A.
Pengantar
Tidak ada satu perbuatan ‘menyimpang’ yang menimbulkan masalah dapat
berdiri sendiri. Suatu perbuatan yang disebut ‘menyimpang’ atau ‘bermasalah’
bilamana perbuatan tersebut dinyatakan ‘menyimpang’. Becker (1963) mejelaskan
bahwa ‘penyimpangan’ bukanlah kualitas dari suatu tindakan yang dilakukan orang
lain, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan ataupun norma dan penerapan
sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan itu.
Dengan demikian, maka penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan
sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dan
hal ini, tentunya menimbulkan berbagai masalah. Misalnya, kekacauan keluarga yang dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu
unit kesatuan sosial terkecil (keluarga), terputusnya atau retaknya struktur
peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran
mereka secukupnya (cfr. William J. Goode, Family Disorganization, in
Robert K. Merton and Robert A. Nisbet (eds), Contemporary Social Problems (New
York: Hartcourt, Brace & World, 1961: 370).
Perihal mengenai masalah ini akan dibahas pada bagian
berikut ini.
B. Disorganisasi Dan Disharmonisasi Keluarga
Disorganisasi suatu keluarga
berkaitan erat dengan disharmonisasi dalam suatu keluarga, yang berada dalam
suatu masyarakat secara keseluruhan. ‘Kasus Keluarga’ diawali dengan pasangan
suami istri yang menjalankan ‘bahtera perkawinan’ yang mengharapkan kebahagiaan
selamanya tidak terwujud. Apakah yang menjadi sumber hambatan bagi suatu
keluarga, sehingga pasangan suami istri tidak hidup dalam suatu situasi yang
membahagiakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan ditelusuri pada beberapa hal
tersebut.
1. Ikatan Perkawinan Dipermasalahkan
Keluar-biasaan dari tata peneguhan
suatu pernikahan lebih bersifat liturgis dan sosial daripada yuridis, artinya
orang yang melangsungkan ‘perkawinan rahasia’, biasa menikah menurut ‘forma
canonica ordinaria’ yakni di hadapan imam/diakon/ awam yang diangkat, akan
tetapi umat atau masyarakat setempat tidak mengetahui telah berlangsungnya
suatu pernikahan/perkawinan.
Perkawinan tersebut dapat disebut
sebagai ‘matrimoniumn conscientiae’, memberikan petunjuk tentang
pertanyaan: (a) siapakah yang boleh memberikan ijin untuk menikah secara
rahasia; (b) apa sebabnya boleh memberikan ijin atas pernikahan tersebut (atas
alasan yang sangat mendesak dan berat); (c) unsur-unsur manakah yang terkandung
dalam ijin ini: *sebelum pelangsungan nikah (pemeriksaan dijalankan secara
rahasia), *sementara pelangsungan nikah (hanya hadir dua mempelai, peneguh
nikah dan dua saksi), *sesudah peneguhan nikah (rahasia disimpan oleh mereka
semua termasuk pula pemberi ijin nikah); (d) berapa lama pemberi ijin nikah
terikat oleh rahasia itu (sampai muncul bahaya batu sandungan berat/ketidak
adilan terhadap kesucian perkawinan.
Halangan nikah berlaku beberapa
dalil sebagai berikut:
(a) Halangan dari hukum Ilahi senantiasa berlaku, jadi
seorang calon mempelai tidak bisa memberikan kepada dirinya sendiri dispensasi
(epikeia) dari halangan ini, yakni :
§ mempelai terlalu muda untuk kawin,
§ impotensia untuk bersetubuh,
§ ikatan nikah dengan seorang partner lain,
§ hubungan darah dekat (orang tua dengan kakak, adik, nenek dan cucunya,
dan lain sebagainya).
(b) halangan dari hukum agama,
dsb.
Jadi, dengan kata lain,
ikatan perkawinan tidaklah dipersoalkan ataupun dipertentangkan, maka haruslah
memenuhi beberapa syarat berikut ini:
§ habilitas, yaitu luput dari larangan moral maupun larangan
yuridis.
§ consensus yang cukup pada kedua belah pihak agar valid.
§ adakalanya perlu forma debita agar valida.
§ keadaan rahmat, agar terjadi convalidatio licita.
Sebab-musabab yang ikut mempengaruhi suatu pernikahan dapat
dipermasalahkan, bersumber pada tiga hal (invaliditas nikah) :
a. Defectus habilitatis, yaitu kekurangan dalam kemampuan yuridis
untuk
menikah.
b. Defectus consensus, yaitu kekurangan pada kesepakatan nikah.
§ Tidak ada pengetahuan minimal tentang kodrat nikah.
§ Kekeliruan mengenai diri orangnya.
§ Kekeliruan mengenai sifat yang menjadi tujuan langsung dan utama dan
sangat mengacau persekutuan nikah karena tipuan.
§ Kekeliruan mengenai sifat hakiki nikah, error mana yang menentukan
kemauan.
§ Kekeliruan mengenai ketidaksahnya perlangsungan nikah jika mempengaruhi
kemauan.
c. Defectus formae debitae, yaitu kekurangan dalam formalita
pelangsungan nikah, yaitu:
§ satu atau kedua mempelai atau wakilnya tidak hadir.
§ mereka hadir namun kesepakatan nikah tidak dinyatakan.
§ mempelai tidak diwakili, tanpa mandat yang sah.
§ tidak ada pengaruh peneguh ex officio atau ex delegationae,
dan sebagainya.
2. Unsur-unsur Hakiki Perkawinan
Ditolak.
Bisa jadi, orang mau menikah namun mengesampingkan salah satu unsur positif
atau yang fundamental tentang perkawinan, yang antara lain disebutkan berikut
ini:
a) Dalam setiap persetubuhan/kontak genital ditolak. Disini dapat
dijelaskan bahwa orang yang bisa saja mau menikah atau kawin agar ada teman
yang dianggap sebagai pelindung, atau sebagai pengurus rumah tangga, namun
semenjak permulaan menolak untuk bersetubuh, bahkan pada saat nikah
dilangsungkan hak atas persetubuhan tidak diserahkan, dan atau tidak diterima.
Sikap ini muncul dari suatu pandangan rendah dari seksualis uang mungkin
dianggapnya sebagai ‘najis’, bisa juga muncul dari suatu kekurangan psikis dan
fisik normal dalam kematangan affektif, dan sebagainya. Bisa jadi, orang
menderita trauma karena suatu pengalaman pahit yang pernah dialaminya, sehingga
setiap kontak badani selalu dibenci.
b)Keterarahan persetubuhan kepada bonum prolis
sama sekali ditolak. Sering dilihat bahwa
seseorang suka akan persetubuhan atau pergaulan seksual, namun sama sekali
menolak untuk hamil atau melahirkan anak. Oleh karena itu, copula hanya mau
dibuat secara antikonsepsional.
c) Keterarahan persetubuhan menuju pembinaan anak ditolak. Penolakan
semacam ini jarang akan muncul. Memang agak sulit bisa kita bayangkan bahwa
pada saat peneguhan perkawinan seseorang mempelai akan menyatakan bahwa ia
sungguh mau menikah, mau bersetubuh pula, mau melahirkan anak pula, akan tetapi
menolak mendidik anaknya itu.
d) Kebersamaan nikah ditolak pada saat nikah dilangsungkan. Statement ini
sangatlah baru dan agak kabur bobotnya. Kendatipun demikian, kekaburan itu
rupanya sudah agak pasti bahwa jika ada orang yang mau manikah, namun hanya
bermaksud bersetubuh pada waktu-waktu tertentu tetapi sama sekali tidak mau
membentuk suatu rumah tangga atau membentuk suatu unit
sosial/psikhologis/ekonomis tertentu dengan partner seksualnya.
3. Ketegangan-ketegangan Dalam
Keluarga
Hal-hal yang menimbulkan suatu ketegangan dalam keluarga, selain keluarga,
selain perkawinan yang dipermasalahkan adalah bahwa perihal tersebut bisa saja
menciptaka konflik antara suami dan istri, yang sekaligus mengancam stabilitas
perkawinan. Ketegangan-ketegangan dalam keluarga merupakan suatu ‘variasi’
dalam keluarga bersama sebagai suatu unit terkecil yaitu keluarga. Misalnya,
ketegangan antara anak dan orang tuanya, antara mertuanya dan anak mertuanya,
yang kadangkala terbawa pada suatu kelompok kerabat yang lebih luas, dan selain
itu pula ketegangan yang muncul karena hadirnya ‘orang ketiga’ (hugel) diantara
pasangan suami-istri.
Ketegangan-ketegangan keluarga ini merupakan suatu kenyataan, karena
pengaruh perkembangan atau bergesernya struktur sosio-ekonomi dalam keluarga
itu sendiri. Misalnya perkembangan industri, meningkatnya sekularisasi,
pertumbuhan urbanisasi ataupun mobilitas sosial, dan sebagainya. Faktor-faktor ini dapat mendorong ‘instabilitas’ keluarga yang langsung
membuyarkan ‘harmonisasi’ yang dijalin dalam suatu keluarga. Pengaruh kumulatif
ini merupakan suatu bagian dari keadaan yang dapat menjadi amat berat lagi bagi
suatu pihak atau keluarga, dan menjadi ambang hancurnya sebuah keutuhan rumah
tangga.
Ketegangan-ketegangan yang muncul itu juga di karenakan kedua pasangan
suami-istri gagal saling memberi dan menerima diri apa adanya. Mencari cinta
dan kasih sayang yang mendasar dalam hidup bersama mengalami situasi kelabu
dalam berbagai segi ataupun aspek kehidupan keluarga (nuclear family)
maupun (extended family). Di antaranya, yang sangat mendasar adalah
kebutuhan biologis (seksual) yang tidak kesampaian diakibakan karena proses
penyerahan diri tidak secara utuh.
Selain itu, ketegangan-ketegangan dalam kategori ekonomi, artinya sang
suami mungkin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dari sang istri dan
anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan lahiriah ini jika tidak dapat dipenuhui maka
seringkali menimbulkan pula ketegangan-ketegangan baru. Misalnya seorang istri
jika tidak merasa ‘at home’ pada suaminya maka ia mencari jalan
‘konformitas’ baru diluar keluarganya. Dengan kata lain, ia lari mencari
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya pada aktivitas-aktivitas lainya, termasuk ke ‘entertainment’
yang dapat memberikan kepenuhan dan kepuasan sosial-ekonomi bagi dirinya
ataupun keluarga, anaknya. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka akan
mengancam stabilitas keutuhan keluarga.
Untuk itu pada dewasa ini istri yang bekerja (sebagai salah satu fenomena
karier ganda) merupakan kenyataan yang telah diterima oleh kalangan masyarakat
luas. Kebanyakan wanita (kelas menengah) yang bekerja saat ini masih belum
mengaggap pekerjaannya sebagai suatu karier. Mereka beranggapan hanya sebagai
pemenuhan atau penopang kehidupan ekonomi keluarga, bila suaminya tidak bekerja
atau berpenghasilan kecil. Hal ini sudah barang tentu memberikan kesan sang
suami tidaklah dapat diandalkan, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan
keutuhan keluarga.
Masalah-masalah dalam keluarga, pasangan suami-istri sangatlah kompleks
yang berhubungan dengan seluruh rangkaian kebutuhan baik pribadi, sosial maupun
ekonomi, sehingga tidaklah mengherankan apabila stabilitas, harmonisasi
keluarga seringkali terganggu, yang apabila tidak dapat diselesaikan secara
rasional, maka bukan tidak mungkin akibatnya fatal yaitu malapetaka perceraian.
C. Perceraian
Banyak orang yang berpikir bahwa disorganisasi dan disharmonisasi keluarga
dalam bentuk-bentuk manifestasi seperti perpisahan, penyelewengan, perceraian,
kegagalan untuk membantu kehidupan dan kekerasan fisik. Banyak pasangan suami
istri yang tidak harmonis segan untuk bercerai karena demi anak-anaknya atau
karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti harta, jabatan,
kehormatan, gengsi dan lain sebagainya. Namun kemungkinan meningkatnya
perceraian selalu ada, walaupun berbeda nilai budaya dan pandangan terhadap
masalah perceraian.
Industrialisasi seringkali dikaitkan dengan peningkatan perceraian. Wanita
yang semakin tinggi pendidikannya dan bekerja diluar rumah, memiliki keberanian
untuk menuntut haknya bahkan berani mengajukan perceraian bila terjadi ketidak
harmonisan dalam keluarga. Pada masa lampau ketergantungan pada suami dibidang
ekonomi membuat wanita pasrah. Kepasrahan ini telah membudaya sehingga wanita
menekan perasaannya untuk memberontak, menentang. Rasa malu untuk bercerai agak
berkurang karena mobilitas spasial menjadi lebih mudah, sehingga orang tidak
terkungkung dalam lingkungan sosial setempat seumur hidupnya.
Seatherstone mengatakan (1979) bahwa meningkatnya perceraian tidak dapat
dipandang sebagai indikator kemerosotan/kegagalan lembaga keluarga dalam
mempertahankan eksistensinya, akan tetapi sekedar krisis dari daya tahan
keluarga. Suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
angka perceraian meningkat, tetapi sebagian besar orang yang bercerai segera
menikah lagi. Kenyataan ini membuktikan bahwa bukan kehidupan berkeluarga yang
tidak disukai melainkan pasangan terdahulu.
Perceraian merupakan kecemasan yang paling menyakitkan bagi setiap anggota
keluarga yang mengalaminya. Perceraian berkembang dengan sangat pesat, semakin
umum orang menerimanya dan tidak lagi dianggap sebagai tabuh atau aib, karena
semakin banyak orang tua, saudara atau kerabat, sahabat dan orang lain yang
bercerai.
Ketidak-bahagiaan dalam perkawinan (keluarga) mungkin atau tidak mungkin
telah berkembang, akan tetapi kesediaan untuk bercerai sebagai jalan keluar
dari ketidak harmonisan/ketidaksesuaian semakin banyak orang yang memilihnya.
Sebagai contoh dari hasil penelitian Glick dan Norton, 1979 menunjukkan bahwa
kira-kira 38 % perkawinan pertama bagi wanita yang sekarang berusia 25 sampai
29 tahun berakhir dengan perceraian, 75 % dari wanita yang bercerai menikah
lagi, dan 45 % dari yang menikah lagi, kemudian bercerai.
Perceraian sulit untuk diatasi karena berhubungan dengan kesadaran moral
orang mengenai kesesuaian masing-masing pasangan, kebebasan untuk menentukan
sikap, dan mengambil keputusan, walaupun secara keagamaan dianggap tidak
mungkin, namun manusia punya kehendak bebas untuk merealisasikan keputusannya
untuk bercerai.
Upaya untuk meminimalisasikan keinginan pasangan untuk bercerai, baik oleh
kalangan akademis maupun agama dan pemerintah cukup maksimal, hal itu nampak
dari keinginan masyarakat untuk (1) tidak menekan cinta; perkawinan merupakan
kesatuan kerja, bukan petualangan cinta romantis. Jika tidak banyak yang
diharapkan dari perkawinan, biasanya lebih banyak perkawinan akan berhasil, (2)
memisahkan cinta dari perkawinan; sejumlah masyarakat khususnya di
masyarakat-masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sekularitas mempunyai
serangkaian klub persahabatan kaum pria dan mengijinkan pria bebas
berpetualangan seksual, (3) Masyarakat dapat mensosialisasikan para anggotanya
untuk memiliki kepribadian dan harapan yang stabil serta terintegrasi dengan
baik sehingga bukan tidak mungkin perkawinan dapat berhasil mencapai penyetaraan,
(4) Keluargaisme yang kuat pengaruhnya sehingga perceraian tidak dapat diterima
yaitu dengan sebanyak mungkin kepentingan, hak istimewa dan kepuasan seseorang
dikaitkan dengan pertalian perkawinan/keluarga, sehingga peluang atau upaya
untuk memutuskan ikatan perkawinan akan berarti membatalkan hampir seluruh
tuntutan dan hak istimewa yang membuat realita kehidupan perkawinan dapat
diterima, (5) melarang perceraian secara hukum atau aturan hukumnya dibuat
sangat sulit sehingga pasangan perkawinan yang kemudian tidak bahagia/tidak
harmonis, enggan melihat perceraian sebagai suatu jalan keluar◙.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1) A.M.
Rose., Sociology; Alfred A. Knopf, New York, 1967.
2) Cooley H.
Charles., Social Organization; New York : Charles Scribner’s Sons, 1909.
3) E.S.
Bogardus., Sociology; The Mac Millan Company, New York, 1954.
4) Ernest W.
Burgess and Harvey J. Locke., The Family From Institution To Companionship;
American Book Company, New York, Second Edition, 1960.
5) F.E.
Merrill., Society and Culture; Prentice Hall, Inc, New Jersey, 1965.
6) Field David., Kepribadian Keluarga; Kanisius, Yokyakarta, 1992.
7) Horton B.
Paul dan Chester L. Hunt., Sosiologi, Jilid I, Ed. 6, Erlangga, 1987.
8) Indra S.,
Faktor-faktor Penting Dalam Kehidupan Keluarga Bahagia; BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1980.
9) J. Van Paassen., Hukum Nikah Kanonik; STF. Seminari Pineleng, 1983.
10)
Khairuddin H., Sosiologi Keluarga; Nur Cahaya, Cetakan I, 1985.
11) Mabe A.
Elliot and Prancis E. Merrill; Social Disorganization; Harper & Brothers, Publishers,
New York, 1961.
12) Olmsted
Michael S.., The Small Group; New York, Random House, 1962
13) R.J.
Havighurst and B.L. Neugarten., Society and Education; Allyn and Bacon,Inc.,
Boston, 1964.
14) R.M. Mac
Iver and Charles H. Page., Sosiety an Introductory Analysis; Mac Millan &
Co, Ltd, London, 1952.
15) R.S.
Lazarus., Adjustment and Personality; Mc. Graw-Hill Book Co, Inc, New York,
1961.
16) Robert
Biersted., The Science Of Sociology, 1957., dalam Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi., Setangkai Bunga Sosiologi; Yayasan Badan Penerbit FE-UI, Jakarta,
1964.
17) Soleman B. Taneko., Struktur
Dan Proses Sosial; CV. Rajawali, Jakarta, Cet.II,
1990.
18) Soerjono Soekanto., Sosiologi Keluarga; Rineka Cipta, Jakarta,1990.
19) Sanderson Stephen K., Sosiologi Makro; Edisi II, Cet. I, Rajawali Pers,
Jakarta 1993.
20) Thomas
Ford Hoult., Dictionary Of Modern Sociology; Little Field, Adams & Co., New
Jersey, 1974.
21) Veeger K.J., Sosiologi Perkawinan Dan Keluarga; Stisipol Merdeka,
Manado, 1983.
22) Vembriarto S.T., Sosiologi Pendidikan; Yayasan Pendidikan Paramita,
Yokyakarta, 1987.
23) William J. Goode., Sosiologi Keluarga; Bina Aksara, Jakarta, 1983.
24) Wirotomo Paulus., Sosialisasi Dalam Keluarga Indonesia; Fisip UI,
Jakarta, 1994.
No comments:
Post a Comment