Manusia di dunia selalu dihinggapi
rasa keingintahuan. Suriasumantri (2003:19-20) menyatakan pengetahuan dimulai
dengan rasa ingin tahu, kepastisan dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat
dimulai dengan kedua-dunya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang
telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati
bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak
terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah kita jangkau.
Driyarkara (2006:999-1001) menyatakan
bagaimana dari keinginan akan mengerti, akan kebenaran, timbul ilmu-ilmu
pengetahuan, dan akhirnya muncullah filsafat. Filsafat itu timbul dari setiap
orang, asal saja orang itu hidup sadar dan menggunakan pikirannya. Filsafat
adalah bentuk ilmu pengetahuan tertentu, bahkan bentuk pengetahun manusia yang
sempurna, yang merupakan perkembangan yang terakhir dari pengetahuan luar
“biasa”. Filsafat dapat dipandang dalam dua segi, filsafat sebagai ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu usaha mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala
sesuatu. Filsafat sebagai ilmu yang tersendiri itu tidak niscaya adanya; hal
itu meminta tingkatan kebudayaan yang agak tinggi. Sebaliknya, menyangkut
filsafat dalam arti yang lebih luas, dalam arti anasir-anasir filsafat dalam
pikiran manusia, hal itu dapat dikatakan tentu ada, biarpun sedikit. Pada
masyarakat yang tingkat kebudayaannya belum berkembang, dapat dijumpai
pikiran-pikiran tentang sebab-akibat, pandangan-pandangan tentang manusia,
Tuhan dan dunia, pendapat-pendapat tentang hidup, tentang perbuatan-perbuatan
manusia atau etika, dan lain-lain. Filsafat adalah eksistensial sifatnya, erat
hubungannya dengan hidup sehari-hari. Hidup sehari-hari memberikan bahan- bahan
untuk direnungkan. Filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada manusia yang
konkrit pada diri manusia yang hidup di dunia dengan segala persoalan yang
dihadapi. Dengan demikian, filsafat adalah pernyataan dari sesuatu yang hidup
di dalam hati setiap orang, maka walaupun tidak setiap orang dapat menjadi ahli
filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang
berarti bagi semua manusia.
Driyarkara
(2006:1003) selanjutnya menyatakan setiap orang di dunia ini memuculkan
berbagai pertanyaan, antara lain: manusia tentu mempersoalkan sangkan
parannya, asal
mula, dan tujuannya. Manusia akan bertanya pada diri sendiri: dari manakah
manusia datang dan ke mana tujuannya, ke manakah arah hidupnya, apa artinya
hidup, untuk apa manusia hidup, bagaimana setelah manusia meninggal, akan hapus
sama sekali apa tidak? Manusia akan selalu bertanya demikian dan mencoba
menemukan jawabannya. Dalam filsafatlah terjelma usaha-usaha manusia untuk
mencari jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
Seiring
dengan itu, Suseno (1992:17-19) menyatakan berfilsafat bergulat dengan
masalah-masalah dasar manusia. Filsafat cenderung mempertanyakan apa saja
secara kritis dari seluruh realitas kehidupan. Pada hakikatnya, filsafat pun
membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Filsafat dapat
dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan
fundamental tersebut secara bertanggung jawab. Pada hakikatnya filsafat
membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Jadi bantuan
apa yang dapat diberikan oleh filsafat kepada hidup masyarakat? Ilmu
pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam
dunia. Untuk mengatasi masalah-masalahnya, manusia membutuhkan orientasi yang
sadar, ia harus mengetahui lingkungannya. Ilmu-ilmu mensistimatisasi apa yang
diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya. Tetapi, ilmu-ilmu
pengetahuan itu semua, seperti ilmu pasti, kimia, fisiologi, sosialologi, atau
ekonomi secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang
setepat mungkin semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu.
Untuk meneliti bidang itu secara optimal, ilmu-ilmu khusus tidak memiliki
sarana teoretis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di luar perspektif
pendekatan khusus masing-masing. Ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-
pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai satu kesatuan
yang dinamis. Padahal pertanyaan-pertanyaan ini terus menerus dikemukakan
manusia dan sangat penting bagi praksis kehidupannya, seperti: apa arti tujuan
hidup? apa yang menjadi kewajiban mutlak dan tanggung jawab sebagai manusia?
Bagaimana manusia harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia? Dan
pertanyaan-pertanyaan tentang orientasi dasar kehidupan manusia lainnya. Di
sinilah fungsi filsafat dalam usaha umat manusia untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya. Filsafat dapat dipandang sebagai usaha
manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara
bertanggung jawab. Tanpa usaha ilmiah itu, pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan
dijawab secara spontan dan dengan demikian senantiasa ada bahaya bahwa
jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera subjektif, segala macam rasionalsiasi
dan kepentingan ideologis.
Nasroen
(1967:19) menyatakan falsafah itu adalah hasil dari tinjauan manusia tentang
makna dirinya, makna alam, dan tujuan hidupnya dengan mempergunakan pikiran dan
dibantu oleh rasa dan keyakinan yang ada dalam dirinya itu, sebagai suatu
kesatuan, yang satu mempengaruhi dan membantu yang lain. Falsafah dijadikan
pegangan dan pedoman dalam memberi isi hidupnya dan berusaha mencapai tujuan
hidupnya.
Kattsoff
(2004:3-4) menyatakan secara sederhana tujuan filsafat adalah mengumpulkan
pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu
di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat merupakan
pemikiran yang sistematis. Kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi
merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat
untung-untungan. Perenungan kefilsafatan adalah percobaan untuk menyusun suatu
sistem pengetahuan yang rasional yang memadai untuk memahami dunia tempat kita
hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan kefilsafatan dapat
merupakan karya satu orang yang dikerjakannya sendiri, ketika ia dengan
pikirannya berusaha keras menemukan alasan dan penjelasan dengan cara semacam
bertanya kepada diri sendiri. Atau, perenungan itu dapat pula dilakukan oleh
dua atau lebih dari dalam suatu percakapan ketika mereka melakukan analisis,
melakukan kritik dan menghubungkan pikiran mereka secara timbal balik.
Perenungan kefilsafatan dapat pula semacam percakapan yang dilakukan dengan
diri sendiri atau dengan orang lain. Hal itu dapat ditunjukkan oleh aktivitas
seorang filsuf yang berhubungan dengan polemik yang terkadang mempertentangkan
dan membandingkan di antara alternatif-alternatif yang masing-masing
berpegangan dari unsur atau segi yang penting, dan kemudian mencoba untuk
mengujinya pada pengalaman, kenyataan empirik, dan akal. Ada yang berpendirian
bahwa pengetahuan diperoleh hanya melalui pengalaman, dan ada yang berpendirian
bahwa pengetahuan didapat hanya melalui akal. Kedua pendiriana itu diuraian
secara panjang lebar sampai tercapai suatu sintesis (Kattsoff, 2004:6-7).
Driyarkara (2006:973-998) menguraikan secara panjang lebar
tentang filsafat. Kata filsafat dijabarkan dari perkataan philosophia. Perkataan
itu berasal dari bahasa Yunani
yang berarti
“cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Menurut tradisi, Pythagoras atau
Sokrateslah yang pertama-tama menyebut diri Philosophus, pecinta kebijaksanaan, artinya orang
yang ingin mempunyai pengetahuan yang luhur (Sophia); mengingat keluhuran pengetahuan yang
dikejarnya itu, maka orang tidak mau berkata bahwa telah mempunyai, memiliki,
dan menguasainya. Driyarkara selanjutnya mengatakan, antara ahli pemikir itu
sendiri ada perbedaan faham tentang batasan filsafat, namun dalam perbedaan itu
terdapat persamaan juga, (a) filsafat adalah suatu bentuk “mengerti”, (b)
filsafat termasuk ilmu pengetahuan, dan (c) ilmu pengetahuan yang dimaksud
adalah ilmu pengetahuan yang mengatasi ilmu-ilmu lain. Mengerti ialah setiap
kegiatan mana subjek-dengan cara tertentu mempersatukan diri-dengan suatu
objek. Setiap bentuk mengerti berarti menjadi satu walaupun cara mempersatukan
diri itu berlainan menurut derajad kesempurnaan subjek yang mengerti itu.
Mengerti selalu mengandung hubungan antara subjek dan objek. Subjek yang
mengerti dan objek yang dimengerti. Ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai
kumpulan pengetahuan mengenai sesuatu hal tertentu (objek lapangan) yang
merupakan kesatuan yang sistematis guna memberikan penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan dasar-dasar dari hal/ kejadian itu.
Penjelasan yang ketiga bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mengatasi
ilmu-ilmu lain dapat dijelaskan bahwa filsafat tidak termasuk ruangan ilmu yang
khusus, filsafat dapat dikatakan suatu ilmu yang objeknya tak terbatas, jadi
mengatasi ilmu-ilmu lainnya. Hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu lain dapat
dijelaskan (a) filsafat mempunyai objek yang lebih luas, (b) filsafat hendak
memberikan pengetahuan yang lebih mendalam dengan menunjukkan sebab-sebab, dan
(c) filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus,
mempersatukan, dan mengkoordinasikannya, dan (d) lapangan filsafat mungkin sama
dengan lapangan ilmu pengetahuan, tetapi sudut pandangnya lain.
Mudhofir
(2001: 277-278) juga menjelaskan “masalah filsafat memiliki ciri sangat umum.
Masalah filsafat mempunyai tingkat keumuman yang tinggi dan tidak bersangkutan
dengan objek-objek khusus melainkan kebanyakan dengan gagasan besar”. Dalam
kaitan ini, Kattsoff (2004:12-13) menyatakan bahwa filsafat berusaha menyusun
suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup maupun
untuk diri kita sendiri. Ilmu menjelaskan tentang kenyataan empiris yang
dialami, filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan mengenai ilmu dan yang
lebih luas dari ilmu itu sendiri. Filsafat berusaha memberi penjelasan tentang
dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Dalam sudut pandang ini, filsafat
mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan
dalam bentuk yang paling umum.
Sebagai
suatu ilmu, filsafat mendasarkan penyelidikan berdasarkan metode yang bersifat
ilmiah, artinya dengan pengamatan-pengamatan kenyataan-kenyataan, yang hasilnya
digolong-golongkan, dianalisis dijadikan satu sistem. Alat yang digunakan untuk
penyelidikan itu ialah akal budi, pikiran manusia sendiri. Filsafat hanya
menggunakan budi murni untuk mencapai sebab-sebab yang terdalam itu, tidak
berdasarkan pertolongan istimewa dari Wahyu Tuhan, melainkan berdasarkan
kekuatannya sendiri, hanya dengan pertolongan panca indera dan
analisis-analisis. Pada bagian akhir, Driyarkara (2006:997) menyimpulkan bahwa
“filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang
sebab-sebab yang terdalam, tercapai dengan budi murni”.
Pada bagian lain, Driyarkara (2006:
2012) menjelaskan berikut ini:
Filsafat menjadi suatu “ajaran
hidup”. Orang mengharapkan dari filsafat dasar-dasar ilmiah yan dibutuhkannya
untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk- petunjuk bagaimana kita
harus hidup untuk menjadi manusia yang sempurna, yang baik, yang susila, dan
bahagia. Jadi, tidak hanya ilmu yang teoretis saja, melainkan yang praktis
juga, artinya yang mencoba menyusun aturan-aturan yang harus dituruti agar
hidup kita mendapat isi dan nilai. Dan ini sesuai dengan arti “filsafat”
sebagai usaha mencari kebijaksanaan yang meliputi baik pengetahuan (insight) maupun sikap hidup yang benar-benar,
yang sesuai dengan pengetahuan itu.
Mudhofir (2001:277) menjelaskan
pengertian filsafat sebagai berikut:
Philosophy-Filsafat berasal dari
bahasa Yunani philosophia. Istilah Yunani philein= “mencintai”, sedangkan
philos=”teman”. Istilah Sophos = “bijaksana”, sedangkan
Sophia-’kebijaksanaan”. Apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philen dan Sophos, maka berarti “mencintai sifat
bijaksana” (bijaksana sebagai kata sifat). Apabila filsafat mengacu pada asal
kata philos dan sophia, maka berati “teman kebijaksanaan” (kebijaksanaan sebagai
benda).
Selanjutnya, Mudhofir (2001:277)
menjelaskan tentang arti filsafat sebagai berikut:
Beberapa definisi pokok tentang
filsafat adalah: (1) usaha secara spekulatif untuk menyajikan pandangan yang
sistematik dan lengkap tentang semua kenyataan, (2) usaha untuk mendeskripsikan
sifat dasar yang terdalam dan sesungguhnya dari kenyataan, (3) usaha untuk
menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan kita dalam hal sumber,
sifat, validitas dan nilainya, (4) penyelidikan secara kritis terhadap
praanggapan-praanggapan dan pengakuan kebenaran yang dilalukan oleh berbagai
bidang pengetahuan, dan (5) ilmu yang mencoba untuk membantu kamu “melihat” apa
yang kamu katakan dan mengatakan apa yang kamu lihat.
Dalam Kamus Filsafat Blackburn (2013:
659) dijelaskan makna philosophy sebagai berikut:
Philosophy
dalam bahasa Yunani dimaknai sebagai mencintai pengetahuan atau kebijaksanaan.
Lebih lanjut dijelaskan studi tentang ciri dan sifat paling umum dan abstrak
tentang dunia dan kategori di mana kita berfikir: jiwa, materi, rasio,
pembuktian, kebenaran, dan lain-lain. Dalam filsafat, dengan konsep itu kita
mendekati dunia yang menjadi topik penyelidikannya. Filsafat tentang disiplin
ilmu tertentu misalnya sejarah, fisika, atau hukum tidak terlalu berfokus pada
jawaban atas pertanyaan historis, fisik, atau legal, selain mempelajari konsep
yang menstrukturkan pemikiran tersebut dan meletakkan fondasi dan asumsi
mereka. Dalam pengertian ini, filsafat muncul ketika praktik menjadi kesadaran
akan diri. Garis batas antara refleksi “orde kedua” dan cara-cara disiplin ilmu
“orde pertama” berpraktik tidak begitu jelas: persoalan filosofis bisa saja
terjawab sendiri perkembangan disiplin ilmu yang dikajinya itu, meski perilaku
disiplin ilmu sering kali digerakkan oleh refleksi
filosofisnya. Pada masa-masa yang
berbeda, muncul kurang lebih optimisme tentang kemungkinan dari filsafat murni
atau “pertama” yang mengambil titik pijak apriori yang darinya praktik
intelektual lain dapat dinilai sebagian dan tunduk pada evaluasi dan koreksi
logis. Semangat kontemporer untuk topik ini agak memusuhi kemungkinan yang
seperti itu, dan lebih suka melihat refleksi filosofis sebagai kelanjutan dari
praktik terbaik bidang penyelidikan intelektual apa pun.
Ali
Maksum dalam buku Pengantar Filsafat (2008:21) menjelaskan bahwa filsafat
adalah
proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang
ada dan
yang
mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berfikir secara radikal
(mendasar,
mendalam,
sampai ke akar-akarnya) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral,
dan
tidak khusus serta tidak parsial). Karakteristik mendasar menurut Suriasumantri
(2003:20)
dia tidaklagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat
disebut
benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan?
Apakah
kriteria
itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka
pertanyaan
itu melingkar dan menyusur sebu8ah lingkaran, kita harus mulai dari sebuah
titik,
yang
awal dan sekaligus akhir.
Ali
Maksum (2008:23-24) lebih lanjut menjelaskan, secara historis, semua ilmu
pengetahuan
yang dikenal dewasa ini pernah menjadi bagian dati filsafat yang dianggap
sebagai
induk dari segala ilmu pengetahuan, dan filsafat pada waktu itu mencakup pula
segala
usaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelaman, seiring dengan perkembangan
peradaban
manusia, pelbagai pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat
memisahkan
diri dan mengejar tujuan masing-masing. Namun demikian, ilmu-ilmu khusus
itu
tidak berarti tidak ada hubungannya sama sekali dengan induknya. Meskipun tetap
ada
ciri
khusus dan batas-batas yang tegas yang dimiliki setiap ilmu, filsafat berusaha
menyatupadukannya
semua ilmu yang terpecah belah itu. Ada interaksi atau salinghubungan
antara
ilmu dengan filsafat. Banyak persoalan filsafat yang memerlukan lanjutan dasar
pada
pengetahuan ilmiah apabila
pembahasannya tidak ingin dangkal dan keliru. Demikian juga, ilmu dewasa ini
dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan-bahan yang berupa
fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan gagasan-gagasan filsafat yang
tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu khusus memiliki
konsep dan asumsi bagi ilmu itu sendiri dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat secara kritis mengalisis konsep-konsep dan
memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu-ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya.
Sekiranya konsep-konsep ilmu itu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsinya tidak
dikuatkan, maka hasil-hasil yang dicapai ilmu tersebut tidak memiliki landasan
yang kokoh. Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus, juga menyangkut
suatu tujuan yang lebih jauh dari filsafat. Filsafat bertujuan untuk mengatur
hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan
dunia yang terpadu, komprehensif, dan konsisten. Secara komprehensif artinya
tidak ada sesuatu yang berada di luar jangkuan filsafat. Secara konsisten
artinya tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berlawanan atau
kontradiksi satu dengan lainnya. Dalam kaitan ini, Suriasumantri (2003:20)
menjelaskan bahwa berfikir filsafat bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak
puas lagi mengenai ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin
melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu
kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu
itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Daftar Pustaka
Wibawa, Sutisno. 2013. Filsafat
Jawa. Universitas Negeri Jogjakarta.
No comments:
Post a Comment