Pertanyaan
yang menggelithik ketika kita mempelajari Filafat
Jawa ini adalah adakah Filsafat Jawa itu? Mengapa ada pertanyaan itu,
karena selama ini kita hanya mengenal bahwa pembicaraan filsafat selalu
dibedakan Filsafat Barat dan Timur. Filsafat Barat mulai dari Yunani, Inggris,
Jerman, Perancis, dan juga Amerika. Sementara Filsafat Timur menunjuk ke India
dan Cina. Dalam konteks ini timbul pertanyaan berikutnya, yaitu apakah ada
Filsafat Jawa? Di mana kedudukan Filsafat Jawa di antara Filsafat Barat dan
Timur? Jika dilihat dari pembagian tersebut, karena wilayah geografis Pulau
Jawa berada di belahan Timur, Filsafat Jawa merupakan bagian dari Filsafat
Timur.
Untuk
menjawab pertanyaan adakah Filsafat Jawa, kita dapat melihat historis orang
Jawa yang telah tumbuh dan berkembang sejak jaman dulu, ketika orang Jawa
menggunakan bahasa Jawa Kuna. Dalam zaman itu, tradisi sastra telah berkembang
amat pesat. Kita telah mengenal pujangga Empu Kanwa yang mengarang Kakawin
Arjuna Wiwaha, Empu Prapanca yang menulis Negara Kertagama, Empu Tantular yang
menulis Kakawin Sutasoma, dan sebagainya. Dalam karya sastra Jawa Kuna itu di
dalamnya terkandung berbagai kebijaksanaan hidup yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Jawa, dan di situlah sumber utama Filsafat Jawa. Demikian
juga, dalam kesusasteraan baru, kita kenal Serat
Centhini yang ditulis oleh Paku Buwono V pada abad delapan belas, Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan karya satra
Jawa baru lainnya. Dalam berbagai karya sastra Jawa baru itu terkandung
nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang merupakan bagian dari Filsafat Jawa. Jadi,
terhadap pertanyaan adakah Filsafat Jawa? Maka, jawabannya adalah ada.
Selanjutnya,
jawaban lebih lanjut tentang keberadaan filsafat Jawa, Kusbandrijo (2007:12-13)
menjelaskan filsafat India dan Cina mempengaruhi filsafat Jawa, namun sesudah
Islam masuk, banyak konsep India dan Cina yang diubah sesuai ajaran Islam.
Mirip dengan filsfat India, filsafat Jawa juga menekankan pentingnya
kesempurnaan hidup. Manusia berfikir dan merenungi dirinya dalam ranka
menemukan integritas dirinya dalam kaitannya dengan Tuhan. Dimensi ini adalah
karakteristik yang dominan dan tidak dapat dilepaskan dengan kecenderungan
hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu usaha untuk
mencapai ksempurnaan hidup.
Kusbandrijo
(2007:13) lebih lanjut menjelaskan filsafat Barat dan filsafat Jawa memiliki
tujuan yang sama, yaitu mengenal diri. Namun demikian, cara pencapaian dan
pengembangannya berbeda. Di samping pandangan tentang hubungsan antara manusia
dan alam berbeda, hubungan manusia dengan Tuhan juga berbeda. Bagi filsafat
Yunani filsafat berarti cinta kearifan (the love of
wisdom), bagi filsafat Jawa, pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya
merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Bagi filsafat Jawa dapatlah
dirumuskan filsafat berarti cinta kesempurnaan (the
love ogf perfection). Dalam rumusan Ciptoprawiro (2007:14), dengan
mengutib bahwa pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk
mencapai kesempurnaan, dapatlah dirumuskan bahwa di Jawa filsafat berarti cinta
kesempurnaan (the love of perfection).
Ciptoprawiro
(1986:14) lebih lanjut menyatakan sebagai bukti bahwa filsafat Jawa ada,
penelitian dalam kesusasteraan Jawa belumlah jauh benar, namun cukup jauh untuk
menjadi dasar bahwa filsafat Jawa ada. Malahan kita tidak perlu mencari dalam
kesusasteraan untuk memperoleh peikiran filsafat. Sekedar pengetahuan tentang
apa yang hidup dalam bangsa Jawa, tidak hanya di antara mereka yang dianggap
sebagai pengemban kebudayaan, melainkan bahkan di kalangan rakyat biasa,
sudahlah cukup untuk meyakinkan tentang kecintaan mereka terhadap renungan
filsafat. Ketenaran tokoh Werkudara, yang dalam mencari air kehidupan untuk
memperoleh wirid dalam ilmu sejati, dapat dipakai sebagai petunjuk betapa
pemikiran dalam fisalafat Jawa telah berakar dalam kehidupan orang Jawa.
No comments:
Post a Comment