk dan kerajaan tidak mampu menangani
utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis keuangan ini, raja lalu
memanggil Majelis Bangsawan pada
tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari satu abad.
Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles
dan terkesan acuh tak acuh terhadap krisis yang semakin meningkat. Meskipun
secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk monarki absolut,
namun dalam prakteknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur jika menghadapi
oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran pemerintah,
namun lawannya di parlement berhasil menggagalkan
upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih luas. Penentang kebijakan
Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara,
misalnya dengan membagikan pamflet yang melaporkan informasi palsu dan
dilebih-lebihkan untuk mengkritik pemerintah dan aparatnya, yang semakin
memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[4]
Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Perancis
adalah kebencian terhadap pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya
cita-cita Pencerahan. Ini termasuk kebencian terhadap
absolutisme kerajaan;
kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum borjuis terhadap
hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian terhadap Gereja Katolik
atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga negara;
keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta
perdesaan miskin terhadap uskup aristokrat; keinginan untuk mewujudkan
kesetaraan sosial, politik, ekonomi, serta (khususnya saat Revolusi
berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie Antoinette,
yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena
memecat bendahara keuangan Jacques Necker, salah satu
orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]
Pra-revolusi
Krisis keuangan
Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama
(pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya.
Louis XVI
naik takhta menjadi raja Perancis di tengah-tengah krisis keuangan;
negara sudah hampir bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[6]
Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh keterlibatan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[7]
Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot
dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun kemudian,
seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk
menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan resmi
karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Perancis sangat regresif; masyarakat kelas
bawah dikenakan pajak yang lebih besar,[8]
sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.[9]
Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan pendeta
harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar
permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan
untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa defisit negara menembus
angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan kekuasaan parlement.[8]
Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri
Raja, dan Necker, yang berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia
harus diangkat sebagai menteri, namun Raja menolaknya. Necker dipecat dan Charles Alexandre
de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[8]
Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis dan
mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[10]
Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut
pada kaum bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement,
Calonne mengadakan pertemuan dengan Majelis Bangsawan,
berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana Calonne, Majelis malah
melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai tanggapan, untuk
pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan Mei
1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki Bourbon
sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.[11]
Etats-Généraux 1789
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Etats-Généraux 1789
Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi
menjadi tiga golongan (etats): pendeta (Etats Pertama), kaum
bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Perancis (Etats
Ketiga).[12]
Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing
golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara
ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis
untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats
harus sama dengan susunan 1614.[13]
Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktek pada majelis daerah; di
daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats
Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya.
Sebagai contoh, di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk
menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan pemilihan
keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara per
etats.[14]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh",
sebuah kelompok liberal yang beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi
terhadap suara etats. Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari
orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux
harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan
bahwa sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang
berdaulat".[15]
Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan
penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih
untuk Etats Ketiga adalah harus laki-laki kelahiran Perancis atau naturalisasi,
setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat pemilihan
berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir
25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu de vote et compris
au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291
bangsawan, 300 pendeta, dan 610 anggota Etats Ketiga.[16]
Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de
Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang
dihadapi negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal
semakin merebak setelah dicabutnya penyensoran pers.[15]
Abbé Sieyès, seorang
teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai betapa pentingnya
keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le tiers état?
(bahasa Inggris: "What is the Third
Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia
menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam
tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."[13][19]
Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.
Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles
des Menus-Plaisirs, Versailles, pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka
dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga menuntut agar
verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi,
bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara internal;
negosiasi dengan etats lainnya gagal mewujudkan hal ini.[18]
Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau
mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya
memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya
masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah".[20]
Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Majelis Nasional
(Revolusi Perancis)
Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis
(sketsa oleh Jacques-Louis David).
Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats
Ketiga, dan sekarang mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat
Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya
ini tidak diindahkan.[22]
Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri
sebagai Majelis Nasional,
majelis yang bukan berasal dari etats, namun dari golongan
"Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung, namun menegaskan
bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi permasalahan
bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis
mengadakan pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat
Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak
memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga
Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di
tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada
20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka
bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis,
serta 47 orang dari kaum bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara
terang-terangan telah menunjukkan penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah
besar pasukan militer mulai diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles.
Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari kota-kota lainnya
di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis
Konstituante Nasional.[24]
Majelis Konstituante
Nasional (1789–1791)
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Majelis
Konstituante Nasional
Penyerbuan Bastille
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Penyerbuan Bastille
Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan
Perancis karena dianggap memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu
Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois,
dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja
agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11 Juli 1789, setelah
Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik, Raja memecatnya,
dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang.[25]
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak
langsung ditujukan pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka
setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan harinya. Mereka juga
khawatir terhadap banyaknya tentara – kebanyakan tentara asing – yang
ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan
di Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat
pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh berbagai
kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari
beberapa Garda Perancis yang
dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara, 26 Agustus 1789.
Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar
senjata dan amunisi di benteng dan penjara Bastille,
yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam
pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun
terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay
dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan
diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri,
dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka
pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime.
Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands
(setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles
sebagai pengkhianat, dan membantainya.[27]
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya
mundur untuk sementara waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando
Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly,
presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis,
menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan komune.
Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul pita triwarna,
diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive
le Roi ("Hidup Raja").[28]
Necker kembali menduduki jabatannya, namun kejayaannya berumur pendek.
Necker memang seorang ahli keuangan yang cerdik, namun sebagai politisi, ia
kurang terampil. Necker dengan cepat kehilangan dukungan rakyat setelah
menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Perancis masih tetap
memburuk. Kekerasan dan penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan
yang mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-bondong pindah ke negara
tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-kelompok
kontra-revolusi di Perancis dan mendesak monarki asing untuk memberikan dukungan
pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah
menyebar di seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, rakyat jelata mulai membentuk
milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa di antaranya
menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian
dari pemberontakan agraria umum yang dikenal dengan "la Grande
Peur" ("Ketakutan Besar").
Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya kerusuhan
dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum dan kacaunya
ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi
baru
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional
menghapuskan feodalisme (meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan
petani yang hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam
dokumen yang dikenal dengan Dekrit Agustus, yang
menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme
(menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu
beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan
hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara, yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan
efek hukum. Majelis Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif,
namun juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil
mencapai kesepakatan dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan
dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi
dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu, yaang
memutuskan bahwa Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral.
Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa
menunda implementasi undang-undang, namun tidak bisa membatalkannya. Pada
akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di
Perancis dengan 83 départements, yang dikelola secara seragam menurut
daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan
konstitusional, krisis keuangan terus berlanjut, sebagian besarnya belum
terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré Mirabeau kemudian
memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis memberi Necker
hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di
Versailles
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Mars perempuan di
Versailles
Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.
Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat
penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai
berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama
berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota
segera menindak permasalahan mereka.[32]
Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka hadapi,
terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar kerajaan
menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar
Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik dalam
mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota,
sebanyak 7.000 wanita bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam
dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda Nasional di bawah
komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes, namun situasi
menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh beberapa
penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui permintaan
massa, dan Raja beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris. Pada
tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke
Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[33]
Revolusi dan Gereja
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Dekristenisasi
Perancis selama Revolusi Perancis dan Konstitusi Sipil
Pendeta
Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan
mereka setelah dekrit 16 Februari 1790.
Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang
sebelumnya dikuasai oleh Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara.
Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah terbesar di
Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34]
Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga
berhak menerima dîme (zakat)
10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam
bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang
diberikan kepada masyarakat miskin.[34]
Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari
beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan
yang tinggal di Perancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang
anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam kepada para pendeta yang
melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan seperti Voltaire
membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik
dan mendestabilisasi monarki Perancis.[35]
Menurut sejarawan John McManners, "Pada
abad kedelapan belas, takhta Perancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan
ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya
pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar
130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika Majelis Nasional
didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih
untuk bergabung dengan Majelis.[37]
Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi.
Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja
untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada
tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa properti Gereja menjadi
"milik negara".[38]
Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu
keberlangsungan Gereja juga menjadi tanggungjawab negara, termasuk membayar
para pendeta untuk merawat orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[39]
Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada
penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif
menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[40]
Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik
dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[41]
Para biarawan
dan biarawati
disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya
akhirnya menikah.[42]
Konstitusi Sipil
Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa
pendeta adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor
dan uskup paroki, serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian besar
pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena hal itu berarti
bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas Gereja Perancis. Akhirnya,
pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia
pada Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta Katolik.[42]
Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil sumpah
dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua
pendeta di Perancis telah mengambil sumpah.[43]
Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan "dibuang,
dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40]
Paus Pius VI
tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin
terisolasinya Gereja Perancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran
de-Kristianisasi di Perancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para
pendeta, serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh
Perancis. Upaya untuk menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya
dengan mengganti festival agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Alasan adalah
langkah terakhir dalam de-Kristenisasi radikal di Perancis. Peristiwa ini
menyebabkan munculnya kekecewaan dan penentangan terhadap Revolusi di seluruh
Perancis. Warga seringkali menolak de-Kristenisasi dengan cara menyerang agen
revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik
dipaksa untuk menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Alasan dengan deisme,
walaupun masih non-Kristen.[44]
Konkordat 1801
antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi dan mulai
membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja Katolik
dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja
dengan urusan negara pada tanggal 11 Desember 1905. Penganiayaan terhadap
pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan kontra-revolusi, yang berpuncak
dalam Pemberontakan Vendee.
Kemunculan berbagai
faksi
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Majelis
Konstituante Nasional.
Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine
Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury
memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi.
"Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker,
cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris:
mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de
Lally-Tollendal, Comte de
Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet,
Comte de Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau
kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau,
Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave
dan Alexander Lameth mewakili
pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi
kiri adalah pengacara Arras
Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin
pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan
distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas
menengah Garda Nasional
yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai
kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri
lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini
terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi
dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi
Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur,
namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan
sebuah senat,
yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar
bangsawan mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh
para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki
majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif":
ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut
tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober
1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan
merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam
dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu
majelis ini memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk
defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada
masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam
keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil
Pendeta
Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil
Pendeta.
Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan
perhatian pada krisis keuangan ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta
milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember
1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah
meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja
yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari
1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil
Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli
1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26 Desember
1790), mengubah para
pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka bersumpah setia
pada konstitusi. Konstitusi Sipil
Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont
memimpin pemogokan pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus
tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan perpecahan
antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru
itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan
"bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang
menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour
ke kematian Mirabeau
Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa
antara 14 Juli
1790 - 30 September
1791, lihat Dari peringatan
Bastille ke kematian Mirabeau.
Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime,
baringan lapis baja, dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih
konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790,
dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati
jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada
negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal
untuk bertugas dalam setahun, namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune
tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga Perancis memiliki
konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, namun Mirabeau
menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental,
dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan
pecah dan berbagai usaha terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian
pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan kerajaan,
dalam kata-kata François Mignet,
"mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]
Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé
berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang
saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung
senioritas dan bukti kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa
korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi
kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik
dalam politik Perancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia
Britannica, 152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus
1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya
untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux
yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique.
Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama dengan
membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan
malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club
Monarchique pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk
mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim
sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan jabatan turunan,
kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus
kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang,
kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu
menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan
organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin;
pemogokan menjadi ilegal.
Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut
mempertimbangkan legislasi terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan
negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi. Mirabeau menang atas tindakan
itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]
Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret
1791. Mignet
berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan dan
popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru akan
mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Pelarian ke Varennes.
Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak
bantuan yang kemungkinan berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan
dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan
menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun,
keesokan harinya, sang Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan
diri. Dikenali dan ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni,
ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion,
Latour-Maubourg,
dan Antoine Pierre
Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu anggota
kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave
became penasihat dan pendukung keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk
sementara menangguhkan sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette
tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir
Majelis Konstituante Nasional
Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat Hari-hari terakhir
Majelis Konstituante Nasional.
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik,
sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih
dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekrit
menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang
atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya
berarti turun tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot
mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk
menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato
berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan
tatanan masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi
kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan
menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan
orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50
jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub
patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat.
Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm
II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe,
comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang
menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta
pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan
ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis.
Orang Perancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman
militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota
majelis telah menentukan untuk menghalangi diri dari legislatur yang akan
menggantikan mereka, Majelis Legislatif.
Kini mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke
dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih
untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan
mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya,
menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam negeri,
mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan pengesahannya yang
tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis dan
menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis
mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September
1791.
Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas
menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang diketahui benar, karena kekuatan
yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi
ini rakyat adalah sumber semua, namun tak melaksanakan apapun." [3]
Majelis Legislatif dan
kejatuhan monarki
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober
1791 - 19 September
1792, lihat Majelis Legislatif
dan jatuhnya monarki Perancis.
Majelis Legislatif
Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki
konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif
yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih
menteri.
Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober
1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya.
Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia
Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali
gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan
dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan
berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant
(monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi
dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré
dengan kematian dan hal itu menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari
untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta.
Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.
Perang
Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah
perang terhadap Austria
dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya
menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan
perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk
memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok
Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin
radikal yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan
revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette,
berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret
1792.
Perancis menyatakan perang pada Austria
(20 April
1792) dan Prusia
bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis,
pertempuran militer yang berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang
terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September
1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Perancis
membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi huru-hara
dan monarki telah menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: 10 Agustus
(Revolusi Perancis) dan Pembantaian September
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok
revolusioner baru Komuni Paris,
menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar
Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir
semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune.
Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal
1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk
mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang
lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi,
yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September
1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari
berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik.
Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.
Konvensi
Eksekusi Louis XVI
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September
1792- 26 September
1795, lihat Konvensi Nasional.
Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan
kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum
Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan komite itu.
Dalam Manifesto Brunswick,
tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Perancis jika hal
itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya,
Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17 Januari
1793 menyaksikan
tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan
publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi
tanggal 21 Januari
menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang
kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh
miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai
bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin merebut
kekuasaan melalui kup
parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan
dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan
khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan
unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan
baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror
Komite Keamanan Publik
berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan
tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200
jiwa menemui kematiannya dengan guillotine
dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran
atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert,
semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang
dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang
ultraradikal dan moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat
terhadapnya terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli
1794, orang-orang
Perancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang
menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati buat
Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik.
Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari
teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang
juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan Robespierre,
melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya pada
apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru
pada tanggal 17 Agustus 1795;
sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan
September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September
1795.
Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September
1795 - 9 November
1799, lihat Direktorat Perancis.
Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia:
Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral
pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil
des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan
Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih
tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil
des Cinq-Cents.
Régime
baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan
meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan
tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak
kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799
(18 Brumaire dari Tahun
VIII) Napoleon
mengadakan kup yang melantik Konsulat; secara efektif
hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya sebagai
kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada
masa Revolusi Perancis.