Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dilihat beraneka ragam penggolongan filsafat atau
pembagian cabang-cabang filsafat. Penggolongan itu tergantung pada sudut
pandang tertentu. Dalam uraian berikut ini dibahas cabang-cabang filsafat
secara umum.
Sesuai
dengan pernyataan Kattsoof (2004:72-74), istilah metafisika dipergunakan di
Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal
dai bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika.
Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada
sebagai yang ada , yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang digerakkan
atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini, metafisika digunakan baik
untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk
menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam.
Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin
menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi. Metafisika dapat
didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan
pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.
Selanjutnya
Kattsoff menjelaskan, metafisika sebagai bagian pengetahuan manusia yang
bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Dalam
arti ini, metafisika terlihat sangat erat hubungannya dengan ilmu-ilmu alam dan
saling mempengaruhi terhadap ilmu-ilmu tersebut. Sejarah peradaban penuh dengan
contoh-contoh yang menunjukkan adanya saling pengaruh antara teori-teori ilmu
fisika dengan spekulasi yang bersifat metafisik. Metafisika bagaikan suatu
prosa. Seseorang bisa jadi mengucapkan suatu prosa tanpa sadar bahwa ia
mengucapkannya. Acap kali orang melihat ke atas, ke arah langit yang
berbintang, dan bertanya di dalam batin atau kepada temannya, “Dari manakah
asal semuanya itu? Bagaimanakah semuanya itu dimulai?” atau brangkali seseorang
melihat temannya yang terhempas meninggal, dan ia gemetar seraya berkata,
“Akhirnya manusia itu tiada lebih dari segumpal materi”. Di lain fihak, orang
mungkin memperhatikan gerakan benda-benda angkasa yang tiada kunjung berhenti,
berulangnya secara abadi musim-musim, kehidupan dan kematian, harapan dan
putusnya harapan, penciptaan dan penghancuran. Atau mungkin akan bertanya,
“Apakah semua ini ada maksudnya?”. Pertanyaan-pertanyaan lain akan muncul “Dari
manakah saya berasal dan ke manakah saya menuju? Singkatnya
pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan
berasal dari perbedaan yang dengan cepat disadari oleh setiap orang, yaitu
perbedaan yang menampak (appearance) dengan kenyataan (reality). Pada umumnya orang mengajukan dua
pertanyaan yang bercorak metafisika, yaitu (1) apakah saya tidak berbeda dengan
batu karang? Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi? Dan (2) apakah yang
merupakan asal mula jagad raya? Apakah yang menjadikan jagad raya, dan bukannya
suatu keadaan yang berampur-aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu itu?
Pertanyaan jenis pertama termasuk ontologi, sedangkan pertanyaan jenis kedua
termasuk kosmologi. Kosmologi berasal dari perkataan Yunani, cosmos dan logos, yang masing-masing berarti “alam
semesta yang teratur” dan “penyelidikan tentang”. Ontologi dibicarakan dalam
sab bagian khusus.
Bakker
(1992:14-15) menjelaskan bahwa Aristotles menyusun filsafat pertama dengan
berpangkalan dari yang berkembang (physis). Mula-mula ia sependapat dengan
Plato untuk mencari kenyataan yang mengatasi dunia fisik yang empiris (ta hyper
ta physika) dan
yang membelakangi dunia fisik itu (ta meta ta physika), sehingga dunia itu dimungkinkan.
Kiranya
kenyataan itu mendasari physis, akan tetapi terbedakan darinya pula.
Namun, di fihak lain, Aristoteles juga melawan pendapat Plato bahwa hanya dunia
bukan-fisik (ta paradeigman atau idea-idea) mempunyai kenyataan yang sungguh-sungguh (ontoos on), sedangkan dunia fisik hanya
merupakan bayangannya. Dunia fisik sendiri mempunyai kenyataan yang
sungguh-sungguh. Maka, Aristoteles ingin mencari pemahaman yang meliputi
kedua-duanya sekaligus. Karena itu lama-kelamaan ta meta ta
physika sudah
tidak lagi dinamakan dengan ta hyper ta physika, tetapi dianggapnya lebih luas daripada
itu. Maka, filsafat pertama harus meliputi baik ta
hyper-physika
maupun ta physika. Aristoteles mengusulkan cabang baru, yaitu ilmu tentang ta meta ta
physika.
Istilah
metafisika tidak menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu
dalam penelitian, tatapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti itu hanya tersebut pada taraf
penelitian paling fundamental dan dengan metode tersendiri. Maka, nama
metafisika menunjukkan nivo pemikiran dan merupakan refleksi filosofis mengenai
kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling ultima. Semua bidang
dapat diselidiki secara metafisik: manusia, sejarah, moral, hukum, dan Tuhan.
Penelitian khusus demikian menghasilkan metafisika terbatas. Jika penelitin
metafisik diperluas meliputi segala-galanya yang sekaligus ada, maka menjadi
metafisika umum. Metafisika umum bermaksud menyatukan seluruh kenyataan dalam
satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak.
Mudhofir
(2001:236-237) menjelaskan beberapa defisnisi metafisika, sebagai berikut:
(1) Metafisika adalah usaha untuk
menyajikan suatu uraian komprehensif, koheren, dan konsisten tentang kenyataan (being,
the universe)
sebagai suatu keseluruhan. Dalam arti ini dapat digunakan bergantian dengn synoptic,
philosohy, dan cosmology.
(2) Metafisika adalah kajian tentang ada sebagai
ada (being as being) dan bukannya ada dalam bentuk ada khusus. Dalam arti ini searti dengan ontology dan dengan filsafat pertama (first
philosophy).
(3) Metafisika adalah kajian tentang sifat-sifat
yang paling umum dari alam, keberadaan, perubahan, waktu, hubungan sebab
akibat, ruang, substansi, identitas, keunikan, perbedaan, kesatuan, dan
kesamaan.
(4) Metafisika adalah kajian tentang kenyataan
terdalam -kenyataan sebagaimana disusun dalam dirinya sendiri terpisah dari
penampakannya yang ada dalam persepsi kita.
(5) Metafisika adalah kajian tentang yang
mendasari dari semua hal, sepenuhnya menentukan dirinya sendiri dan yang
menjadi bergantungnya semua hal.
(6) Metafisika adalah kajian tentang suatu
realitas transenden yang menjadi sebab dari semua ekstensi. Dalam arti ini
metafisika searti dengan theology.
(7) Metafisika adalah kajian tentang sesuatu yang
bersifat kerokhanian yang tidak dapat dijelaskan dengan metode-metiode
penjelasan dalam ilmu-ilmu fisika.
(8) Metafisika adalah kajian tentang sesuatu yang
dengan kodratnya harus ada dan tidak dapat lain dari itu.
(9) Metafisika adalah pemeriksaan secara kritis
tentang asumsi-asumsi dasar yang dikerjakan dengan sistem pengetahuan kita
dalam pengakuannya tentang apa yang nyata. Dalam arti ini metafisika searti
dengan definisi yang penting tentang filsafat dan juga epistemologi.
Mudhofir menjelaskan, di antara
sembilan definisi tentang metafisika, definsisi nomor
satu sampai delapan adalah definisi yang
rasionalistik. Dengan proses berfikir kita dapat
sampai pada kebenaran yang
fundamental, tidak dapat diingkari tentang alam (kenyataan
dunia,
keberadaan, Tuhan).
Blackburn (2013:553-554) menjelaskan bahwa istilah metfisika awalnya merupakan judul untuk buku-buku Aristoteles sesudah physics, namun sekarang diaplikasikan untuk penyelidikan apapa pun yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang realitas yang terletak di balik atau di belakang hal-hal yang sanggup difahami oleh metode ilmu. Alaminya, isu yang bersaing langsung terkait apakah terdapat pertanyaan seperti itu atau ada teks metafisik apa pun yang mestinya, meminjam kata-kata Hume, berfokus menyalakan apinya, karena bisa jadi ia tidak mengandung apa pun selain kerumitan dan ilusi. Contoh- contoh tradisionalnya meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang jiwa dan tubuh, substansi dan eksidensi, kejadian/peristiwa, penyebab dan kategori-kategori hal-hal yang eksis. Keluhan permanen tentang metafisika adalah sejauh terdapat pertanyaan riil di area ini, metode ilmiah bisa membentuk hanya pendekatan yang memungkinkan bagi mereka. Permusuhan terhadap metafisika merupakan salah satu seruan positivisme logis dan masih bertahan dengan suatu cara dalam bentuk naturalisme ilmiah. Metafisika cenderung lebih menyoroti praduga-praduga pemikiran ilmiah, atau pemikiran pada umumnya, meski di sini juga berasumsi apa pun bahwa terdapat suatu cara kekal yang di dalamnya pemikiran harus diatur mengadapi pertentangan tajam. Sebuah pemilihan yang berguna antara metafisika deskripsitif yang berisi deskripsi tentang kerangka dasar konsep-konsep yang dianggap dilakukan sebagai lawan bagi metafisika revolusioner yang bertujuan pada kritisisme dan perevisian sejumlah cara berfikir yang kurang begitu beruntung. Meski kemungkinan metafisika revolusioner agak diragukan, namun ia terus eksis hingga searang: eliminitavisme dalam filsafat jiwa dan pesimisme posmodernis terkait dengan objektivitas dan kebenaran merupakan contoh mencoloknya.
No comments:
Post a Comment