Masyarakat Indonesia adalah amat majemuk. Untuk itu membahas tentang
sosialisasi setiap suku bangsa yang ada di masyarakat Indonesia secara detail
tentu saja amatlah kompleks. Di samping itu berbagai proses sedang terjadi
dalam menempatkan Indonesia pada suatu situasi yang sama, yakni berkembangnya
industrialisasi dan teknologi yang menyebabkan hubungan internasional yang
semakin intensif serta proses urbanisasi yang amat pesat sehingga terjadi suatu
‘revolusi informasi’ terutama melalui media massa, elektronik yang amat mudah
ditangkap oleh seluruh lapisan masyarakat. Tambahan pula lembaga sekolah
(terutama sekolah dasar) yang telah menyebar di seluruh pelosok, sangat
mengubah pola sosialisasi di masyarakat Indonesia.
Saat ini sosialisasi yang khas pada suku-suku bangsa tertentu, sudah mulai
pudar. Beberapa nilai dasar yang mencirikan sosialisasi dari suatu suku bangsa
tertentu mungkin masih tetap berusah dipertahankan, tetapi sistem nilai baru
yang dibawa oleh media massa seperti materialisme, individualisme cenderung
mulai diwarnai orientasi nilai seluruh masyarakat indonesia. Lembaga keluarga
memegang peran amat penting dalam setiap masyarakat. Para antropolog mencatat
bahwa secara universal lembaga ini memegang fungsi: pengaturan seksual, penerus
keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang,
perlindungan, dan ekonomi.
James Coleman, seseorang peneliti pendidikan juga telah menemukan bahwa
keluarga merupakan faktor determinan paling berpengaruh terhadap prestasi
pendidikan anak dan status pekerjaannya di kemudian hari; kemudian menyusul
lingkungan pergaulan (peer group) dan ketiga baru sekolah.
Dalam hubungan itu, Berger dan Luckman juga mengatakan bahwa persepsi
terhadap dunia dari Bapak, Ibu sebagai ‘significant others’ (orang yang
amat penting dalam hidup anak) akan menjadi ‘objective reality’ bagi si
anak. ‘ ... though them is filtered a view of the world as natural or normal’.
Menggambarkan pola sosialisasi di
dalam keluarga, dalam konteks masyarakat Indonesia, yaitu industrialisasi dan
urbanisasi. Saat ini masyarakat Indonesia telah mulai dan ditandai oleh
beberapa ciri masyarakat industri yaitu semakin meningkatnya proporsi tenaga
kerja (pria dan wanita) yang bekerja pada sektor industri. Berkembangnya norma
dan nilai kehidupan yang modern, mengakibatkan tingkat urbanisasi, dengan
masuknya gejala globalisasi dan revolusi informasi yang membuat dunia ini
semakin transparan bagi semua orang terkasuk keluarga. Hal ini memberikan
kecenderungan perubahan-perubahan bagi struktur maupun fungsi keluarga dalam
masyarakat.
A. Munculnya Fenomena Keluarga Kecil
Perubahan dalam struktur keluarga di
Indonesia yang paling mencolok saat ini adalah berkurangnya jumlah anak di
dalam keluarga muda. Gejala ini memang relatif masih baru sehingga belum dapat
melihat secara empiris apakah anak yang lebih sedikit jumlahnya di tiap
keluarga akan menghasilkan suatu proses pendidikan yang lebih baik, artinya
menghasilkan anak-anak yang lebih pandai, terampil dan memiliki sikap-sikap,
tindakan yang lebih positif.
Berkurangnya jumlah anak telah
mendorong para orang tua untuk meningkatkan ‘investasi’ pada setiap anak,
seperti: pendidikan formal, kursus ketrampilan, gizi, kesehatan dan sebagainya.
Pada masyarakat kelas bawah menyekolahkan anak saat ini hampir selalu menjadi
obsesi utama mereka. Namun, masalah yang dihadapi kelompok ini adalah mahalnya
dana pendidikan baik ‘real cost’ maupun ‘opportunity cost . Orang
tua kelas menengah cenderung melengkapi rumah mereka dengan berbagai suplemen
bahan serta alat pendidikan seperti buku pengetahuan umum, kamus, ensiklopedia
anak-anak, komputer, TV, serta alat audio visual lainnya. Seringkali suplemen
pendidikan di rumah-rumah kelas menengah ini melebihi apa yang dapat disediakan
di sekolah, sehingga peran keluarga menjadi semakin penting dalam pengembangan
pengetahuan umum serta intelegensa murid.
Di samping itu mereka juga cenderung
mengirim anaknya ke berbagai kursus keterampilan (komputer, bahasa Inggris,
matematika, kesenian dan lain sebagainya). Orang tua golongan Kelas Atas,
cenderung melengkapi pendidikan anak mereka di luar negeri. Kebutuhan ini
rupanya telah merangsang ‘industri’ pendidikan swasta di Indonesia untuk
menyediakan sekolah di dalam negeri yang bertaraf internasional; bahkan bila
perlu sekolah/universitas ini bekerja sama secara langsung dengan
lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri. Dengan demikian, dalam waktu yang
relatif singkat akan terbentuk lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki
pendidikan bertaraf internasional dan siap pula bersaing secara internasional.
Peningkatan aspirasi pendidikan ini
rupanya tidak hanya semata-mata bersifat ‘profan’, tetapi juga
bermotivasi keagamaan. Misalnya kini muncul sekolah-sekolah elit berasaskan
keagamaan. Kelompok ini rupanya ingin menitipkan sebagian pendidikan moral anak
mereka pada lembaga pendidikan formal yang bermutu baik. Peningkatan sumberdaya
manusia pasti mengalami banyak kemajuan pesat karena motivasi, bukan hanya ada
pada pemerintah tetapi telah merata hampir disemua keluarga.
Dari segi lain, perlu dicatat pula
bahwa disamping dapat bersifat mendidik, peralatan audiovisual di dalam rumah
dapat juga menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada proses sosialisasi
anak. Walaupun pesan-pesan di media elektronik tidak serta merta mengubah
perilaku anak, tetapi dengan membanjirnya informasi membuat orang tua di rumah
tidak mampu untuk selalu memberikan pengarahan, bimbingan yang memadai dan
tidak mampu melakukan kontrol yang diperlukan.
Di samping hal tersebut, didalam
keluarga kecil, sifat individualistis secara ’built-in’ akan berkembang
pada pribadi anak. mereka tidak lagi harus berbagi rata dan bertenggang rasa
dengan 7 atau 8 saudaranya seperti pada keluarga di masa lalu. Selain itu
memang tampak adanya nila-nilai baru yang dikembangkan di dalam keluarga
terutama dari kelas menengah ke atas, yaitu sikap yang lebih memandang ke
depan, lebih kompetitif, menghargai prestasi yang tinggi, keinginan untuk
berbuat baik, menyadari nilai-nilai pelestarian alam dan sebagainya. Perubahan
lain dalam lembaga keluarga sebagai akibat industrialisasi adalah gejala
munculnya ‘kepincangan struktur’ yaitu yang berupa: ‘single parent family’
dan single person household’.
1. Gejala Single Parent Familly.
Pengalaman di masyarakat maju
menunjukkan adanya peningkatan jumlah ‘single parent family’ dalam masa
industrialisasi. Di Amerika Serikat misalnya, sekitar 20% anak-anak hidup dalam
single parent family. Walaupun angka ini belum begitu menonjol di
masyarakat kita saat ini (bahkan angka untuk wanita kepala rumah tangga justru
menunjukkan sedikit penurunan, namun tampaknya gejala ini akan meningkat dimasa
datang mengingat akar gejala dari segala gejala yang ada yakni perceraian,
urbanisasi, dan wanita yang tidak menikah menunjukkan gejala peningkatan.
2. Gejala Single Person Household
Dalam masyarakat industri, mobilitas
masyarakat sangat tinggi, banyak orang meninggalkan sanak saudara, keluarga dan
hidup sendiri di daerah lain (di luar negeri, biasanya di daerah perkotaan),
terutama pada anak remaja. Hal ini terutama pada anak-anak muda dari desa yang
datang ke kota-kota untuk menjadi buruh industri. Golongan buruh yang
berpenghasilan rendah, mungkin tidak hidup sendiri di dalam suatu rumah, tetapi
pada kenyataannya mereka juga merupakan suatu ‘single person household’
karena mereka hidup sendiri dan menentukan pengeluarannya sendiri.
Kelompok kaum muda desa yang bermigrasi
ke kota telah mengalami suatu ‘interupsi’ dalam proses sosialisasinya sebagai
orang desa. Kini mereka diperhadapkan dengan suatu kehidupan kota yang jauh
lebih berbeda dengan latar belakang kehidupan mereka sebelumnya. Penyesuaian
diri mereka pada pola atau norma-norma kota berjalan kurang baik karena mereka
tidak hidup dalam keluarga yang lengkap dan stabil. Mereka memperoleh
sosialisasi dengan kelompok sebaya.
Perkembangan lebih lanjut dari cara
hidup dan kebudayaan ‘kaum muda buruh’ dikota masih belum dapat diantisipasi,
karena hal ini merupakan suatu fenomena baru. Tetapi dapat diduga bahwa mereka
akan menjadi kelompok yang kehilangan kepribadian desa. Karena tidak mampu
mengadopsi budaya kota secara sempurna, diduga mereka akan bersikap agresif dan
pesimistik dalam berbagai hal. Pemantauan sosial perlu dilakukan karena gejala
ini akan memiliki dampak penting baik terhadap keluarga yang akan terbentuk
dari kaum muda buruh ini, maupun terhadap kehidupan kota itu sendiri di masa
depan.
Perubahan yang paling mencolok di
dalam keluarga pada masa kini adalah dalam hal jumlah wanita yang bekerja.
Trend ini akan terus berkembang karena sekarang tampak adanya gejala gaya hidup
yang mulai membutuhkan ‘double income’ sehingga mungkin akan banyak
suami yang ‘terpaksa’ mengizinkan istrinya untuk bekerja, baik di kantor-kantor
pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta maupun milik pemerintah, di pabrik
sebagai buruh atau karyawan dan sebagainya, pokoknya yang penting dapat bekerja
untuk mendapatkan penghasilan memenuhi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan
keluarga.
B. Perubahan Struktur Keluarga
Seperti semua lembaga, keluarga
adalh suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan
sejumlah tugas penting. Mendefinisikan keluarga tidaklah begitu mudah, namun
telah diupayakan sebelumnya. Dan dapat diungkapkan disini adalah bahwa keluarga
adalah (1) suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama ; (2) suatu
kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan ; (3) pesangan
perkawinan dengan atau tanpa anak ; (4) pasangan tanpa nikah yang mempunyai
anak ; (5) satu orang dengan beberapa anak, begitu yang dikatakan Paul B.
Horton & Chester L. Hunt, dari Western Michigan University.
Para anggota suatu komunitas mungkin
bisa menyebut dirinya sebagai suatu keluarga, akan tetapi, pada umumnya tidak
mampu tinggal dalam suatu rumah di suatu daerah ‘tempat tinggal keluarga
tunggal’. Pasangan ‘kumpul kebo’ yang hidup bersama tanpa nikah tidaklah diakui
sebagai suatu keluarga (Bdk. Biro Snsus Amerika Serikat) . Menurut biro ini,
sebuah keluarga adalah ‘dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah,
perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam suatu rumah tangga’ , bukan
sebagai ‘posseiq’ (orang-orang yang berlawanan jenis yang hidup secara
bersama-sama).
Kalau dilihat dari susunan keluarga
maka pertalian darah antara suami istri dan anak-anak menjadi perhatian utama.
Keluarga sedarah terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi di
mana hubungan itu digambarkan melalui garis lelaki (patrilinial) atau
melalui garis perempuan (matrilinial). Keluarga yang didasarkan atas
pertalian perkawinan atau kehidupan suami istri, maka disebut keluarga suami
istri (conjugal family), Keluarga hubungan kerabat sedarah (consanguine
family), tidak didasarkan pada pertalian kehidupan suami istri melainkan
pada darah dari sejumlah kerabat.
C. Perubahan Fungsi Keluarga
Dahulu keluarga merupakan kesatuan
ekonomi dalam arti kesatuan produksi dan konsumsi. Proses perubahan ekonomi
pada masyarakat industri telah mengubah sifat keluarga dari institusi pedesaan
ke agraria, dan dari agraria ke industri kekotaan. Dengan demikian, peran
anggota-anggota keluarga juga mengalami perubahan. Misalnya, fungsi-fungsi
produksi hilang, keluarga menjadi kesatuan konsumsi semata-mata.
Keluarga-keluarga di kota tidak lagi melakukan fungsi produksi secara langsung.
Anggota-angota keluarga bekerja di
luar untuk mendapatkan upah atau gaji, dengan mana mereka membeli
keperluan-keperluan bagi keperluannya, dan keluarganya (kebutuhan primer maupun
sekunder). Pergeseran fungsi produksi keluarga tersebut nampak pada dan
berkembangnya industri pakaian jadi, alat-alat rumah tangga, makanan, tokoh
makanan, pasar swalayan, supermarket, restoran, dan sebagainya. Dalam
masyarakat pedesaan yang bersifat agraria, fungsi keluarga sebagai suatu
kesatuan produksi dan konsumsi masih saja nampak, seperti keluarga menanam,
mengolah dan juga menjual hasil pertaniannya ke pasar dan sebagainya.
Perubahan fungsi-fungsi ekonomi
keluarga di kota seperti yang telah disebutkan di atas, mempengaruhi perubahan
pembagian tugas anggota-anggota keluarga. Fungsi-fungsi seperti pengawasan,
perbaikan rumah, membayar sewa listrik, dan lain sebagainya yang semula menjadi
tugas utama sang suami, sekarang ini banyak diambil alih oleh sang istri. Dan
sebaliknya, sang suami menolong membersihkan rumah, memberi makan anak-anaknya,
memandikan anak-anaknya, sebagaimana dilakukan oleh isteri tercinta, atau yang
menjadi tugas sang istri tercinta.
Perubahan fungsi-fungsi yang ada
dalam suatu keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan turut mempengaruhi
perubahan fungsi-fungsi sosial keluarga. Fungsi-fungsi sosial yang mengalami
perubahan adalah:
1. Fungsi Pendidikan:
Dahulu keluarga merupakan
satu-satunya institusi pendidikan. Fungsi pendidikan keluarga ini telah
mengalami banyak perubahan. Secara informal fungsi pendidikan keluarga masih
tetap penting, namun secara formal fungsi pendidikan itu telah diambil alih
oleh sekolah. Dalam hubungan dengan hal itu, Nasution (1983), menyebutkan
fungsi sekolah antara lain: (a) sekolah mempersiapkan anak untuk suatu
pekerjaan; (b) sekolah memberikan ketrampilan dasar; (c) sekolah membuka
kesempatan memperbaiki nasib; (d) sekolah menyediakan tenaga pembangunan; (e)
sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial; (f) sekolah mentransmisi
kebudayaan; (g) sekolah membentuk manusia yang sosial; (h) sekolah merupakan
alat mentransformasi kebudayaan.
Proses pendidikan di sekolah menjadi
makin lama (dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi) dan pengaruhnya menjadi
semakin penting. Apabila dahulu fungsi sekolah terbatas, pada pandidikan
intelek, maka kecenderungan sekarang pendidikan sekolah diarahkan kepada anak
sebagai ‘pribadi’. Guru dengan bantuan counselor, school psychologist,
ataupun clinical psychologist, dan social worker bersama sama
membantu anak agar berhasil menyesuaikan diri dalam masyarakat di mana dia
hidup/berada.
2. Fungsi Rekreasi.
Dahulu keluarga merupakan medan
rekreasi bagi anggota-anggotanya. Sekarang pusat-pusat rekreasi di luar
keluarga, seperti : bioskop, panggung sirkus, lapangan olah raga, kebun
binatang, teman-teman, night club dan sebagainya lebih menarik minat dan
perhatian bagi keluarga. Demikian pula rekreasi dalam kelompok sebaya menjadi
semakin penting terutama bagi anak-anak dalam suatu keluarga. Perubahan
tersebut menimbulkan kurang lebih dua akibat, yaitu: (a) jenis-jenis rekreasi
yang dialami anggota-anggota keluarga menjadi lebih bervariasi, dan (b) anggota
keluarga lebih cenderung untuk mencari hiburan di luar keluarga.
3. Fungsi Keagamaan
Dahulu keluarga merupakan pusat
pendidikan upacara (ritus-ritus keagamaan) , ataupun ibadah bagi para
anggota-anggotanya di samping peranan yang dilakukan oleh institusi agama. Proses sekularisasi dalam masyarakat dan merosotnya pengaruh institusi
agama menimbulkan, kemunduran fungsi keagamaan dalam keluarga.
4. Fungsi Perlindungan.
Dahulu keluarga berfungsi sebagai perlindungan atau memberikan
perlindungan, baik fisik maupun sosial, kepada para anggotanya. Sekarang ini,
banyak fungsi perlindungan dan perawatan telah diambil alih oleh badan-badan
sosial, seperti: tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh dan mental, anak
yatim piatu, anak-anak jalanan/anak nakal, lansia, dan sebagainya.
Selain itu juga, ada lagi fungsi-fungsi sosial lain seperti:
(1) Fungsi Pengaturan Seksual :
Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk
mengatur dan mengorganisasikan kepuasan seksual. Sebagian besar masyarakat
menyediakan berbagai macam cara untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Dengan
tingkat toleransi yang berbeda-beda, setiap orang dalam masyarakat juga
mentoleransikan sejumlah perilaku yang memperkosa norma-norma seksual. Dengan
kata lain, dalam setiap masyarakat terdapat beberapa penyimpangan kebudayaan
yang nyata daripada kebudayaan yang dicita-citakan dalam perilaku seksual.
Sebagian besar masyarakat mempunyai sejumlah norma penghindaran yang
menetapkan bagaimana menyadarkan kegiatan seks yang tidak disetujui secara
bijaksana (misalnya tempat-tempat hiburan) . Namun demikian, semua masyarakat
mengharapkan bahwa sebagian besar hubungan seksual akan terjadi antara
orang-orang yang oleh norma-norma mereka ditentukansebagai boleh berhubungan
satu sama lain secarah sah. Norma-norma itu, sering kali mengijinkan variasi
seksual yang sangat luas dengan siapa saja. Setiap orang mempunyai tata
kelakuan (mores) yang melarang orang-orang tertentu berhubungan seseorang
tertentu pula.
Sebagian masyarakat ataupun
seluruhnya, tidak ingin ataupun memperbolehkan hubungan seks sebelum menkah
tetapi juga melembagakan nya. Merka menganggapnya sebagai kegiatan yang pantas
dan berguna dan telah mengembangkan seperangkat peraturan kelembagaan pendukung
yang membuatnya aman dan tidak membahayakan.
(2) Fungsi Reproduksi:
Untuk urusan memproduksi anak
disetiap masyarakat terutama tergantung pada keluarganya. Cara-cara lain
hanyalah kemungkinan teroritis saja, dan sebagian besar masyarakat mengatur
untuk memproduksi anak diluar pernikahan. Namun, tidak ada masyarakat yang memperbolehkan
anak-anaknya untuk tidak memproduksi anak (melahirkan anak), kecuali sebahagian
dari keluarga secara khusus (cfr. panggilan rohaniwan/rohaniwati).
(3) Fungsi Afeksi:
Salah satu kebutuhan dasariah
manusia adalah kebutuhan akan rasa kasih sayang atau rasa dicintai. Para
psikiater berpendapat bahwa barangkali penyebab utama gangguan emosional,
masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik yang terbesar adalah ‘ketiadaan
cinta’, yakni ketidak adanya kehangatan, hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan
assosiasi yang intim (Formm, 1956;dsb). Apabila seorang anak mendapat perawatan
fisik yang baik dan akan tetapi tidak ditimang-timang, atau tidak mendapat
kasih sayang maka dia akan berkembang mencapai kondisi yang disebut ‘marasmus’
(merana). Perihal mengenai cinta ini telah secara cukup lengkap dibahas pada
bab-bab sebelumnya◙.
Diposkan 21st May 2011 oleh MAX SUDIRNO KAGHOO
0
Tambahkan
komentar
A. Konsepsi Proses
Sosialisasi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sosialisasi yang dinyatakan oleh
Havighurst dan Neugarten sebagai suatu proses belajar, namun apakah sebenarnya
hakekat dari sosialisasi itu, lebih jauh akan ditelusuri lebih lanjut dalam
bagian ini.
Thomas Ford Hoult (1974), berpendapat bahwa proses sosialisasi adalah;
‘.... almost always denotes the process whereby individuals
learn to behave willingly in accordance with the prevailing standards of their
culture; altough occasionally used synonymously with learning, usually reserved
for the tyoe of learning that bears on future role performace and that
particularly involves group
approval;...’.
Proses sosialisasi adalah proses belajar individu
untuk bertingkah laku sesuai dengan standart yang terdapat dalam kebudayaan
masyarakatnya. Menurut R.S. Lazarus; ‘The entire process of
socializaiton, by means of which the child acquires the values and conduct
patterns of the culture, is a processof accomodation, in which the child lears
to inhibit and modify his impuls in favor of environmental pressures, and
develops new ones that are culturally determined’, dalam Adjusdment
andPersonality (1961).
Jadi, proses sosialisasi adalah juga proses akomodasi,
dimana individu akan mengubah impuls-impuls sesuai dengan tuntutan lingkungan,
dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakatnya.
G.H. Mead, dalam F.G Robbins, (1953) berpendapat bahwa
dalam proses sosialisasi itu individu ‘taking over of another person’s habits,
attitudes, and ideas and reorganizing of them into one’s own system’.
Dalam proses sosialisasi ini individu mengadopsi
kebiasaan, sikap, dan ide-ide orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu
cara hidupnya atau standard hidupnya.
Dari batasan konsepsi proses sosialisasi tersebut
diatas, maka dapatlah disimpulkan:
§ Proses sosialisasi adalah proses belajar,
yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah
impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan
masyarakatnya.
§ Dalam proses sosialisasi itu, individu
mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan
standard tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
§ Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari
dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan
sistim dalam diri pribadinya.
Dalam proses sosialisasi, mencakup paling kurang tiga
aktivitas pokok sebagai berikut:
·
Aktivitas
Belajar. Belajar menurut Morgan C.T adalah sebagai suatu perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku, akibat pengalaman masa lalu. Woodworth R.S.
merumuskan konsep belajar sebagaimana dikutip oleh Singgih Gunarsa (1982)
‘belajar terdiri dari melakukan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu
dicamkan (artinya, dimasukkan kedalam fungsi ingatan) oleh individu, yang
ditampilkan kembali dalam ingatan’. Belajar sebagai suatu proses ‘penemuan
identitas diri’ bagi seorang anak melalui tahapan sebagai berikut: Tahap
Imitasi: Imitasi adalah suatu cara atau proses belajar seorang anak dengan
mengikuti atau mencontohi orang lain. Menurut psikolog, G. Tarde bahwa unsur tunggal dari segenap kehidupan
sosial ialah hubungan antar dua orang, dan antar hubungan itu selalu bersifat
meniru atau mencontohi orang lain. Dan juga imitasi ini terjadi
perubahan-perubahan dalam berbagai jenis kecakapan, dan lain sebagainya. Proses
imitasi tidak selalu membawa pengaruh positif bagi orang yang mencontoh atau
menirunya. Akan tetapi, dapat juga berakibat negatif, apabila orang yang meniru
hal-hal yang negatif dari orang lain. Tahap Sugesti: Sugesti adalah
suatu anjuran tertentu yang memberikan suatu redaksi langsung tanpa pikiran
panjang pada individu yang menerima sugesti tersebut. Faktor sugesti
berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang
berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak yang lain., dan
kebanyakan faktor sugesti terjadi apabila orang yang mempunyai pandangan
tersebut mempunyai kewajiban yang tinggi atau sangat disenangi oleh orang lain.
Sehingga kebanyakan apa yang diberikan oleh orang tersebut akan diterima saja
atau diturut oleh orang lain. Sebab dari pada ini, pihak yang menerima
kebanyakan mengalami kondisi berpikir yang labil dan emosi tidak menentu yang
kemudian menyebabkan tidak lagi berpikir secara rasional. Sugesti hampir
mirip dengan imitasi. Akan tetapi tentu saja keduanya mempunyai
perbedaan-perbedaan tertuntu ; di mana imitasi merupakan proses belajar, di
mana berbagai jenis kecakapan diubah, diperbaiki dan disempurnakan dengan
meniru orang lain. Sebaliknya, sugesti melepaskan atau menggiatkan suatu reaksi
yang sudah ada tetapi tersembunyi sifatnya dalam individu, berdasarkan
pengalamannya masa lalu. Misalnya, orang-orang terpengaruh menggunakan sabun merek
tertentu, konon dalam reklame disebut bahwa orang yang menggunakan sabun
tersebut adalah orang yang tercantik di dunia. Jadi di sini, seakan-akan sebab
kecantikan orang tersebut adalah sabun yang dimaksud. Tahap simpati:
Simpati adalah kecakapan untuk merasai diri seolah-olah dalam keadaan orang
lain dan ikut merasakan apa yang dilakukan, dialami, atau diterima, ataupun
diderita oleh orang lain. Oleh sebab itulah dalam simpati perasaan seseorang
memegang peranan penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan
untuk memahami pihak lain. Dasar dari kecakapan ini, karena mungkin
manusia mempunyai organ yang sama. Sehingga apabila ada orang yang jatuh dan
merasa sakit, kita juga seakan-akan merasainya apabila timbul rasa simpati. Tahap
Indentifikasi: Indentifikasi adalah merupakan hal yang lebih mendalam dari
pada simpati. Kalau simpati bermaksud agar orang merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain, sedangkan identifikasi tidak hanya merasakan tetapi juga
sedapat mungkin dirasakan sama dengan orang yang diidentifikasikan. Jadi, identifikasi merupakan faktor-faktor imitasi, sugesti, dan simpati.
Identifikasi dapat membentuk kepribadian, dan proses ini dapat terbentuk secara
tidak disadari. Seperti ungkapan dalam sosiologi, suatu prnyataan ringkas oleh
Mayor Polak bahwa ‘Identifikasi memegang peranan penting dalam perkembangan
kepribadia anak, karena dengan identifikasi dioper pula nilai-nilai kebudayaan
yang dan sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh orang yang menjadi
teladan’. Adapun identifikasi dapat terbentuk dengan sengaja meniru perilaku
atau kepribadian orang lain. Dan biasanya, orang yang menjadi anutan ini adalah
tokoh ideal. Seperti misalnya, seorang
anak mengidentifikasikan diri dengan orang tua dengan mengoper norma-norma orang
tua menjadi normanya sendiri.
·
Adjustment Activity. Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak
dapat begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya.
Konsep adjustment activity seringkali disama artikan dengan adaptasi. Tindakan
atau tingkah laku manusia dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan
ataupun tekanan dari lingkungan kehidupannya. Misalnya, pada daerah dingin,
manusia haruslah berpakaian yang tebal dengan maksud mengatasi tuntutan iklim,
artinya menghindarkan diri dari kedinginan, dan lain sebagainya. Oleh karena
manusia hidup dalam suatu masyarakat (community), maka tingkah lakunya
tidak saja merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan fisik
lingkunganya, melainkan juga penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan
sosial orang lain. Pada waktu seseorang masih bayi, atau kanak-kanak, orang
tuanya memberi tuntutan terhadapnya agar dia menerima nilai-nilai dan memiliki
pola-pola tingkah laku yang baik. Di sekolah, misalnya, dia mendapatkan
tuntutan dari guru dan teman-teman sekelasnya untuk bertingkah laku sebagaimana
yang diterima oleh mereka. Dan setelah dia menanjak dewasa, seseorang tersebut
tidak lepas dari tuntutan orang lain (baik itu suami, istri, majikan, teman-teman
sekerja, tetangga, dan sebagainya) agar ia bertanggung jawab serta bertingkah
laku sebagaimana yang biasa diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, di mana
ia hidup dan berada. Proses penyesuaian diri atau adjustment ini merupakan
reaksi terhadap tuntutan-tuntan terhadap dirinya seseorang. Tuntutan tersebut
dapat dikategorikan menjadi dua yakni tuntutan internal dan tuntutan eksternal.
Tuntutan internal adalah tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang
timbul dari dalam, baik berupa fisik, maupun sosial, misalnya : kebutuhan
makan, minum, seks, penghargaan sosial, persahabatan, kecintaan, dan
sebagainya. Sedangkan kebutuhan eksternal adalah tuntutan yang berasal
dari luar dari individu, baik bersifat fisik maupun sosial, misalnya : keadaan
iklim, lingkungan alam, individu lain, serta masyarakat. Tuntutan-tuntutan tersebut tidak selalu serasi, kerap kali individu
mengalami konflik-konflik tuntutan. Ada tiga pola konflik tuntutan, yang
dapat terlihat sebagai berikut: Pertama, konflik antara tuntutan
internal yang satu dengan tuntutan internal yang lain, misalnya : untuk
mendapatkan status, atau prestige sosial seseorang haruslah bersaing atau
bertentangan dengan teman-temannya sendiri, Kedua, konflik antara
tuntutan eksternal yang satu dengan tuntutan eksternal yang lainnya, misalnya:
seseorang anak laki-laki mendapat tuntutan dari ayahnya agar dia memiliki
sifat-sifat kelelaki-lelakian dan menjadi olah ragawan, sedangkan ibunya
menuntut agar ia memiliki sifat-sifat yang halus sebagai seniman, dan Ketiga,
konflik antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal, misalnya: konflik
antara dorongan seksual di satu pihak dengan tuntutan masyarakat agar dorongan
itu disalurkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat (
misalnya melalui ikatan perkawinan). Dari ketiga macam pola konflik tersebut
diatas, pola konflik yang ketigalah yang paling banyak kita alami, yang kadang
kala, jika tidak dapat terealisir, maka menimbulkan gangguan terhadap proses
adjustment tersebut. Proses penyesuaian diri ini dapat
dipandang dari dua segi yaitu: (1) kualitas atau efisiennya, dan (2) proses
berlangsungnya. Apabila proses adjustment itu
dipandang dari segi kualitas atau efisiennya, berarti kita akan menilai proses
tersebut, dengan membedakan proses adjustment yang berhasil dan yang gagal,
yang efisien maupun yang tidak efisien. Dalam menilai berhasil tidaknya proses
adjustment itu pada diri seseorang, maka ada 4 (empat) kriteria yang dapat
digunakan, atau harus ada yakni: 1). Kepuasan psikis: proses adjustment yang
berhasil akan menimbulkan kepuasan psikis, sedangkan yang gagal akan
menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk perasaan kecewa,
gelisah, lesu, depresi, dan sebagainya. 2). Efisiensi kerja: proses adjustment
yang berhasil akan menampakkan intensitasnya dalam kerja atau aktivitas yang
efisien, sedangkan yang gagal akan menampakkan dalam pekerjaan/aktivitas kerja
yang tidak efisien, misalnya murid yang gagal dalam pelajaran disekolah,
karyawan yang gagal dalam pekerjaannya di kantor, dan sebagainya. 3).
Gejala-gejala fisik: Proses adjustment yang gagal akan menampakkan identitasnya
dalam gejala-gejala fisik, seperti: pusing kepala, sakit perut, gangguan
pencernaan, sakit gigi, dan lain sebagainya. 4). Penerimaan sosial: proses adjustment
yang berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat, sedangkan yang
gagal akan mendapatkan reaksi tidak setuju, bahkan cercaan dari masyarakat dan
sebagainya. Apabila proses adjustment dipandang dari segi prosesnya sendiri,
maka yang dipandang ialah berlangsungnya adjustment tersebut. Proses
adjustment adalah suatu proses progresif yang memungkinkan individu makin
menguasai impuls-impulsnya dan lingkungannya. Sehubungan dengan ini, dapatlah
disebutkan tiga proses adjustment diri seseorang, yaitu (1) dalam rangka
adjustment itu individu mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya,
misalnya: meskipun dalam keadaan lapar, akan tetapi dalam perjamuan maka
individu menekan rasa lapar, (2) dalam rangka adjustment individu mengubah
tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya: untuk mengubah tanah
pertanian yang tandus menjadi subur, orang menggunakan pupuk. Agar orang lain
dalam suatu rapat menerima pendapatnya, individu berusaha membujuk, atau
mempengaruhi, dan meyakinkan beberapa orang untuk menjadi pendukung atas
pendapatnya itu. Pigaet menyebut proses adjustment pertama sebagai proses
akomodasi, sedangkan proses yang kedua sebagai proses asimilasi (S.T.
Vembriarto; Sosiologi Pendidikan, 1987).
· Aktivitas Pengalaman Mental. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu
sikap terentu, artinya menimbulkan suatu reaksi terhadap suatu hal, atau suatu
permasalahan. Semboyan ‘experience is the best teacher’ mungkin tetap jika kita
gunakan disini. Dari pengalaman seseorang itu, sangat banyak mempengaruhi
proses pembentukan kepribadian dan perkembangan diri seorang anak.
Apabila seorang amak kecil, sewaktu dari kecil terus-menerus dibantu untuk
pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukannya, maka pengalaman ini akan
terus melekat pada dirinya, sehingga setelah dewasapun kemungkinan besar sikap
ketergantungan ini terus melekat, dan perkembangan mentalnya pun ikut tercipta,
menjadi mental tempelan saja. Hal ini semakin menimbulkan kebingungan, ataupun
putus asa, karena dia sendiri tidak mampu untuk menunjukkan mentalitas,
identitas diri yang sebenarnya.
B. Proses Sosialisasi
Dalam Sketsa Sosiologis
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa sosialisasi mungkin merupakan
suatu proses yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan proses
paling mendasar dari terbentuknya masyarakat. Melalui proses inilah
nilai-nilai, norma-norma, tatanan kehidupan dan keterampilan-keterampilan lain
diajarkan kepada sang individu agar dapat hidup secara normal didalam
masyarakatnya, yang diawalinya dalam suatu keluarga.
Sosialisasi dalam keluarga biasa disebut sebagai ‘primary
socialization’, yaitu sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang
anak. Para sosiolog, misalnya, Talcott Parsons, dalam The Social
System tahun 1951 menjelaskan bahwa sosialisasi primer dalam keluarga
menghasilkan ‘basic personality structure’ dimana pola orientasi nilai
yang ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk diubah lagi sepanjang
kehidupannya. Dengan demikian dalam pandangan parsons ini peranan keluarga amat
menonjol.
Proses sosialisasi dalam konsepsi parsons ini seringkali disebut ‘pasive
theory of socialization’ dimana sosialisasi dilihat sebagai proses satu
arah. Orang tua menanamkan nilai-nilai dan anak menerima serta belajar
sampai perilakunya berubah dan terbentuklah suatu khazanah nilai dan norma
dalam kepribadian individu yang disebut sebagai ‘basic personality
structure’. Individu seolah-olah memainkan peranan yang telah
diberikan kepadanya (role playing). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari
teori ini kurang sesuai dengan kenyataan. Suatu peranan di masyarakat ternyata
bukan hanya merupakan ‘passive acceptance’ dari seorang individu,
melainkan merupakan suatu pelibatan diri secara aktif disertai berbagai
penyesuaian diri terhadap masyarakat disekelilingnya, sehingga individu mampu
mengambil peran tertentu atas inisiatifnya sendiri (‘role taking’),
bahkan pelibatan diri yang mampu mengubah masyarakat sekelilingnya (‘role
making’).
George Herber Mead dan Blumer, dalam Sociological Implications of the
Tought of G.H. Mead, American Journal of Sociology, Vol. 71, (1965)
sependapat bahwa manusia tidak hanya mampu melaksanakan peranannya, merespons
orientasi nilai-nilai serta struktur sosial yang ada, tetapi juga secara aktif
menciptakan perannya didalam masyarakat. Pandangan interaksionis tersebut
merupakan suatu kemajuan dalam ilmu sosiologi umumnya dalam melihat fenomena
sosialisasi sehingga dinamika didalam masyarakat dapat dijelskan. Namun
lebih jauh lagi, para sosiolog yang beraliran kritis ternyata telah berhasil
menambahkan suatu perspektif yang lebih jauh mengenai proses yang ‘basic’
ini. Mereka menjelaskan bahwa peran itu sendiri sebenarnya merupakan
suatu ‘structure network of expectation’ yaitu harapan yang tidak
diterima oleh individu secara konsensus (kerelaan menyatakan suatu persetujuan)
tetapi ditentukan oleh struktur kekuasaan. Oleh karena itu, proses
sosialisasi bukan hanya merupakan proses yang penuh kedamaian dari orang tua
kepada anaknya, tetapi, proses yang amat mengandung konflik suatu kelompok
kepentingan pada kelompok lainnya. Pembagian kekuasaan dalam masyarakat
amat menentukan dan mewarnai proses ini. Peran tidak selalu ‘pas’ dengan
si pemegangnya; selalu ada jarak antara pemegang peran dan perannya (‘role
distence’). Misalnya, seorang murid merasa bahwa perannya sebagai murid
tidak seluruhnya sesuai dengan keinginannya, tetapi lebih banyak ditentukan
oleh pihak-pihak lain yang lebih berkuasa (guru, orang tua, dan bahkan
pemerintah). Jadi, apa yang disebut sebagai ‘Radical theory of
socialization’ ini terutama melihat bahwa sosialisasi terjadi didalam
masyarakat yang berstratifikasi.
‘Socialization is class socialization’, demikian
yang dikatakan Clarke (1976). Kelas
sosial dalam masyarakat menentukan pola sosialisasi dan prilaku serta sikap
individu-individu. Melalui proses ini kelompok yang berkuasa dengan
menggunakan berbagai saluran sosialisasi yang dikuasainya seperti lembaga
keluarga, sekolah, media komunikasi massa, lembaga-lembaga pemerintahan, politik,
agama, dan sebagainya.
Ada dua hal yang dapat menarik perhatian atau cara pandang kita tentang hal
tersebut, terutama pandangan kelompok kritis:
Pertama, adalah bahwa proses sosialisasi bukan hanya suatu proses yang
mempertahankan kelangsungan hidup yang ‘fungsional’ bagi seluruh anggota
masyarakat (suatu pandangan yang merupaka koreksi terhadap Talcott
Parsons). Akan tetapi, yang Kedua, konsekuensi logis dari
pandangan ini ialah dalam prises sosialisasi sistim nilai yang dimiliki oleh
kelompok dominan secara ‘caercive’ selalu ditanamkan pada kelompok
lemah, dan kelompok dominan selalu berusaha dengan perangkat kontrol sosial
yang ada untuk menjaga agar nilai-nilai yang establish tersebut, tidaklah
digoyahkan oleh kekuatan lain (bahkan Berger dan Lukman dari kelompok
interaksionis pun menandaskan bahwa pada hakekatnya kehidupan sosial adalah
suatu kekuatan yang senantiasa mengontrol ‘... sosial is control’),
sehingga dengan demikian cenderung terbentuk semacam ‘basic personality
structure’ pada individu, mirip seperti apa yang dikatakan Parsons.
Hanya letak perbedaannya adalah bahwa Parsons menganggap sosialisasi diterima
secara konsensus dan fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat seluruhnya,
sedangkan kelompok kritis mengatakan bahwa sosialisasi terutama fungsional bagi
kelanjutan dominasi kelompok kelompok yang berkuasa.
Kalau menyimak alur pemikiran atau pandangan tersebut di atas, maka
sosialisasi dapat disimpulkan sebagai proses untuk mempertahankan keteraturan
sosial yang ada. Namun, kesimpulan ini tidaklah cukup untuk menampung kenyataan
sosial yang ada terutama dalam kehidupannya manusia dalam masa kini, sebab
selalu dan senantiasa mengalami perubahan sosial yang cepat dan amat mendasar.
Maka dari itu tetaplah berpijak pada pandangan kelompok interaksionisme tentang
‘active theory of socialization’. Bagaimanapun individu-individu mampu
melakukan ‘reinterpretasi’ terhadap peran yang diembannya sehingga
proses yang terjadi, bukan hanya ‘role playing’, tetapi juga ‘role
taking’ dan ‘role making’, melalui tawar menawar yang terus menerus
dalam proses interaksi sehari-hari, bahwa ‘social order is a negotiated
order’.
C. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Proses Sosiali-
isasi
Dengan proses sosialisasi individu berkembang menjadi suatu pribadi sebagai
mahluk sosial. Baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial ini
merupakan kesatuan integral dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui
proses sosialisasi, sifat mana mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dalam
suatu masyarakat. Proses sosialisasi dimungkinkan bagi perkembangan manusia
sebagai mahluk sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut F.G. Robbins terdapat lima faktor yang menjadi dasar
perkembangan kepribadian yaitu: (1) sifat dasar, (2) lingkungan prenatal, (3)
perbedaan individual, (4) lingkungan, dan (5) motivasi.
1) Sifat dasar adalah
potensi-potensi yang diwarisi oleh seseorang dari orang tuanya, ayah dan
ibunya. Sifat dasar ini terbentuk pada saat konsepsi, yaitu moment
bertemunya sel-sel pria dan wanita pada saat pembuahan. Sifat dasar ini
masih merupakan potensi-potensi, selanjutnya berkembang dan teraktualisasi
karena pengaruh faktor-faktor lainnya.
2)
Lingkungan prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu. Sel
telur yang telah dibuahi (zygote) saat konsepsi itu berkembang
sebagai embrio dan feutus dalam lingkungan prenatal. Dalam periode
itu individu mendapatkan pengaruh-pengaruh secara tidak langsung dari si ibu,
yang dapat dikategorikan sebagai berikut : misalnya gangguan penyakit pada pertumbuhan
mental bayi dalam kandungan dan sebagainya, gangguan endoktrin keterbelakangan
mental, cacat, lemah pikiran....
3)
Perbedaan individual adalah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses sosialisasi. Sejak seseorang dilahirkan, tumbuh dan
berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dari individu-individu yang
lain. Dia bersifat selektif terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungannya.
Perbedaan ini meliputi perbedaan dalam ciri fisik (bentuk badan, warna kulit,
warna mata, rambut, dan lain sebagainya), ciri-ciri fisiologis (berfungsi
sebagai sistem endokrin), dan ciri-ciri mental, emosional, ciri-ciri personal
dan sosial.
4)
Lingkungan adalah kondisi-kondisi disekitar individu yang mempengaruhi
proses sosialisasinya. Lingkungan ini dapat dikategorikan menjadi: (1)
lingkungan alam yaitu keadaan tanah, iklim, flora dan fauna, disekitar
individu, (2) kebuayaan, yaitu cara hidup masyarakat tempat individu itu hidup;
kebudayaan ini mempunyai aspek material (rumah, perlengkapan hidup, hasil-hasil
teknologi dan sebagainya), dan aspek non seperti (nilai-nilai, pandangan hidup,
adat istiadat dan sebagainya), (3) manusia lain dan masyarakat disekitar
individu; pengaruh manusia lain dan masyarakat dapat memberi stimulasi pada
proses sosialisasi.
5)
Motivasi adalah kekuatan-kekuatan (dorongan-dorongan) dari dalam diri
individu yang menggerakkan individu untuk berbuat. Motivasi sebagai
dorongan adalah keadaan ketidak-seimbangan dalam diri individu, karena pengaruh
dari dalam atau dari luar dirinya, yang mempengaruhi dan mengarahkan perbuatan
individu dalam rangka mencapai keseimbangan kembali atau adaptasi; seperti
dorongan untuk makan, minum, menghindarkan diri dari ancaman bahaya, dan lain
sebagainya. Sedangkan kebutuhan adalah dorongan yang telah ditentukan secara
personal, sosial dan kultural.
Oleh Louis Rats
kebutuhan-kebutuhan manusia yang terpenting adalah : (1) kebutuhan untuk
bersama orang lain, (2) kebutuhan untuk berprestasi, (3) kebutuhan akan afeksi,
(4) kebutuhan bebas dari rasa takut, (5) kebutuhan bebas dari rasa bersalah,
(6) kebutuhan untuk turut serta mengambil keputusan mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya, (7) kebutuhan akan kepastian
ekonomis, dan (8) kebutuhan akan terintegrasikannya sikap, keyakinan dan
nilai-nilai.
Menurut teori ‘the
hierarchy of needs’ dari Abraham Maslow bahwa kebutuhan manusia mempunyai
tingkat-tingkat sebagai berikut:
(1) Kebutuhan fisik (physiological
need), yaitu kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya, seperti
makanan, air, pakaian, perumahan, tidur, pemuasan seks.
(2) Kebutuhan untuk
memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need), yaitu
kebutuhan bebas dari bahaya, ketakutan, ancaman, kehilangan pekerjaan,
miliknya, pakaiannya atau perumahannya.
(3) Kebutuhan
bermasyarakat (social need), atau kebutuhan untuk menerima/bekerja sama
dalam kelompok (affiliation or acceptance need), yaitu kebutuhan untuk
berkelompok dan bermasyarakat. Manusia suka berkelompok bersama-sama untuk
maksud-maksud kehidupannya yang beraneka ragam. Manusia perlu bergaul,
termasuk di dalamnya untuk menerima dan diterima menjadi anggota kelompok,
untuk mencintai dan dicintai.
(4) Kebutuhan untuk
memperoleh kehormatan (esteem need), yaitu kebutuhan memperoleh
reputasi/kemasyuran, terhormat dan dihormati. Manusia membutuhkan pujian,
penghargaan dan pengakuan atas kedudukannya (status).
(5) Kebutuhan untuk
memperoleh kebanggaan (self actualization need), yaitu kebutuhan untuk
membuktikan dirinya sebagai seseorang yang mampu mengembangkan potensi
bakatnya, sehingga mempunyai prestasi yang dapat dibanggakan. Menurut Maslow,
kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang tertinggi menurut hirarkhinya.
Maslow
berpendapat, sebenarnya teori hierarchy of need hanya dapat dibagi dalam
dua tingkat kebutuhan, yaitu ‘kebutuhan biologis’ dan ‘kebutuhan lain’.
Adapun kebutuhan lain hanya timbul apabila kebutuhan biologis telah dapat
dipuaskan. Penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat masyarakat yang masih
rendah, maka kebutuhan biologis sangat dominan, tetapi pada tingkat masyarakat
yang tinggi, kebutuhan yang paling dominan ialah kebutuhan memperoleh
kebanggan. Pada masyarakat menengah, kebutuhan pertama dan kedua (kebutuhan
fisik dan keamanan) cenderung berkurang, tetapi kebutuhan ketiga, keempat dan
kelima (kebutuhan bermasyarakat, kehormatan dan kebanggaan) cenderung
bertambah◙.
No comments:
Post a Comment