Link Sukses

Banner 728x90 :

Saturday, 19 September 2015

HTML4

News Section

News Article

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

News Article

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

Ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum ipsum lurum hurum turum.

London

London is the capital city of England. It is the most populous city in the United Kingdom, with a metropolitan area of over 13 million inhabitants.

Standing on the River Thames, London has been a major settlement for two millennia, its history going back to its founding by the Romans, who named it Londinium.

Friday, 18 September 2015

10 KEUNGGULAN BANGSA INDONESIA"


1. Indonesia merupakan Negara dengan suku
bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat
lebih dari 750 suku bangsa/etnis, dimana di Papua
saja terdapat 270 suku.
2. Negara dengan bahasa daerah yang terbanyak,
yaitu, 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk
yang digunakan berbagai suku bangsa di
Indonesia. Bahasa nasional adalah bahasa
Indonesia walaupun bahasa daerah dengan
jumlah pemakai terbanyak di
Indonesia adalah bahasa Jawa.
3. Indonesia adalah negara muslim terbesar di
dunia. Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia
sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari penduduk
Indonesia. Juga memiliki jumlah
masjid terbanyak dan Negara asal jamaah haji
terbesar di dunia.
4. Monumen Budha (candi) terbesar di dunia
adalah Candi Borobudur di Jawa Tengah
dengan tinggi 42 meter (10 tingkat) dan panjang
relief lebih dari 1 km. Diperkirakan dibuat selama
40 tahun oleh Dinasti
Syailendra pada masa kerajaan Mataram Kuno
(750-850). Dan ini adalah salah satu dari 7
keajaiban dunia!
5. Masyarakat Jawa (Jatim, Jateng, Jogjakarta)
adalah penduduk terpadat di dunia dimana
sekitar 60% hampir penduduk Indonesia (sekitar
130 juta jiwa) tinggal di pulau yang luasnya hanya
7% dari seluruh wilayah RI.

Tenaga Honorer Diangkat PNS, Ini Kata Menkeu Bambang

Tuesday, 15 September 2015

Auguste Comte (Teori Sosiologi Klasik)




A. Biografi Singkat
August Comte (1798-1857) lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Intelektual yang memiliki nama asli Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte ini dalam dunia pendidikan dikenal sebagai Bapak Sosiologi, selain itu dia dikenal juga sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode

Sunday, 13 September 2015

Budaya Jawa dan Filsafat Jawa


Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1979:193).  Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 1979:195).  Kusumohamidjojo (2009:149) memaknai kebudayaan dalam arti culture sebagai keseluruhan proses dialektik yang lahir dari kompleks perifikir, perijiwa, dan perinurani yang diwujudkan sebagai kompleks perilaku dan karya manusia dalam bentuk materialisasi (things), sebagai gagasan (ideas) yang diadaptasi, diterapkan, distandarisasikan, di-kembangkan, diteruskan melalui proses belajar, dan diadaptasikan dalam kehidupan bersama.
Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara dimaknai sebagai berikut.
Kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, sedangkan budaya berasal dari perkataan budi yang dengan singkat boleh diartikan sebagai jiwa manusia yang telah masak. Budaya atau kebudayaan tidak lain artinya dari buah budi manusia. Di dalam bahasa asing kebudayaan itu dinamakan kultur dan diartikan pula sebagai buah budi manusia. Perkataan kultur itu berasal dari cultura dari bahasa Latin, perubahan dari colere yang berarti memelihara, memajukan serta memuja-muja. Perkataan kultur itu biasanya terpakai berhubungan dengan pemeliharaan hidup tumbuh-tumbuhan, pun juga berhubung dengan pemeliharaan hidup manausia (kebudayaan Jawa).
Yang perlu diutamakan dalam segala soal kebudayaan atau kultur yaitu, bahwa di dalamnya tidak saja terkandung arti buah budi, tetapi juga arti memelihara dan memajukan. Dari sifat kodrati ke arah sifat kebudayaan. Itulah tujuan dari segala usaha kultural. Acapkali suatu bangsa itu hanya mementingkan sifat keindahan atau kemegahan yang terdapat pada suatu benda kebudayaan hingga lupa akan hubungan kebudayaan dengan masyarakat yang hidup pada suatu zaman (Majelis Luhur Tamansiswa, 2011:72).
Peursen terjemahan Dick Hartoko (1988: 10-11) memaknai kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah- tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup dari seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya, dan justu itulah yang kita namakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat menusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, bala pecah, pakaian, cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya. Itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan bangsa-bangsa alam itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik dari ladang, maupun dari wanita), erotik, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi menurut macam-macam kotak. Jadi, menurut pandangan ini ruang lingkup kebudayaan sangat diperluas.
Sutrisno (2008:6-8), dengan bertitik tolak dari pengertian kebudayaan menurut Peursen, menyatakan bahwa kebudayaan dewasa ini difahami sebagai kegiatan produktif dan bukan produksinya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang beku dan jadi, melainkan sesuatu yang senantiasa dalam proses perubahan. Manusia dewasa ini memahami dirinya sebagai suatu proses. Kehidupan sosial politik tidak dapat dianggap sekali jadi dan serba lengkap, melainkan berada dalam proses semakin memungkinkan hidup yang lebih manusiawi. Penemuan-penemuan teknologi dan ilmiah semakin memungkinkan manusia untuk hidup bebas di alam. Konsep dinamis kebudayaan dimaknai sebagai kebudayaan yang lebih dapat difahami dengan tepat. Kebudayaan dalam konteks Indonesia, kebudayaan tidak semata-mata dipandang sebagai warisan leluhur, tetapi juga sesuatu yang sedang diciptakan sekarang ini lewat pembangunan nasional. Kebudayaan bukan hanya kenyataan masa lampau yang dibanggakan, melainkan juga keharusan masa depan yang disusun dalam sebuah strategi kebudayaan.
Peursen yang diterjemahan oleh Dick Hartoko (1988:18), kebudayaan itu tergambar dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap mitis, (2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsional. Tahap mitis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Tahap ontologis yaitu sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya. Ontologi berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuna yang sangat dipengaruhi oleh fifsafat dan pengetahuan. Tahap fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern, manusia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), manusia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis). Manusia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Dalam tahap fungsional nampak dengan jelas bahwa kebudayaan bukanlah semata-mata benda, melainkan sebuah kata kerja, yaitu sesuatu yang menggambarkan cara seorang manusia mengekspresikan diri dengan mencari relasi-relasi yang tepat terhadap dunia sekitarnya.
Koentjaraningrat (1979:200-201) menyatakan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan.
Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai sebuah aktivitas dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling dalam kehidupan sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan yang disebut kebudayaan fisik adalah seluruh total dari hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Unsur-unsur kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia, terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (2) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian (Koentjaraningrat, 1979: 218). Pengertian, wujud, dan unsur kebudayaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diberlakukan juga dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa didasarkan atas peta kewilayahan yang meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa, dengan pusat kebudayaan wilayah bekas kerajaaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2007: 329).
Wujud dan unsur kebudayaan dapat dilihat dalam kekhasan budaya Jawa. Kamajaya (2007:84­85) menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pangejawantahan budi manusia Jawa, yang merangkum kemauan, cita-cita, ide, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan lahir batin. Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prahistori. Datangnya bangsa Hindu-Jawa dan dengan masuknya agama Islam dengan kebudayaannya, maka kebudayaan Jawa menjadi filsafat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam. Arif (2010:35) mengatakan filsafat menempatkan kebudayaan pada aras metafisis yang merujuk pada penempatan nilai sebagai aspek formal intrinsik.
Ciptoprawiro (1986: 11) berdasarkan definisi bahwa “filsafat diartikan suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar”, apa yang ada dalam banyak perenungan di Jawa yaitu suatu usaha untuk mengartikan hidup dengan segala pangejawantahannya, mansia dengan tujuan akhirnya, hubungan yang nampak dengan yang gaib, yang silih berganti dengan yang abadi, tempat manusia dalam alam semesta, adalah merupakan pemikiran filsafat. Memang dalam penelitian kesusasteraan Jawa belum jauh benar, namun sudah cukup jauh untuk menjadi dasar sebagai filsafat Jawa. Malahan tidak perlu mencari terlalu jauh dalam kesusasteraan Jawa untuk mendapatkan pemikiran filsafat Jawa, tetapi apa yang telah hidup di Jawa, tidak hanya yang hidup di kalangan para pengembang kebudayaan, melainkan di kalangan rakyat biasa, sudah cukup untuk meyakinkan tentang kecintaan mereka terhadap renungan filsafat. Ketenaran tokoh Wrekudara dalam mecari air hidup untuk memperoleh wirid ilmu sejati, merupakan suatu petunjuk betapa usaha ke arah pemikiran filsafat Jawa telah berakar dalam kehidupan orang Jawa.

cabang-cabang filsafat secara umum. 1. Metafisika




Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat beraneka ragam penggolongan filsafat atau pembagian cabang-cabang filsafat. Penggolongan itu tergantung pada sudut pandang tertentu. Dalam uraian berikut ini dibahas cabang-cabang filsafat secara umum.

Sesuai dengan pernyataan Kattsoof (2004:72-74), istilah metafisika dipergunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dai bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada , yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini, metafisika digunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi. Metafisika dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.
Selanjutnya Kattsoff menjelaskan, metafisika sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Dalam arti ini, metafisika terlihat sangat erat hubungannya dengan ilmu-ilmu alam dan saling mempengaruhi terhadap ilmu-ilmu tersebut. Sejarah peradaban penuh dengan contoh-contoh yang menunjukkan adanya saling pengaruh antara teori-teori ilmu fisika dengan spekulasi yang bersifat metafisik. Metafisika bagaikan suatu prosa. Seseorang bisa jadi mengucapkan suatu prosa tanpa sadar bahwa ia mengucapkannya. Acap kali orang melihat ke atas, ke arah langit yang berbintang, dan bertanya di dalam batin atau kepada temannya, “Dari manakah asal semuanya itu? Bagaimanakah semuanya itu dimulai?” atau brangkali seseorang melihat temannya yang terhempas meninggal, dan ia gemetar seraya berkata, “Akhirnya manusia itu tiada lebih dari segumpal materi”. Di lain fihak, orang mungkin memperhatikan gerakan benda-benda angkasa yang tiada kunjung berhenti, berulangnya secara abadi musim-musim, kehidupan dan kematian, harapan dan putusnya harapan, penciptaan dan penghancuran. Atau mungkin akan bertanya, “Apakah semua ini ada maksudnya?”. Pertanyaan-pertanyaan lain akan muncul “Dari manakah saya berasal dan ke manakah saya menuju? Singkatnya pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang dengan cepat disadari oleh setiap orang, yaitu perbedaan yang menampak (appearance) dengan kenyataan (reality). Pada umumnya orang mengajukan dua pertanyaan yang bercorak metafisika, yaitu (1) apakah saya tidak berbeda dengan batu karang? Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi? Dan (2) apakah yang merupakan asal mula jagad raya? Apakah yang menjadikan jagad raya, dan bukannya suatu keadaan yang berampur-aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu itu? Pertanyaan jenis pertama termasuk ontologi, sedangkan pertanyaan jenis kedua termasuk kosmologi. Kosmologi berasal dari perkataan Yunani, cosmos dan logos, yang masing-masing berarti “alam semesta yang teratur” dan “penyelidikan tentang”. Ontologi dibicarakan dalam sab bagian khusus.
Bakker (1992:14-15) menjelaskan bahwa Aristotles menyusun filsafat pertama dengan berpangkalan dari yang berkembang (physis). Mula-mula ia sependapat dengan Plato untuk mencari kenyataan yang mengatasi dunia fisik yang empiris (ta hyper ta physika) dan yang membelakangi dunia fisik itu (ta meta ta physika), sehingga dunia itu dimungkinkan.
Kiranya kenyataan itu mendasari physis, akan tetapi terbedakan darinya pula. Namun, di fihak lain, Aristoteles juga melawan pendapat Plato bahwa hanya dunia bukan-fisik (ta paradeigman atau idea-idea) mempunyai kenyataan yang sungguh-sungguh (ontoos on), sedangkan dunia fisik hanya merupakan bayangannya. Dunia fisik sendiri mempunyai kenyataan yang sungguh-sungguh. Maka, Aristoteles ingin mencari pemahaman yang meliputi kedua-duanya sekaligus. Karena itu lama-kelamaan ta meta ta physika sudah tidak lagi dinamakan dengan ta hyper ta physika, tetapi dianggapnya lebih luas daripada itu. Maka, filsafat pertama harus meliputi baik ta hyper-physika maupun ta physika. Aristoteles mengusulkan cabang baru, yaitu ilmu tentang ta meta ta physika.
Istilah metafisika tidak menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu dalam penelitian, tatapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti itu hanya tersebut pada taraf penelitian paling fundamental dan dengan metode tersendiri. Maka, nama metafisika menunjukkan nivo pemikiran dan merupakan refleksi filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling ultima. Semua bidang dapat diselidiki secara metafisik: manusia, sejarah, moral, hukum, dan Tuhan. Penelitian khusus demikian menghasilkan metafisika terbatas. Jika penelitin metafisik diperluas meliputi segala-galanya yang sekaligus ada, maka menjadi metafisika umum. Metafisika umum bermaksud menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak.
Mudhofir (2001:236-237) menjelaskan beberapa defisnisi metafisika, sebagai berikut:

(1) Metafisika adalah usaha untuk menyajikan suatu uraian komprehensif, koheren, dan konsisten tentang kenyataan (being, the universe) sebagai suatu keseluruhan. Dalam arti ini dapat digunakan bergantian dengn synoptic, philosohy, dan cosmology.
(2)    Metafisika adalah kajian tentang ada sebagai ada (being as being) dan bukannya ada dalam bentuk ada khusus. Dalam arti ini searti dengan ontology dan dengan filsafat pertama (first philosophy).
(3)    Metafisika adalah kajian tentang sifat-sifat yang paling umum dari alam, keberadaan, perubahan, waktu, hubungan sebab akibat, ruang, substansi, identitas, keunikan, perbedaan, kesatuan, dan kesamaan.
(4)    Metafisika adalah kajian tentang kenyataan terdalam -kenyataan sebagaimana disusun dalam dirinya sendiri terpisah dari penampakannya yang ada dalam persepsi kita.
(5)    Metafisika adalah kajian tentang yang mendasari dari semua hal, sepenuhnya menentukan dirinya sendiri dan yang menjadi bergantungnya semua hal.
(6)    Metafisika adalah kajian tentang suatu realitas transenden yang menjadi sebab dari semua ekstensi. Dalam arti ini metafisika searti dengan theology.
(7)    Metafisika adalah kajian tentang sesuatu yang bersifat kerokhanian yang tidak dapat dijelaskan dengan metode-metiode penjelasan dalam ilmu-ilmu fisika.
(8)    Metafisika adalah kajian tentang sesuatu yang dengan kodratnya harus ada dan tidak dapat lain dari itu.
(9)    Metafisika adalah pemeriksaan secara kritis tentang asumsi-asumsi dasar yang dikerjakan dengan sistem pengetahuan kita dalam pengakuannya tentang apa yang nyata. Dalam arti ini metafisika searti dengan definisi yang penting tentang filsafat dan juga epistemologi.
Mudhofir menjelaskan, di antara sembilan definisi tentang metafisika, definsisi nomor
satu sampai delapan adalah definisi yang rasionalistik. Dengan proses berfikir kita dapat
sampai pada kebenaran yang fundamental, tidak dapat diingkari tentang alam (kenyataan
dunia, keberadaan, Tuhan).

Penggolongan Filsafat





Filsafat dapat digolong-golongkan menjadi:
1.                      Tentang pengetahuan
2.                      Tentang ada dan sebab-sebab yang pertama
3.    Tentang barang-barang yang ada pada khususnya, yakni dunia dan manusia
4.    Tentang kesusilaan dan nilai-nilai (Driyarkara, 2006:1019).
Golongan-golongan itu dipelajari dalam cabang-cabang/ bagian-bagian filsafat sebagai berikut:
a.    tentang pengetahuan: logika yang memuat (1) logika formal (logic) yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum memikir, yang harus ditaati supaya dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Hukum-hukum logika belaku dan penting bagi semua ilmu lainnya pula, sementara bagi filsafat merupakan alat yang harus dikuasai dulu, (2) logika material atau kritika (epistemology) yang memandang isi pengetahuan (material), bagaimana isi ini dapat dipertanggungjawabkan, mempelajari sumber-sumber dan asal ilmu pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas pengetahuan, kebenaran dan kekeliruan, metode ilmu pengetahuan, dan lain-lain;
b.    tentang ada: metafisika atau ontology yang membahas apakah arti “ada” itu, apakah kesempurnaannya, apakah tujuan, apakah sebab dan akibat, apa yang merupakan dasar yang terdalam dalam setiap barang yang ada (hylemorfisme); jadi berbicara tentang hakikat daripada segala sesuatu
c.    tentang dunia material: kosmologi (philosophy of nature);
d.    tentang manusia: filsafat tentang manusia (philosophy of man) atau juga disebut anthropologia metafisika atau psycologia metafisika;
e.    tentang kesusilaan: etika atau filsafat moral, bahwa manusia wajib berbuat baik dan menghindarkan yang tidak baik itu menimbulkan berbgai-bagai soal: apa yang
disebut baik, apa yang bhuruk, apakah ukurannya, apa suara batin, mengapa orang terikat oleh kesusilaan, dan sebagainya. Ini dibicarakan dalam apa yang disebut etika. Di sini, termasuk pembicaraan tentang norma-norma hidup bersama atau etika soaial; dan
a.  tentang Tuhan atau theologia naturalis (natural theology), yang merupakan konsekuensi terakhir dari seluruh pandangan filsafat (Driyarkara, 2006: 1019­1021).
Ali Maksum (2008:36-37) pada umumnya filsafat dibagi ke dalam enam bidang atau cabang, yaitu:
1.       Epistemology, adalah filsafat tentang ilmu pengetahuan yang mempersoalkan sumber, asal mula, dan jangkauan serta validitas dan realiabilitas dari berbagai klaim terhadap ilmu pengetahuan.
2.       Metafisika, adalah filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, tentang hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman dan pancaindra manusia. Metafisika terdiri dari ontology, kosmologi, teologi metafisik, dan antropologi.
3.       Logika, adalah studi tentang metode berfikir dan metode penelitian ideal yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dan induksi, hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis.
4.       Etika, adalah studi tentang tingkah laku yang ideal, termasuk di dalamnya aksiologi.
5.       Estetika, adalah studi tentang bentuk ideal dan keindahan. Estetika sering disebut filsafat seni.
6. Filsafat-filsafat khusus atau filsafat tentang berbagai disiplin seperti filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat manusia, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Kattsoff (2004: 81) menggolongkan lapangan filsafat menjadi:
1.       Logika,
2.       Metodologi,
3.       Metafisika,
4.       Ontologi,
5.       Kosmologi,
6.       Epistemologi,
7.       Biologi kefilsafatan,
8.       Psikhologi kefilsafatan,
9.       Antropologi kefilsafatan,
10.   Sosiaologi kefilsafatan,
11.   Etika,
12.   Estetika,
13.   Filsafat agama.
Selanjutnya Kattsoff (2004: 70-80) menjelaskan setiap canang filsafat sebagai berikut:
1.     Logika. Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu. Kadang-kdang logika diberi definisi sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan. Logika dibagi dalam dua cabang utama, yaitu logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari suatu premis tertentu atau lebih. Sebagai contoh, a termasuk b, dan b termasuk dalam c, maka kita mengetahui bahwa a termasuk dalam c. Kesimpulan bahwa a termasuk dalam c karena keharusan tanpa memperhatikan apakah yang diwakili oleh a, b, dan c. Logika yang membicarakan susunan proporsi-proporsi dan penyimpulan yang sifat keharusannya berdasarkan atas susunannya, dikenal sebagai logika deduktif atau logika formal. Sementara itu, logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan proporsi-proporsi, melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Logika induktif mencoba untuk bergerak dari satu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian atau dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut.
2.       Metodologi. Metodologi ialah ilmu pengetahuan tentang metode, khususnya metode ilmiah. Metodologi dapat membahas metode-metode yang lain. Semua metode untuk menemukan pengetahuan mempunyai garis-garis besar umum yang sama. Metodologi membicarakan hal-hal seperti sifat observasi, hipotesis, hukum, teori, susunan eksperimen, dan sebagainya.
3.       Metafisika. Istilah metafisika dipergunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dai bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada , yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini, metafisika digunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi. Metafisika dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.
4.       Ontologi dan kosmologi. Perkataan kosmologi berasal dari perkataan Yunani. Cosmos dan logos, yang masing-masing berarti alam semesta yang teratur, dan penyelidikan tentang atau lebih tepatnya asas-asas rasional dari. Perkataan ontologi berasal dari perkataan Yunani yang berarti yang ada dan logos. Ontologi membicarakan asas-asas rasional dari yang ada, sedangkan kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari yang ada yang teratur. Ontology berusaha untuk menhetahui eseni terdalam dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya.
5.       Epistemologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal-mula, susunan, metode-metode, dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang dikaji ialah apakah pengetahuan itu? Bagaimanakah cara mengetahui bila mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara membedakan antara pengetahuan dan pendapat? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu? Pertanyaan ini dapat dkelompokkan dalam dua hal, kelompok pertama mengacu pada sumber pengetahuan yang dapat dinamakan pertanyaan epistemologi kefilsafatan, dan pertanyaan yang kedua berkaitan dengan masalah semantik, yaitu yang menyangkut hubungan pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
6.       Biologi kefilsafatan. Bilogi kefilsafatan membicraan persoalanj-persoalan mengenai biologi. Biologi kefilsafatan menciba untuk menanlisis pertanyaan-pertanyaan hakiki dalam biologi dengan dara yang hamper sama sebagaimana fisika kefilsafatan menganlsis pengertian-pengertian dalam fisika. Biologi kefilsafatan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian-[engertian hidup, adaftasi, teleologi, evolusi, dan penurunan sifat-sifat. Biologi kefilsafatan juga membicarakan tentang tempat hidup dalam rangka segala sesuatu, dan arti openting hidup bagi penafsiran kita tentang alam semesta tempat kita hidup.
7.       Psikhologi kefilsafatan. Di lapangan psikhologi, seorang filsuf mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang bersifat hakiki. Psikhologi dibagi menjadi psikhologi sebagai ilmu dan psikhologi kefilsafatan. Perkataan Yunani psyche dapat diterjemahkan sebagai jiwa atau sebagai nyawa.
8.       Antropologi kefilsafatan. Antropologi kefilsafatan mengemukakan pertanyaan- pertanyaan tentang manusia. Apakah hakikat terdalam manusia itu? Apa sajakah hakikat manusia? Yang manakah yang lebih mendekati kebenaran? Antropologi kefilsafatan juga membicarakan tentang makna sejarah manusia. Apakah sejarah itu dan ke manakah arah kecenderungannya?
9.       Sosiologi kefilsafatan. Dalam sosiologi kefilsafatan terkait dengan filsafat sosial dan filsafat politik. Dalam filsafat sosial dan filsafat politik, kita mengemukakan pertanyaan- pertanyaan mengenai hakikat masyarakat serta hakikat negara. Kita ingin mengetahui lembaga-lembaga yang terdapat dalam masyarakat dan menyelidiki hubungan antara manusia dan negaranya.
10.   Etika. Di dalam melakukan pilihan, kita mengacu kepada istilah-istilah seperti baik, buruk, kebajikan, kejahatan, dan sebagainya. Istilah-istilah ini merupakan predikat kesusilaan (etik), dan merupakan cabang filsafat yang bersangkutan dengan tanggapan- tanggapan mengenai tingkah laku yang betul yang mempergunakan sebutan-sebutan tersebut. Dalam etika berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah yang menyebabkan suatu perbuatan yang baik itu adalah baik? Bagaimanakah cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik itu? dan sebagainya.
11.   Estetika. Estetika merupakan cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni. Seorang filsuf ingin mengetahui jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah keindahan itu? Apakah hubungan antara yang indah dan yang benar dan yang baik? Apakah ada ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu karya seni dalam arti yang objektif? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita? Apakah seni itu sendiri? Apakah seni itu hanya sekedar reproduksi dalam kodrat belaka, ataukah suatu ungkapan perasaan seeorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam kenyataan yang terdalam?
Cabang filsafat yang terakhir menurut Kattsoff adalah filsafat agama. Berabad-abad lampau terjadi banyak pertentangan paham mengenai pertanyaan, apakah filsafat merupakan abdi ideologi, suatu telaah yang bebas serta mandiri, ataukah merupakan pelengkap bagi ideologi? Bagi seorang filsuf akan membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama. Pertama-tama mungkin akan bertanya apakah agama itu? apakah yang dimaksudkan dengan istilah Tuhan? Apa bukti-bukti tentang adanya Tuhan itu sehat menurut logika? Bagaimana cara kita mengetahui Tuhan? Apakah makna eksistensi bila istilah ini dipergunakan dalam hubungannya dengan Tuhan? Kita tidak berkepentingan mengenai apa yang dipercayai oleh seseorang, tetapi sebagai filsuf mau tidak mau harus menaruh perhatian kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, keruntutan di antara kepercayaan-kepercayaan, dan hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan- kepercayaan yang lain.
Cabang-cabang filsafat menurut Suriasumantri (2003:32-33) mencakup tiga segi, yaitu apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang filsafat utama ini kemudian bertambah lagi yaitu teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika, dan politik yaitu kajian mengenai organisasi social pemerintahan yang ideal.
Kelima cabang filsafat tersebut, kemudian berkembang menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian spesifik, yang mencakup:
1.                      Epistemologi (filsafat pengetahuan)
2.                      Etika (filsafat moral)
3.                      Estetika (filsafat seni)
4.                      Metafisika
5.                      Politik (filsafat pemerintahan)
6.                      Filsafat agama
7.                      Filsafat ilmu
8.                      Filsafat pendidikan
9.                      Filsafat hukum
10.                  Filsafat sejarah
11.   Filsafat matematika

Daftar Pustaka
Wibawa, Sutisno. 2013.  Filsafat Jawa. Universitas Negeri Jogjakarta.