Link Sukses

Banner 728x90 :

Wednesday, 11 November 2015

BAB. IV. MASALAH-MASALAH KELUARGA DEWASA INI



A. Pengantar
Tidak ada satu perbuatan ‘menyimpang’ yang menimbulkan masalah dapat berdiri sendiri. Suatu perbuatan yang disebut ‘menyimpang’ atau ‘bermasalah’ bilamana perbuatan tersebut dinyatakan ‘menyimpang’. Becker (1963) mejelaskan bahwa ‘penyimpangan’ bukanlah kualitas dari suatu tindakan yang dilakukan orang lain, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan ataupun norma dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan itu.
Dengan demikian, maka penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dan hal ini, tentunya menimbulkan berbagai masalah. Misalnya, kekacauan keluarga yang dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit kesatuan sosial terkecil (keluarga), terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya (cfr. William J. Goode, Family Disorganization, in Robert K. Merton and Robert A. Nisbet (eds), Contemporary Social Problems (New York: Hartcourt, Brace & World, 1961: 370).
Perihal mengenai masalah ini akan dibahas pada bagian berikut ini.
B. Disorganisasi Dan Disharmonisasi Keluarga
Disorganisasi suatu keluarga berkaitan erat dengan disharmonisasi dalam suatu keluarga, yang berada dalam suatu masyarakat secara keseluruhan. ‘Kasus Keluarga’ diawali dengan pasangan suami istri yang menjalankan ‘bahtera perkawinan’ yang mengharapkan kebahagiaan selamanya tidak terwujud. Apakah yang menjadi sumber hambatan bagi suatu keluarga, sehingga pasangan suami istri tidak hidup dalam suatu situasi yang membahagiakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan ditelusuri pada beberapa hal tersebut.
1. Ikatan Perkawinan Dipermasalahkan
Keluar-biasaan dari tata peneguhan suatu pernikahan lebih bersifat liturgis dan sosial daripada yuridis, artinya orang yang melangsungkan ‘perkawinan rahasia’, biasa menikah menurut ‘forma canonica ordinaria’ yakni di hadapan imam/diakon/ awam yang diangkat, akan tetapi umat atau masyarakat setempat tidak mengetahui telah berlangsungnya suatu pernikahan/perkawinan.
Perkawinan tersebut dapat disebut sebagai ‘matrimoniumn conscientiae’, memberikan petunjuk tentang pertanyaan: (a) siapakah yang boleh memberikan ijin untuk menikah secara rahasia; (b) apa sebabnya boleh memberikan ijin atas pernikahan tersebut (atas alasan yang sangat mendesak dan berat); (c) unsur-unsur manakah yang terkandung dalam ijin ini: *sebelum pelangsungan nikah (pemeriksaan dijalankan secara rahasia), *sementara pelangsungan nikah (hanya hadir dua mempelai, peneguh nikah dan dua saksi), *sesudah peneguhan nikah (rahasia disimpan oleh mereka semua termasuk pula pemberi ijin nikah); (d) berapa lama pemberi ijin nikah terikat oleh rahasia itu (sampai muncul bahaya batu sandungan berat/ketidak adilan terhadap kesucian perkawinan.
Halangan nikah berlaku beberapa dalil sebagai berikut:
(a) Halangan dari hukum Ilahi senantiasa berlaku, jadi seorang calon mempelai tidak bisa memberikan kepada dirinya sendiri dispensasi (epikeia) dari halangan ini, yakni :
§ mempelai terlalu muda untuk kawin,
§ impotensia untuk bersetubuh,
§ ikatan nikah dengan seorang partner lain,
§ hubungan darah dekat (orang tua dengan kakak, adik, nenek dan cucunya, dan lain sebagainya).
(b) halangan dari hukum agama, dsb.
Jadi, dengan kata lain, ikatan perkawinan tidaklah dipersoalkan ataupun dipertentangkan, maka haruslah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
§ habilitas, yaitu luput dari larangan moral maupun larangan yuridis.
§ consensus yang cukup pada kedua belah pihak agar valid.
§ adakalanya perlu forma debita agar valida.
§ keadaan rahmat, agar terjadi convalidatio licita.
Sebab-musabab yang ikut mempengaruhi suatu pernikahan dapat dipermasalahkan, bersumber pada tiga hal (invaliditas nikah) :
a. Defectus habilitatis, yaitu kekurangan dalam kemampuan yuridis untuk
menikah.
b. Defectus consensus, yaitu kekurangan pada kesepakatan nikah.
§ Tidak ada pengetahuan minimal tentang kodrat nikah.
§ Kekeliruan mengenai diri orangnya.
§ Kekeliruan mengenai sifat yang menjadi tujuan langsung dan utama dan sangat mengacau persekutuan nikah karena tipuan.
§ Kekeliruan mengenai sifat hakiki nikah, error mana yang menentukan kemauan.
§ Kekeliruan mengenai ketidaksahnya perlangsungan nikah jika mempengaruhi kemauan.
c. Defectus formae debitae, yaitu kekurangan dalam formalita pelangsungan nikah, yaitu:
§ satu atau kedua mempelai atau wakilnya tidak hadir.
§ mereka hadir namun kesepakatan nikah tidak dinyatakan.
§ mempelai tidak diwakili, tanpa mandat yang sah.
§ tidak ada pengaruh peneguh ex officio atau ex delegationae, dan sebagainya.
2. Unsur-unsur Hakiki Perkawinan Ditolak.
Bisa jadi, orang mau menikah namun mengesampingkan salah satu unsur positif atau yang fundamental tentang perkawinan, yang antara lain disebutkan berikut ini:
a) Dalam setiap persetubuhan/kontak genital ditolak. Disini dapat dijelaskan bahwa orang yang bisa saja mau menikah atau kawin agar ada teman yang dianggap sebagai pelindung, atau sebagai pengurus rumah tangga, namun semenjak permulaan menolak untuk bersetubuh, bahkan pada saat nikah dilangsungkan hak atas persetubuhan tidak diserahkan, dan atau tidak diterima. Sikap ini muncul dari suatu pandangan rendah dari seksualis uang mungkin dianggapnya sebagai ‘najis’, bisa juga muncul dari suatu kekurangan psikis dan fisik normal dalam kematangan affektif, dan sebagainya. Bisa jadi, orang menderita trauma karena suatu pengalaman pahit yang pernah dialaminya, sehingga setiap kontak badani selalu dibenci.
b)Keterarahan persetubuhan kepada bonum prolis sama sekali ditolak. Sering dilihat bahwa seseorang suka akan persetubuhan atau pergaulan seksual, namun sama sekali menolak untuk hamil atau melahirkan anak. Oleh karena itu, copula hanya mau dibuat secara antikonsepsional.
c) Keterarahan persetubuhan menuju pembinaan anak ditolak. Penolakan semacam ini jarang akan muncul. Memang agak sulit bisa kita bayangkan bahwa pada saat peneguhan perkawinan seseorang mempelai akan menyatakan bahwa ia sungguh mau menikah, mau bersetubuh pula, mau melahirkan anak pula, akan tetapi menolak mendidik anaknya itu.
d) Kebersamaan nikah ditolak pada saat nikah dilangsungkan. Statement ini sangatlah baru dan agak kabur bobotnya. Kendatipun demikian, kekaburan itu rupanya sudah agak pasti bahwa jika ada orang yang mau manikah, namun hanya bermaksud bersetubuh pada waktu-waktu tertentu tetapi sama sekali tidak mau membentuk suatu rumah tangga atau membentuk suatu unit sosial/psikhologis/ekonomis tertentu dengan partner seksualnya.
3. Ketegangan-ketegangan Dalam Keluarga
Hal-hal yang menimbulkan suatu ketegangan dalam keluarga, selain keluarga, selain perkawinan yang dipermasalahkan adalah bahwa perihal tersebut bisa saja menciptaka konflik antara suami dan istri, yang sekaligus mengancam stabilitas perkawinan. Ketegangan-ketegangan dalam keluarga merupakan suatu ‘variasi’ dalam keluarga bersama sebagai suatu unit terkecil yaitu keluarga. Misalnya, ketegangan antara anak dan orang tuanya, antara mertuanya dan anak mertuanya, yang kadangkala terbawa pada suatu kelompok kerabat yang lebih luas, dan selain itu pula ketegangan yang muncul karena hadirnya ‘orang ketiga’ (hugel) diantara pasangan suami-istri.
Ketegangan-ketegangan keluarga ini merupakan suatu kenyataan, karena pengaruh perkembangan atau bergesernya struktur sosio-ekonomi dalam keluarga itu sendiri. Misalnya perkembangan industri, meningkatnya sekularisasi, pertumbuhan urbanisasi ataupun mobilitas sosial, dan sebagainya. Faktor-faktor ini dapat mendorong ‘instabilitas’ keluarga yang langsung membuyarkan ‘harmonisasi’ yang dijalin dalam suatu keluarga. Pengaruh kumulatif ini merupakan suatu bagian dari keadaan yang dapat menjadi amat berat lagi bagi suatu pihak atau keluarga, dan menjadi ambang hancurnya sebuah keutuhan rumah tangga.
Ketegangan-ketegangan yang muncul itu juga di karenakan kedua pasangan suami-istri gagal saling memberi dan menerima diri apa adanya. Mencari cinta dan kasih sayang yang mendasar dalam hidup bersama mengalami situasi kelabu dalam berbagai segi ataupun aspek kehidupan keluarga (nuclear family) maupun (extended family). Di antaranya, yang sangat mendasar adalah kebutuhan biologis (seksual) yang tidak kesampaian diakibakan karena proses penyerahan diri tidak secara utuh.
Selain itu, ketegangan-ketegangan dalam kategori ekonomi, artinya sang suami mungkin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dari sang istri dan anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan lahiriah ini jika tidak dapat dipenuhui maka seringkali menimbulkan pula ketegangan-ketegangan baru. Misalnya seorang istri jika tidak merasa ‘at home’ pada suaminya maka ia mencari jalan ‘konformitas’ baru diluar keluarganya. Dengan kata lain, ia lari mencari pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya pada aktivitas-aktivitas lainya, termasuk ke ‘entertainment’ yang dapat memberikan kepenuhan dan kepuasan sosial-ekonomi bagi dirinya ataupun keluarga, anaknya. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka akan mengancam stabilitas keutuhan keluarga.
Untuk itu pada dewasa ini istri yang bekerja (sebagai salah satu fenomena karier ganda) merupakan kenyataan yang telah diterima oleh kalangan masyarakat luas. Kebanyakan wanita (kelas menengah) yang bekerja saat ini masih belum mengaggap pekerjaannya sebagai suatu karier. Mereka beranggapan hanya sebagai pemenuhan atau penopang kehidupan ekonomi keluarga, bila suaminya tidak bekerja atau berpenghasilan kecil. Hal ini sudah barang tentu memberikan kesan sang suami tidaklah dapat diandalkan, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan keutuhan keluarga.
Masalah-masalah dalam keluarga, pasangan suami-istri sangatlah kompleks yang berhubungan dengan seluruh rangkaian kebutuhan baik pribadi, sosial maupun ekonomi, sehingga tidaklah mengherankan apabila stabilitas, harmonisasi keluarga seringkali terganggu, yang apabila tidak dapat diselesaikan secara rasional, maka bukan tidak mungkin akibatnya fatal yaitu malapetaka perceraian.
C. Perceraian
Banyak orang yang berpikir bahwa disorganisasi dan disharmonisasi keluarga dalam bentuk-bentuk manifestasi seperti perpisahan, penyelewengan, perceraian, kegagalan untuk membantu kehidupan dan kekerasan fisik. Banyak pasangan suami istri yang tidak harmonis segan untuk bercerai karena demi anak-anaknya atau karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti harta, jabatan, kehormatan, gengsi dan lain sebagainya. Namun kemungkinan meningkatnya perceraian selalu ada, walaupun berbeda nilai budaya dan pandangan terhadap masalah perceraian.
Industrialisasi seringkali dikaitkan dengan peningkatan perceraian. Wanita yang semakin tinggi pendidikannya dan bekerja diluar rumah, memiliki keberanian untuk menuntut haknya bahkan berani mengajukan perceraian bila terjadi ketidak harmonisan dalam keluarga. Pada masa lampau ketergantungan pada suami dibidang ekonomi membuat wanita pasrah. Kepasrahan ini telah membudaya sehingga wanita menekan perasaannya untuk memberontak, menentang. Rasa malu untuk bercerai agak berkurang karena mobilitas spasial menjadi lebih mudah, sehingga orang tidak terkungkung dalam lingkungan sosial setempat seumur hidupnya.
Seatherstone mengatakan (1979) bahwa meningkatnya perceraian tidak dapat dipandang sebagai indikator kemerosotan/kegagalan lembaga keluarga dalam mempertahankan eksistensinya, akan tetapi sekedar krisis dari daya tahan keluarga. Suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka perceraian meningkat, tetapi sebagian besar orang yang bercerai segera menikah lagi. Kenyataan ini membuktikan bahwa bukan kehidupan berkeluarga yang tidak disukai melainkan pasangan terdahulu.
Perceraian merupakan kecemasan yang paling menyakitkan bagi setiap anggota keluarga yang mengalaminya. Perceraian berkembang dengan sangat pesat, semakin umum orang menerimanya dan tidak lagi dianggap sebagai tabuh atau aib, karena semakin banyak orang tua, saudara atau kerabat, sahabat dan orang lain yang bercerai.
Ketidak-bahagiaan dalam perkawinan (keluarga) mungkin atau tidak mungkin telah berkembang, akan tetapi kesediaan untuk bercerai sebagai jalan keluar dari ketidak harmonisan/ketidaksesuaian semakin banyak orang yang memilihnya. Sebagai contoh dari hasil penelitian Glick dan Norton, 1979 menunjukkan bahwa kira-kira 38 % perkawinan pertama bagi wanita yang sekarang berusia 25 sampai 29 tahun berakhir dengan perceraian, 75 % dari wanita yang bercerai menikah lagi, dan 45 % dari yang menikah lagi, kemudian bercerai.
Perceraian sulit untuk diatasi karena berhubungan dengan kesadaran moral orang mengenai kesesuaian masing-masing pasangan, kebebasan untuk menentukan sikap, dan mengambil keputusan, walaupun secara keagamaan dianggap tidak mungkin, namun manusia punya kehendak bebas untuk merealisasikan keputusannya untuk bercerai.
Upaya untuk meminimalisasikan keinginan pasangan untuk bercerai, baik oleh kalangan akademis maupun agama dan pemerintah cukup maksimal, hal itu nampak dari keinginan masyarakat untuk (1) tidak menekan cinta; perkawinan merupakan kesatuan kerja, bukan petualangan cinta romantis. Jika tidak banyak yang diharapkan dari perkawinan, biasanya lebih banyak perkawinan akan berhasil, (2) memisahkan cinta dari perkawinan; sejumlah masyarakat khususnya di masyarakat-masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sekularitas mempunyai serangkaian klub persahabatan kaum pria dan mengijinkan pria bebas berpetualangan seksual, (3) Masyarakat dapat mensosialisasikan para anggotanya untuk memiliki kepribadian dan harapan yang stabil serta terintegrasi dengan baik sehingga bukan tidak mungkin perkawinan dapat berhasil mencapai penyetaraan, (4) Keluargaisme yang kuat pengaruhnya sehingga perceraian tidak dapat diterima yaitu dengan sebanyak mungkin kepentingan, hak istimewa dan kepuasan seseorang dikaitkan dengan pertalian perkawinan/keluarga, sehingga peluang atau upaya untuk memutuskan ikatan perkawinan akan berarti membatalkan hampir seluruh tuntutan dan hak istimewa yang membuat realita kehidupan perkawinan dapat diterima, (5) melarang perceraian secara hukum atau aturan hukumnya dibuat sangat sulit sehingga pasangan perkawinan yang kemudian tidak bahagia/tidak harmonis, enggan melihat perceraian sebagai suatu jalan keluar◙.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1) A.M. Rose., Sociology; Alfred A. Knopf, New York, 1967.
2) Cooley H. Charles., Social Organization; New York : Charles Scribner’s Sons, 1909.
3) E.S. Bogardus., Sociology; The Mac Millan Company, New York, 1954.
4) Ernest W. Burgess and Harvey J. Locke., The Family From Institution To Companionship; American Book Company, New York, Second Edition, 1960.
5) F.E. Merrill., Society and Culture; Prentice Hall, Inc, New Jersey, 1965.
6) Field David., Kepribadian Keluarga; Kanisius, Yokyakarta, 1992.
7) Horton B. Paul dan Chester L. Hunt., Sosiologi, Jilid I, Ed. 6, Erlangga, 1987.
8) Indra S., Faktor-faktor Penting Dalam Kehidupan Keluarga Bahagia; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1980.
9) J. Van Paassen., Hukum Nikah Kanonik; STF. Seminari Pineleng, 1983.
10) Khairuddin H., Sosiologi Keluarga; Nur Cahaya, Cetakan I, 1985.
11) Mabe A. Elliot and Prancis E. Merrill; Social Disorganization; Harper & Brothers, Publishers, New York, 1961.
12) Olmsted Michael S.., The Small Group; New York, Random House, 1962
13) R.J. Havighurst and B.L. Neugarten., Society and Education; Allyn and Bacon,Inc., Boston, 1964.
14) R.M. Mac Iver and Charles H. Page., Sosiety an Introductory Analysis; Mac Millan & Co, Ltd, London, 1952.
15) R.S. Lazarus., Adjustment and Personality; Mc. Graw-Hill Book Co, Inc, New York, 1961.
16) Robert Biersted., The Science Of Sociology, 1957., dalam Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi., Setangkai Bunga Sosiologi; Yayasan Badan Penerbit FE-UI, Jakarta, 1964.
17) Soleman B. Taneko., Struktur Dan Proses Sosial; CV. Rajawali, Jakarta, Cet.II, 1990.
18) Soerjono Soekanto., Sosiologi Keluarga; Rineka Cipta, Jakarta,1990.
19) Sanderson Stephen K., Sosiologi Makro; Edisi II, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta 1993.
20) Thomas Ford Hoult., Dictionary Of Modern Sociology; Little Field, Adams & Co., New Jersey, 1974.
21) Veeger K.J., Sosiologi Perkawinan Dan Keluarga; Stisipol Merdeka, Manado, 1983.
22) Vembriarto S.T., Sosiologi Pendidikan; Yayasan Pendidikan Paramita, Yokyakarta, 1987.
23) William J. Goode., Sosiologi Keluarga; Bina Aksara, Jakarta, 1983.
24) Wirotomo Paulus., Sosialisasi Dalam Keluarga Indonesia; Fisip UI, Jakarta, 1994.

No comments: