Link Sukses

Banner 728x90 :

Sunday, 13 September 2015

Hakikat Filsafat



 Hasil gambar untuk hakekat filsafat
Manusia di dunia selalu dihinggapi rasa keingintahuan. Suriasumantri (2003:19-20) menyatakan pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastisan dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-dunya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Driyarkara (2006:999-1001) menyatakan bagaimana dari keinginan akan mengerti, akan kebenaran, timbul ilmu-ilmu pengetahuan, dan akhirnya muncullah filsafat. Filsafat itu timbul dari setiap orang, asal saja orang itu hidup sadar dan menggunakan pikirannya. Filsafat adalah bentuk ilmu pengetahuan tertentu, bahkan bentuk pengetahun manusia yang sempurna, yang merupakan perkembangan yang terakhir dari pengetahuan luar “biasa”. Filsafat dapat dipandang dalam dua segi, filsafat sebagai ilmu pengetahuan dan filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu usaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu. Filsafat sebagai ilmu yang tersendiri itu tidak niscaya adanya; hal itu meminta tingkatan kebudayaan yang agak tinggi. Sebaliknya, menyangkut filsafat dalam arti yang lebih luas, dalam arti anasir-anasir filsafat dalam pikiran manusia, hal itu dapat dikatakan tentu ada, biarpun sedikit. Pada masyarakat yang tingkat kebudayaannya belum berkembang, dapat dijumpai pikiran-pikiran tentang sebab-akibat, pandangan-pandangan tentang manusia, Tuhan dan dunia, pendapat-pendapat tentang hidup, tentang perbuatan-perbuatan manusia atau etika, dan lain-lain. Filsafat adalah eksistensial sifatnya, erat hubungannya dengan hidup sehari-hari. Hidup sehari-hari memberikan bahan- bahan untuk direnungkan. Filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada manusia yang konkrit pada diri manusia yang hidup di dunia dengan segala persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, filsafat adalah pernyataan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap orang, maka walaupun tidak setiap orang dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang berarti bagi semua manusia.
Driyarkara (2006:1003) selanjutnya menyatakan setiap orang di dunia ini memuculkan berbagai pertanyaan, antara lain: manusia tentu mempersoalkan sangkan parannya, asal mula, dan tujuannya. Manusia akan bertanya pada diri sendiri: dari manakah manusia datang dan ke mana tujuannya, ke manakah arah hidupnya, apa artinya hidup, untuk apa manusia hidup, bagaimana setelah manusia meninggal, akan hapus sama sekali apa tidak? Manusia akan selalu bertanya demikian dan mencoba menemukan jawabannya. Dalam filsafatlah terjelma usaha-usaha manusia untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
Seiring dengan itu, Suseno (1992:17-19) menyatakan berfilsafat bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia. Filsafat cenderung mempertanyakan apa saja secara kritis dari seluruh realitas kehidupan. Pada hakikatnya, filsafat pun membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara bertanggung jawab. Pada hakikatnya filsafat membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Jadi bantuan apa yang dapat diberikan oleh filsafat kepada hidup masyarakat? Ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia. Untuk mengatasi masalah-masalahnya, manusia membutuhkan orientasi yang sadar, ia harus mengetahui lingkungannya. Ilmu-ilmu mensistimatisasi apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya. Tetapi, ilmu-ilmu pengetahuan itu semua, seperti ilmu pasti, kimia, fisiologi, sosialologi, atau ekonomi secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Untuk meneliti bidang itu secara optimal, ilmu-ilmu khusus tidak memiliki sarana teoretis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di luar perspektif pendekatan khusus masing-masing. Ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan- pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai satu kesatuan yang dinamis. Padahal pertanyaan-pertanyaan ini terus menerus dikemukakan manusia dan sangat penting bagi praksis kehidupannya, seperti: apa arti tujuan hidup? apa yang menjadi kewajiban mutlak dan tanggung jawab sebagai manusia? Bagaimana manusia harus hidup agar menjadi baik sebagai manusia? Dan pertanyaan-pertanyaan tentang orientasi dasar kehidupan manusia lainnya. Di sinilah fungsi filsafat dalam usaha umat manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut secara bertanggung jawab. Tanpa usaha ilmiah itu, pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan demikian senantiasa ada bahaya bahwa jawaban-jawaban didistorsikan oleh selera subjektif, segala macam rasionalsiasi dan kepentingan ideologis.
Nasroen (1967:19) menyatakan falsafah itu adalah hasil dari tinjauan manusia tentang makna dirinya, makna alam, dan tujuan hidupnya dengan mempergunakan pikiran dan dibantu oleh rasa dan keyakinan yang ada dalam dirinya itu, sebagai suatu kesatuan, yang satu mempengaruhi dan membantu yang lain. Falsafah dijadikan pegangan dan pedoman dalam memberi isi hidupnya dan berusaha mencapai tujuan hidupnya.
Kattsoff (2004:3-4) menyatakan secara sederhana tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat merupakan pemikiran yang sistematis. Kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan. Perenungan kefilsafatan adalah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional yang memadai untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Perenungan kefilsafatan dapat merupakan karya satu orang yang dikerjakannya sendiri, ketika ia dengan pikirannya berusaha keras menemukan alasan dan penjelasan dengan cara semacam bertanya kepada diri sendiri. Atau, perenungan itu dapat pula dilakukan oleh dua atau lebih dari dalam suatu percakapan ketika mereka melakukan analisis, melakukan kritik dan menghubungkan pikiran mereka secara timbal balik. Perenungan kefilsafatan dapat pula semacam percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau dengan orang lain. Hal itu dapat ditunjukkan oleh aktivitas seorang filsuf yang berhubungan dengan polemik yang terkadang mempertentangkan dan membandingkan di antara alternatif-alternatif yang masing-masing berpegangan dari unsur atau segi yang penting, dan kemudian mencoba untuk mengujinya pada pengalaman, kenyataan empirik, dan akal. Ada yang berpendirian bahwa pengetahuan diperoleh hanya melalui pengalaman, dan ada yang berpendirian bahwa pengetahuan didapat hanya melalui akal. Kedua pendiriana itu diuraian secara panjang lebar sampai tercapai suatu sintesis (Kattsoff, 2004:6-7).
Driyarkara (2006:973-998) menguraikan secara panjang lebar tentang filsafat. Kata filsafat dijabarkan dari perkataan philosophia.                                                 Perkataan itu berasal dari bahasa Yunani
yang berarti “cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Menurut tradisi, Pythagoras atau Sokrateslah yang pertama-tama menyebut diri Philosophus, pecinta kebijaksanaan, artinya orang yang ingin mempunyai pengetahuan yang luhur (Sophia); mengingat keluhuran pengetahuan yang dikejarnya itu, maka orang tidak mau berkata bahwa telah mempunyai, memiliki, dan menguasainya. Driyarkara selanjutnya mengatakan, antara ahli pemikir itu sendiri ada perbedaan faham tentang batasan filsafat, namun dalam perbedaan itu terdapat persamaan juga, (a) filsafat adalah suatu bentuk “mengerti”, (b) filsafat termasuk ilmu pengetahuan, dan (c) ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang mengatasi ilmu-ilmu lain. Mengerti ialah setiap kegiatan mana subjek-dengan cara tertentu mempersatukan diri-dengan suatu objek. Setiap bentuk mengerti berarti menjadi satu walaupun cara mempersatukan diri itu berlainan menurut derajad kesempurnaan subjek yang mengerti itu. Mengerti selalu mengandung hubungan antara subjek dan objek. Subjek yang mengerti dan objek yang dimengerti. Ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengetahuan mengenai sesuatu hal tertentu (objek lapangan) yang merupakan kesatuan yang sistematis guna memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan dasar-dasar dari hal/ kejadian itu. Penjelasan yang ketiga bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mengatasi ilmu-ilmu lain dapat dijelaskan bahwa filsafat tidak termasuk ruangan ilmu yang khusus, filsafat dapat dikatakan suatu ilmu yang objeknya tak terbatas, jadi mengatasi ilmu-ilmu lainnya. Hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu lain dapat dijelaskan (a) filsafat mempunyai objek yang lebih luas, (b) filsafat hendak memberikan pengetahuan yang lebih mendalam dengan menunjukkan sebab-sebab, dan (c) filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus, mempersatukan, dan mengkoordinasikannya, dan (d) lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu pengetahuan, tetapi sudut pandangnya lain.
Mudhofir (2001: 277-278) juga menjelaskan “masalah filsafat memiliki ciri sangat umum. Masalah filsafat mempunyai tingkat keumuman yang tinggi dan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus melainkan kebanyakan dengan gagasan besar”. Dalam kaitan ini, Kattsoff (2004:12-13) menyatakan bahwa filsafat berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai untuk dunia tempat kita hidup maupun untuk diri kita sendiri. Ilmu menjelaskan tentang kenyataan empiris yang dialami, filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan mengenai ilmu dan yang lebih luas dari ilmu itu sendiri. Filsafat berusaha memberi penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Dalam sudut pandang ini, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang paling umum.
Sebagai suatu ilmu, filsafat mendasarkan penyelidikan berdasarkan metode yang bersifat ilmiah, artinya dengan pengamatan-pengamatan kenyataan-kenyataan, yang hasilnya digolong-golongkan, dianalisis dijadikan satu sistem. Alat yang digunakan untuk penyelidikan itu ialah akal budi, pikiran manusia sendiri. Filsafat hanya menggunakan budi murni untuk mencapai sebab-sebab yang terdalam itu, tidak berdasarkan pertolongan istimewa dari Wahyu Tuhan, melainkan berdasarkan kekuatannya sendiri, hanya dengan pertolongan panca indera dan analisis-analisis. Pada bagian akhir, Driyarkara (2006:997) menyimpulkan bahwa “filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab yang terdalam, tercapai dengan budi murni”.
Pada bagian lain, Driyarkara (2006: 2012) menjelaskan berikut ini:
Filsafat menjadi suatu “ajaran hidup”. Orang mengharapkan dari filsafat dasar-dasar ilmiah yan dibutuhkannya untuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk- petunjuk bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia yang sempurna, yang baik, yang susila, dan bahagia. Jadi, tidak hanya ilmu yang teoretis saja, melainkan yang praktis juga, artinya yang mencoba menyusun aturan-aturan yang harus dituruti agar hidup kita mendapat isi dan nilai. Dan ini sesuai dengan arti “filsafat” sebagai usaha mencari kebijaksanaan yang meliputi baik pengetahuan (insight) maupun sikap hidup yang benar-benar, yang sesuai dengan pengetahuan itu.
Mudhofir (2001:277) menjelaskan pengertian filsafat sebagai berikut:
Philosophy-Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Istilah Yunani philein= “mencintai”, sedangkan philos=”teman”. Istilah Sophos = “bijaksana”, sedangkan Sophia-’kebijaksanaan”. Apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philen dan Sophos, maka berarti “mencintai sifat bijaksana” (bijaksana sebagai kata sifat). Apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka berati “teman kebijaksanaan” (kebijaksanaan sebagai benda).
Selanjutnya, Mudhofir (2001:277) menjelaskan tentang arti filsafat sebagai berikut:
Beberapa definisi pokok tentang filsafat adalah: (1) usaha secara spekulatif untuk menyajikan pandangan yang sistematik dan lengkap tentang semua kenyataan, (2) usaha untuk mendeskripsikan sifat dasar yang terdalam dan sesungguhnya dari kenyataan, (3) usaha untuk menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan kita dalam hal sumber, sifat, validitas dan nilainya, (4) penyelidikan secara kritis terhadap praanggapan-praanggapan dan pengakuan kebenaran yang dilalukan oleh berbagai bidang pengetahuan, dan (5) ilmu yang mencoba untuk membantu kamu “melihat” apa yang kamu katakan dan mengatakan apa yang kamu lihat.
Dalam Kamus Filsafat Blackburn (2013: 659) dijelaskan makna philosophy sebagai berikut:
Philosophy dalam bahasa Yunani dimaknai sebagai mencintai pengetahuan atau kebijaksanaan. Lebih lanjut dijelaskan studi tentang ciri dan sifat paling umum dan abstrak tentang dunia dan kategori di mana kita berfikir: jiwa, materi, rasio, pembuktian, kebenaran, dan lain-lain. Dalam filsafat, dengan konsep itu kita mendekati dunia yang menjadi topik penyelidikannya. Filsafat tentang disiplin ilmu tertentu misalnya sejarah, fisika, atau hukum tidak terlalu berfokus pada jawaban atas pertanyaan historis, fisik, atau legal, selain mempelajari konsep yang menstrukturkan pemikiran tersebut dan meletakkan fondasi dan asumsi mereka. Dalam pengertian ini, filsafat muncul ketika praktik menjadi kesadaran akan diri. Garis batas antara refleksi “orde kedua” dan cara-cara disiplin ilmu “orde pertama” berpraktik tidak begitu jelas: persoalan filosofis bisa saja terjawab sendiri perkembangan disiplin ilmu yang dikajinya itu, meski perilaku disiplin ilmu sering kali digerakkan oleh refleksi

filosofisnya. Pada masa-masa yang berbeda, muncul kurang lebih optimisme tentang kemungkinan dari filsafat murni atau “pertama” yang mengambil titik pijak apriori yang darinya praktik intelektual lain dapat dinilai sebagian dan tunduk pada evaluasi dan koreksi logis. Semangat kontemporer untuk topik ini agak memusuhi kemungkinan yang seperti itu, dan lebih suka melihat refleksi filosofis sebagai kelanjutan dari praktik terbaik bidang penyelidikan intelektual apa pun.
Ali Maksum dalam buku Pengantar Filsafat (2008:21) menjelaskan bahwa filsafat
adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan
yang mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berfikir secara radikal (mendasar,
mendalam, sampai ke akar-akarnya) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral,
dan tidak khusus serta tidak parsial). Karakteristik mendasar menurut Suriasumantri
(2003:20) dia tidaklagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat
disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah
kriteria itu sendiri benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka
pertanyaan itu melingkar dan menyusur sebu8ah lingkaran, kita harus mulai dari sebuah titik,
yang awal dan sekaligus akhir.
Ali Maksum (2008:23-24) lebih lanjut menjelaskan, secara historis, semua ilmu
pengetahuan yang dikenal dewasa ini pernah menjadi bagian dati filsafat yang dianggap
sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, dan filsafat pada waktu itu mencakup pula
segala usaha pemikiran mengenai masyarakat. Lama kelaman, seiring dengan perkembangan
peradaban manusia, pelbagai pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat
memisahkan diri dan mengejar tujuan masing-masing. Namun demikian, ilmu-ilmu khusus
itu tidak berarti tidak ada hubungannya sama sekali dengan induknya. Meskipun tetap ada
ciri khusus dan batas-batas yang tegas yang dimiliki setiap ilmu, filsafat berusaha
menyatupadukannya semua ilmu yang terpecah belah itu. Ada interaksi atau salinghubungan
antara ilmu dengan filsafat. Banyak persoalan filsafat yang memerlukan lanjutan dasar pada
pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dangkal dan keliru. Demikian juga, ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan-bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan gagasan-gagasan filsafat yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu khusus memiliki konsep dan asumsi bagi ilmu itu sendiri dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat secara kritis mengalisis konsep-konsep dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu-ilmu untuk memperoleh arti dan validitasnya. Sekiranya konsep-konsep ilmu itu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsinya tidak dikuatkan, maka hasil-hasil yang dicapai ilmu tersebut tidak memiliki landasan yang kokoh. Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus, juga menyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari filsafat. Filsafat bertujuan untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan dunia yang terpadu, komprehensif, dan konsisten. Secara komprehensif artinya tidak ada sesuatu yang berada di luar jangkuan filsafat. Secara konsisten artinya tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berlawanan atau kontradiksi satu dengan lainnya. Dalam kaitan ini, Suriasumantri (2003:20) menjelaskan bahwa berfikir filsafat bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenai ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Daftar Pustaka
Wibawa, Sutisno. 2013.  Filsafat Jawa. Universitas Negeri Jogjakarta.

No comments: