Link Sukses

Banner 728x90 :

Wednesday, 11 November 2015

BAB III. PERUBAHAN STRUKTUR DAN FUNGSI KELUARGA





Masyarakat Indonesia adalah amat majemuk. Untuk itu membahas tentang sosialisasi setiap suku bangsa yang ada di masyarakat Indonesia secara detail tentu saja amatlah kompleks. Di samping itu berbagai proses sedang terjadi dalam menempatkan Indonesia pada suatu situasi yang sama, yakni berkembangnya industrialisasi dan teknologi yang menyebabkan hubungan internasional yang semakin intensif serta proses urbanisasi yang amat pesat sehingga terjadi suatu ‘revolusi informasi’ terutama melalui media massa, elektronik yang amat mudah ditangkap oleh seluruh lapisan masyarakat. Tambahan pula lembaga sekolah (terutama sekolah dasar) yang telah menyebar di seluruh pelosok, sangat mengubah pola sosialisasi di masyarakat Indonesia.
Saat ini sosialisasi yang khas pada suku-suku bangsa tertentu, sudah mulai pudar. Beberapa nilai dasar yang mencirikan sosialisasi dari suatu suku bangsa tertentu mungkin masih tetap berusah dipertahankan, tetapi sistem nilai baru yang dibawa oleh media massa seperti materialisme, individualisme cenderung mulai diwarnai orientasi nilai seluruh masyarakat indonesia. Lembaga keluarga memegang peran amat penting dalam setiap masyarakat. Para antropolog mencatat bahwa secara universal lembaga ini memegang fungsi: pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan, dan ekonomi.
James Coleman, seseorang peneliti pendidikan juga telah menemukan bahwa keluarga merupakan faktor determinan paling berpengaruh terhadap prestasi pendidikan anak dan status pekerjaannya di kemudian hari; kemudian menyusul lingkungan pergaulan (peer group) dan ketiga baru sekolah.
Dalam hubungan itu, Berger dan Luckman juga mengatakan bahwa persepsi terhadap dunia dari Bapak, Ibu sebagai ‘significant others’ (orang yang amat penting dalam hidup anak) akan menjadi ‘objective reality’ bagi si anak. ‘ ... though them is filtered a view of the world as natural or normal’.
Menggambarkan pola sosialisasi di dalam keluarga, dalam konteks masyarakat Indonesia, yaitu industrialisasi dan urbanisasi. Saat ini masyarakat Indonesia telah mulai dan ditandai oleh beberapa ciri masyarakat industri yaitu semakin meningkatnya proporsi tenaga kerja (pria dan wanita) yang bekerja pada sektor industri. Berkembangnya norma dan nilai kehidupan yang modern, mengakibatkan tingkat urbanisasi, dengan masuknya gejala globalisasi dan revolusi informasi yang membuat dunia ini semakin transparan bagi semua orang terkasuk keluarga. Hal ini memberikan kecenderungan perubahan-perubahan bagi struktur maupun fungsi keluarga dalam masyarakat.
A. Munculnya Fenomena Keluarga Kecil
Perubahan dalam struktur keluarga di Indonesia yang paling mencolok saat ini adalah berkurangnya jumlah anak di dalam keluarga muda. Gejala ini memang relatif masih baru sehingga belum dapat melihat secara empiris apakah anak yang lebih sedikit jumlahnya di tiap keluarga akan menghasilkan suatu proses pendidikan yang lebih baik, artinya menghasilkan anak-anak yang lebih pandai, terampil dan memiliki sikap-sikap, tindakan yang lebih positif.
Berkurangnya jumlah anak telah mendorong para orang tua untuk meningkatkan ‘investasi’ pada setiap anak, seperti: pendidikan formal, kursus ketrampilan, gizi, kesehatan dan sebagainya. Pada masyarakat kelas bawah menyekolahkan anak saat ini hampir selalu menjadi obsesi utama mereka. Namun, masalah yang dihadapi kelompok ini adalah mahalnya dana pendidikan baik ‘real cost’ maupun ‘opportunity cost . Orang tua kelas menengah cenderung melengkapi rumah mereka dengan berbagai suplemen bahan serta alat pendidikan seperti buku pengetahuan umum, kamus, ensiklopedia anak-anak, komputer, TV, serta alat audio visual lainnya. Seringkali suplemen pendidikan di rumah-rumah kelas menengah ini melebihi apa yang dapat disediakan di sekolah, sehingga peran keluarga menjadi semakin penting dalam pengembangan pengetahuan umum serta intelegensa murid.
Di samping itu mereka juga cenderung mengirim anaknya ke berbagai kursus keterampilan (komputer, bahasa Inggris, matematika, kesenian dan lain sebagainya). Orang tua golongan Kelas Atas, cenderung melengkapi pendidikan anak mereka di luar negeri. Kebutuhan ini rupanya telah merangsang ‘industri’ pendidikan swasta di Indonesia untuk menyediakan sekolah di dalam negeri yang bertaraf internasional; bahkan bila perlu sekolah/universitas ini bekerja sama secara langsung dengan lembaga-lembaga pendidikan di luar negeri. Dengan demikian, dalam waktu yang relatif singkat akan terbentuk lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki pendidikan bertaraf internasional dan siap pula bersaing secara internasional.
Peningkatan aspirasi pendidikan ini rupanya tidak hanya semata-mata bersifat ‘profan’, tetapi juga bermotivasi keagamaan. Misalnya kini muncul sekolah-sekolah elit berasaskan keagamaan. Kelompok ini rupanya ingin menitipkan sebagian pendidikan moral anak mereka pada lembaga pendidikan formal yang bermutu baik. Peningkatan sumberdaya manusia pasti mengalami banyak kemajuan pesat karena motivasi, bukan hanya ada pada pemerintah tetapi telah merata hampir disemua keluarga.
Dari segi lain, perlu dicatat pula bahwa disamping dapat bersifat mendidik, peralatan audiovisual di dalam rumah dapat juga menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada proses sosialisasi anak. Walaupun pesan-pesan di media elektronik tidak serta merta mengubah perilaku anak, tetapi dengan membanjirnya informasi membuat orang tua di rumah tidak mampu untuk selalu memberikan pengarahan, bimbingan yang memadai dan tidak mampu melakukan kontrol yang diperlukan.
Di samping hal tersebut, didalam keluarga kecil, sifat individualistis secara ’built-in’ akan berkembang pada pribadi anak. mereka tidak lagi harus berbagi rata dan bertenggang rasa dengan 7 atau 8 saudaranya seperti pada keluarga di masa lalu. Selain itu memang tampak adanya nila-nilai baru yang dikembangkan di dalam keluarga terutama dari kelas menengah ke atas, yaitu sikap yang lebih memandang ke depan, lebih kompetitif, menghargai prestasi yang tinggi, keinginan untuk berbuat baik, menyadari nilai-nilai pelestarian alam dan sebagainya. Perubahan lain dalam lembaga keluarga sebagai akibat industrialisasi adalah gejala munculnya ‘kepincangan struktur’ yaitu yang berupa: ‘single parent family’ dan single person household’.
1. Gejala Single Parent Familly.
Pengalaman di masyarakat maju menunjukkan adanya peningkatan jumlah ‘single parent family’ dalam masa industrialisasi. Di Amerika Serikat misalnya, sekitar 20% anak-anak hidup dalam single parent family. Walaupun angka ini belum begitu menonjol di masyarakat kita saat ini (bahkan angka untuk wanita kepala rumah tangga justru menunjukkan sedikit penurunan, namun tampaknya gejala ini akan meningkat dimasa datang mengingat akar gejala dari segala gejala yang ada yakni perceraian, urbanisasi, dan wanita yang tidak menikah menunjukkan gejala peningkatan.
2. Gejala Single Person Household
Dalam masyarakat industri, mobilitas masyarakat sangat tinggi, banyak orang meninggalkan sanak saudara, keluarga dan hidup sendiri di daerah lain (di luar negeri, biasanya di daerah perkotaan), terutama pada anak remaja. Hal ini terutama pada anak-anak muda dari desa yang datang ke kota-kota untuk menjadi buruh industri. Golongan buruh yang berpenghasilan rendah, mungkin tidak hidup sendiri di dalam suatu rumah, tetapi pada kenyataannya mereka juga merupakan suatu ‘single person household’ karena mereka hidup sendiri dan menentukan pengeluarannya sendiri.
Kelompok kaum muda desa yang bermigrasi ke kota telah mengalami suatu ‘interupsi’ dalam proses sosialisasinya sebagai orang desa. Kini mereka diperhadapkan dengan suatu kehidupan kota yang jauh lebih berbeda dengan latar belakang kehidupan mereka sebelumnya. Penyesuaian diri mereka pada pola atau norma-norma kota berjalan kurang baik karena mereka tidak hidup dalam keluarga yang lengkap dan stabil. Mereka memperoleh sosialisasi dengan kelompok sebaya.
Perkembangan lebih lanjut dari cara hidup dan kebudayaan ‘kaum muda buruh’ dikota masih belum dapat diantisipasi, karena hal ini merupakan suatu fenomena baru. Tetapi dapat diduga bahwa mereka akan menjadi kelompok yang kehilangan kepribadian desa. Karena tidak mampu mengadopsi budaya kota secara sempurna, diduga mereka akan bersikap agresif dan pesimistik dalam berbagai hal. Pemantauan sosial perlu dilakukan karena gejala ini akan memiliki dampak penting baik terhadap keluarga yang akan terbentuk dari kaum muda buruh ini, maupun terhadap kehidupan kota itu sendiri di masa depan.
Perubahan yang paling mencolok di dalam keluarga pada masa kini adalah dalam hal jumlah wanita yang bekerja. Trend ini akan terus berkembang karena sekarang tampak adanya gejala gaya hidup yang mulai membutuhkan ‘double income’ sehingga mungkin akan banyak suami yang ‘terpaksa’ mengizinkan istrinya untuk bekerja, baik di kantor-kantor pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta maupun milik pemerintah, di pabrik sebagai buruh atau karyawan dan sebagainya, pokoknya yang penting dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan memenuhi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan keluarga.
B. Perubahan Struktur Keluarga
Seperti semua lembaga, keluarga adalh suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Mendefinisikan keluarga tidaklah begitu mudah, namun telah diupayakan sebelumnya. Dan dapat diungkapkan disini adalah bahwa keluarga adalah (1) suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama ; (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan ; (3) pesangan perkawinan dengan atau tanpa anak ; (4) pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak ; (5) satu orang dengan beberapa anak, begitu yang dikatakan Paul B. Horton & Chester L. Hunt, dari Western Michigan University.
Para anggota suatu komunitas mungkin bisa menyebut dirinya sebagai suatu keluarga, akan tetapi, pada umumnya tidak mampu tinggal dalam suatu rumah di suatu daerah ‘tempat tinggal keluarga tunggal’. Pasangan ‘kumpul kebo’ yang hidup bersama tanpa nikah tidaklah diakui sebagai suatu keluarga (Bdk. Biro Snsus Amerika Serikat) . Menurut biro ini, sebuah keluarga adalah ‘dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam suatu rumah tangga’ , bukan sebagai ‘posseiq’ (orang-orang yang berlawanan jenis yang hidup secara bersama-sama).
Kalau dilihat dari susunan keluarga maka pertalian darah antara suami istri dan anak-anak menjadi perhatian utama. Keluarga sedarah terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi di mana hubungan itu digambarkan melalui garis lelaki (patrilinial) atau melalui garis perempuan (matrilinial). Keluarga yang didasarkan atas pertalian perkawinan atau kehidupan suami istri, maka disebut keluarga suami istri (conjugal family), Keluarga hubungan kerabat sedarah (consanguine family), tidak didasarkan pada pertalian kehidupan suami istri melainkan pada darah dari sejumlah kerabat.
C. Perubahan Fungsi Keluarga
Dahulu keluarga merupakan kesatuan ekonomi dalam arti kesatuan produksi dan konsumsi. Proses perubahan ekonomi pada masyarakat industri telah mengubah sifat keluarga dari institusi pedesaan ke agraria, dan dari agraria ke industri kekotaan. Dengan demikian, peran anggota-anggota keluarga juga mengalami perubahan. Misalnya, fungsi-fungsi produksi hilang, keluarga menjadi kesatuan konsumsi semata-mata. Keluarga-keluarga di kota tidak lagi melakukan fungsi produksi secara langsung.
Anggota-angota keluarga bekerja di luar untuk mendapatkan upah atau gaji, dengan mana mereka membeli keperluan-keperluan bagi keperluannya, dan keluarganya (kebutuhan primer maupun sekunder). Pergeseran fungsi produksi keluarga tersebut nampak pada dan berkembangnya industri pakaian jadi, alat-alat rumah tangga, makanan, tokoh makanan, pasar swalayan, supermarket, restoran, dan sebagainya. Dalam masyarakat pedesaan yang bersifat agraria, fungsi keluarga sebagai suatu kesatuan produksi dan konsumsi masih saja nampak, seperti keluarga menanam, mengolah dan juga menjual hasil pertaniannya ke pasar dan sebagainya.
Perubahan fungsi-fungsi ekonomi keluarga di kota seperti yang telah disebutkan di atas, mempengaruhi perubahan pembagian tugas anggota-anggota keluarga. Fungsi-fungsi seperti pengawasan, perbaikan rumah, membayar sewa listrik, dan lain sebagainya yang semula menjadi tugas utama sang suami, sekarang ini banyak diambil alih oleh sang istri. Dan sebaliknya, sang suami menolong membersihkan rumah, memberi makan anak-anaknya, memandikan anak-anaknya, sebagaimana dilakukan oleh isteri tercinta, atau yang menjadi tugas sang istri tercinta.
Perubahan fungsi-fungsi yang ada dalam suatu keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan turut mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi sosial keluarga. Fungsi-fungsi sosial yang mengalami perubahan adalah:
1. Fungsi Pendidikan:
Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi pendidikan. Fungsi pendidikan keluarga ini telah mengalami banyak perubahan. Secara informal fungsi pendidikan keluarga masih tetap penting, namun secara formal fungsi pendidikan itu telah diambil alih oleh sekolah. Dalam hubungan dengan hal itu, Nasution (1983), menyebutkan fungsi sekolah antara lain: (a) sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan; (b) sekolah memberikan ketrampilan dasar; (c) sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib; (d) sekolah menyediakan tenaga pembangunan; (e) sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial; (f) sekolah mentransmisi kebudayaan; (g) sekolah membentuk manusia yang sosial; (h) sekolah merupakan alat mentransformasi kebudayaan.
Proses pendidikan di sekolah menjadi makin lama (dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi) dan pengaruhnya menjadi semakin penting. Apabila dahulu fungsi sekolah terbatas, pada pandidikan intelek, maka kecenderungan sekarang pendidikan sekolah diarahkan kepada anak sebagai ‘pribadi’. Guru dengan bantuan counselor, school psychologist, ataupun clinical psychologist, dan social worker bersama sama membantu anak agar berhasil menyesuaikan diri dalam masyarakat di mana dia hidup/berada.
2. Fungsi Rekreasi.
Dahulu keluarga merupakan medan rekreasi bagi anggota-anggotanya. Sekarang pusat-pusat rekreasi di luar keluarga, seperti : bioskop, panggung sirkus, lapangan olah raga, kebun binatang, teman-teman, night club dan sebagainya lebih menarik minat dan perhatian bagi keluarga. Demikian pula rekreasi dalam kelompok sebaya menjadi semakin penting terutama bagi anak-anak dalam suatu keluarga. Perubahan tersebut menimbulkan kurang lebih dua akibat, yaitu: (a) jenis-jenis rekreasi yang dialami anggota-anggota keluarga menjadi lebih bervariasi, dan (b) anggota keluarga lebih cenderung untuk mencari hiburan di luar keluarga.
3. Fungsi Keagamaan
Dahulu keluarga merupakan pusat pendidikan upacara (ritus-ritus keagamaan) , ataupun ibadah bagi para anggota-anggotanya di samping peranan yang dilakukan oleh institusi agama. Proses sekularisasi dalam masyarakat dan merosotnya pengaruh institusi agama menimbulkan, kemunduran fungsi keagamaan dalam keluarga.
4. Fungsi Perlindungan.
Dahulu keluarga berfungsi sebagai perlindungan atau memberikan perlindungan, baik fisik maupun sosial, kepada para anggotanya. Sekarang ini, banyak fungsi perlindungan dan perawatan telah diambil alih oleh badan-badan sosial, seperti: tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh dan mental, anak yatim piatu, anak-anak jalanan/anak nakal, lansia, dan sebagainya.
Selain itu juga, ada lagi fungsi-fungsi sosial lain seperti:
(1) Fungsi Pengaturan Seksual :
Keluarga adalah lembaga pokok, yang merupakan wahana bagi masyarakat untuk mengatur dan mengorganisasikan kepuasan seksual. Sebagian besar masyarakat menyediakan berbagai macam cara untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Dengan tingkat toleransi yang berbeda-beda, setiap orang dalam masyarakat juga mentoleransikan sejumlah perilaku yang memperkosa norma-norma seksual. Dengan kata lain, dalam setiap masyarakat terdapat beberapa penyimpangan kebudayaan yang nyata daripada kebudayaan yang dicita-citakan dalam perilaku seksual.
Sebagian besar masyarakat mempunyai sejumlah norma penghindaran yang menetapkan bagaimana menyadarkan kegiatan seks yang tidak disetujui secara bijaksana (misalnya tempat-tempat hiburan) . Namun demikian, semua masyarakat mengharapkan bahwa sebagian besar hubungan seksual akan terjadi antara orang-orang yang oleh norma-norma mereka ditentukansebagai boleh berhubungan satu sama lain secarah sah. Norma-norma itu, sering kali mengijinkan variasi seksual yang sangat luas dengan siapa saja. Setiap orang mempunyai tata kelakuan (mores) yang melarang orang-orang tertentu berhubungan seseorang tertentu pula.
Sebagian masyarakat ataupun seluruhnya, tidak ingin ataupun memperbolehkan hubungan seks sebelum menkah tetapi juga melembagakan nya. Merka menganggapnya sebagai kegiatan yang pantas dan berguna dan telah mengembangkan seperangkat peraturan kelembagaan pendukung yang membuatnya aman dan tidak membahayakan.
(2) Fungsi Reproduksi:
Untuk urusan memproduksi anak disetiap masyarakat terutama tergantung pada keluarganya. Cara-cara lain hanyalah kemungkinan teroritis saja, dan sebagian besar masyarakat mengatur untuk memproduksi anak diluar pernikahan. Namun, tidak ada masyarakat yang memperbolehkan anak-anaknya untuk tidak memproduksi anak (melahirkan anak), kecuali sebahagian dari keluarga secara khusus (cfr. panggilan rohaniwan/rohaniwati).
(3) Fungsi Afeksi:
Salah satu kebutuhan dasariah manusia adalah kebutuhan akan rasa kasih sayang atau rasa dicintai. Para psikiater berpendapat bahwa barangkali penyebab utama gangguan emosional, masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik yang terbesar adalah ‘ketiadaan cinta’, yakni ketidak adanya kehangatan, hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan assosiasi yang intim (Formm, 1956;dsb). Apabila seorang anak mendapat perawatan fisik yang baik dan akan tetapi tidak ditimang-timang, atau tidak mendapat kasih sayang maka dia akan berkembang mencapai kondisi yang disebut ‘marasmus’ (merana). Perihal mengenai cinta ini telah secara cukup lengkap dibahas pada bab-bab sebelumnya◙.
Diposkan 21st May 2011 oleh MAX SUDIRNO KAGHOO
0
Tambahkan komentar
 


A.   Konsepsi Proses Sosialisasi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sosialisasi yang dinyatakan oleh Havighurst dan Neugarten sebagai suatu proses belajar, namun apakah sebenarnya hakekat dari sosialisasi itu, lebih jauh akan ditelusuri lebih lanjut dalam bagian ini.
Thomas Ford Hoult (1974), berpendapat bahwa proses sosialisasi adalah;  ‘....  almost always denotes the process whereby individuals learn to behave willingly in accordance with the prevailing standards of their culture; altough occasionally used synonymously with learning, usually reserved for the tyoe of learning that bears on future role performace and that particularly involves group approval;...’.             
Proses sosialisasi adalah proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standart yang terdapat dalam kebudayaan masyarakatnya. Menurut R.S. Lazarus; ‘The entire process of socializaiton, by means of which the child acquires the values and conduct patterns of the culture, is a processof accomodation, in which the child lears to inhibit and modify his impuls in favor of environmental pressures, and develops new ones that are culturally determined’, dalam Adjusdment andPersonality (1961). 
Jadi, proses sosialisasi adalah juga proses akomodasi, dimana individu akan mengubah impuls-impuls sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. 
G.H. Mead, dalam F.G Robbins, (1953) berpendapat bahwa dalam proses sosialisasi itu individu ‘taking over of another person’s habits, attitudes, and ideas and reorganizing of them into one’s own system’
Dalam proses sosialisasi ini individu mengadopsi kebiasaan, sikap, dan ide-ide orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu cara hidupnya atau standard hidupnya.
Dari batasan konsepsi proses sosialisasi tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan:
§  Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.
§  Dalam proses sosialisasi itu, individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan standard tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
§  Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan sistim dalam diri pribadinya.
      
Dalam proses sosialisasi, mencakup paling kurang tiga aktivitas pokok sebagai berikut:
·           Aktivitas Belajar. Belajar menurut Morgan C.T adalah sebagai suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, akibat pengalaman masa lalu.  Woodworth R.S. merumuskan konsep belajar sebagaimana dikutip oleh Singgih Gunarsa (1982) ‘belajar terdiri dari melakukan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu dicamkan (artinya, dimasukkan kedalam fungsi ingatan) oleh individu, yang ditampilkan kembali dalam ingatan’. Belajar sebagai suatu proses ‘penemuan identitas diri’ bagi seorang anak melalui tahapan sebagai berikut: Tahap Imitasi: Imitasi adalah suatu cara atau proses belajar seorang anak dengan mengikuti atau mencontohi orang lain.  Menurut psikolog, G. Tarde bahwa unsur tunggal dari segenap kehidupan sosial ialah hubungan antar dua orang, dan antar hubungan itu selalu bersifat meniru atau mencontohi orang lain.  Dan juga imitasi ini terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai jenis kecakapan, dan lain sebagainya. Proses imitasi tidak selalu membawa pengaruh positif bagi orang yang mencontoh atau menirunya. Akan tetapi, dapat juga berakibat negatif, apabila orang yang meniru hal-hal yang negatif dari orang lain. Tahap Sugesti: Sugesti adalah suatu anjuran tertentu yang memberikan suatu redaksi langsung tanpa pikiran panjang pada individu yang menerima sugesti tersebut. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak yang lain., dan kebanyakan faktor sugesti terjadi apabila orang yang mempunyai pandangan tersebut mempunyai kewajiban yang tinggi atau sangat disenangi oleh orang lain. Sehingga kebanyakan apa yang diberikan oleh orang tersebut akan diterima saja atau diturut oleh orang lain. Sebab dari pada ini, pihak yang menerima kebanyakan mengalami kondisi berpikir yang labil dan emosi tidak menentu yang kemudian  menyebabkan tidak lagi berpikir secara rasional. Sugesti hampir mirip dengan imitasi. Akan tetapi tentu saja keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan tertuntu ; di mana imitasi merupakan proses belajar, di mana berbagai jenis kecakapan diubah, diperbaiki dan disempurnakan dengan meniru orang lain. Sebaliknya, sugesti melepaskan atau menggiatkan suatu reaksi yang sudah ada tetapi tersembunyi sifatnya dalam individu, berdasarkan pengalamannya masa lalu. Misalnya, orang-orang terpengaruh menggunakan sabun merek tertentu, konon dalam reklame disebut bahwa orang yang menggunakan sabun tersebut adalah orang yang tercantik di dunia. Jadi di sini, seakan-akan sebab kecantikan orang tersebut adalah sabun yang dimaksud. Tahap simpati: Simpati adalah kecakapan untuk merasai diri seolah-olah dalam keadaan orang lain dan ikut merasakan apa yang dilakukan, dialami, atau diterima, ataupun diderita oleh orang lain. Oleh sebab itulah dalam simpati perasaan seseorang memegang peranan penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain.  Dasar dari kecakapan ini, karena mungkin manusia mempunyai organ yang sama. Sehingga apabila ada orang yang jatuh dan merasa sakit, kita juga seakan-akan merasainya apabila timbul rasa simpati. Tahap Indentifikasi: Indentifikasi adalah merupakan hal yang lebih mendalam dari pada simpati. Kalau simpati bermaksud agar orang merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sedangkan identifikasi tidak hanya merasakan tetapi juga sedapat mungkin dirasakan sama dengan orang yang diidentifikasikan. Jadi, identifikasi merupakan faktor-faktor imitasi, sugesti, dan simpati. Identifikasi dapat membentuk kepribadian, dan proses ini dapat terbentuk secara tidak disadari. Seperti ungkapan dalam sosiologi, suatu prnyataan ringkas oleh Mayor Polak bahwa ‘Identifikasi memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadia anak, karena dengan identifikasi dioper pula nilai-nilai kebudayaan yang dan sifat-sifat kepribadian  yang dimiliki oleh orang yang menjadi teladan’. Adapun identifikasi dapat terbentuk dengan sengaja meniru perilaku atau kepribadian orang lain. Dan biasanya, orang yang menjadi anutan ini adalah tokoh ideal. Seperti misalnya, seorang anak mengidentifikasikan diri dengan orang tua dengan mengoper norma-norma orang tua menjadi normanya sendiri.
·           Adjustment Activity. Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja melakukan tindakan  yang dianggap sesuai dengan dirinya. Konsep adjustment activity seringkali disama artikan dengan adaptasi. Tindakan atau tingkah laku manusia dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan ataupun tekanan dari lingkungan kehidupannya. Misalnya, pada daerah dingin, manusia haruslah berpakaian yang tebal dengan maksud mengatasi tuntutan iklim, artinya menghindarkan diri dari kedinginan, dan lain sebagainya. Oleh karena manusia hidup dalam suatu masyarakat (community), maka tingkah lakunya tidak saja merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan fisik lingkunganya, melainkan juga penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan sosial orang lain. Pada waktu seseorang masih bayi, atau kanak-kanak, orang tuanya memberi tuntutan terhadapnya agar dia menerima nilai-nilai dan memiliki pola-pola tingkah laku yang baik. Di sekolah, misalnya, dia mendapatkan tuntutan dari guru dan teman-teman sekelasnya untuk bertingkah laku sebagaimana yang diterima oleh mereka. Dan setelah dia menanjak dewasa, seseorang tersebut tidak lepas dari tuntutan orang lain (baik itu suami, istri, majikan, teman-teman sekerja, tetangga, dan sebagainya) agar ia bertanggung jawab serta bertingkah laku sebagaimana yang biasa diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, di mana ia hidup dan berada. Proses penyesuaian diri atau adjustment ini merupakan reaksi terhadap tuntutan-tuntan terhadap dirinya seseorang. Tuntutan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yakni tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Tuntutan internal adalah tuntutan yang berupa dorongan atau kebutuhan yang timbul dari dalam, baik berupa fisik, maupun sosial, misalnya : kebutuhan makan, minum, seks, penghargaan sosial, persahabatan, kecintaan, dan sebagainya.  Sedangkan kebutuhan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar dari individu, baik bersifat fisik maupun sosial, misalnya : keadaan iklim, lingkungan alam, individu lain, serta masyarakat. Tuntutan-tuntutan tersebut tidak selalu serasi, kerap kali individu mengalami konflik-konflik tuntutan.  Ada tiga pola konflik tuntutan, yang dapat terlihat sebagai berikut: Pertama, konflik antara tuntutan internal yang satu dengan tuntutan internal yang lain, misalnya : untuk mendapatkan status, atau prestige sosial seseorang haruslah bersaing atau bertentangan dengan teman-temannya sendiri, Kedua, konflik antara tuntutan eksternal yang satu dengan tuntutan eksternal yang lainnya, misalnya: seseorang anak laki-laki mendapat tuntutan dari ayahnya agar dia memiliki sifat-sifat kelelaki-lelakian dan menjadi olah ragawan, sedangkan ibunya menuntut agar ia memiliki sifat-sifat yang halus sebagai seniman, dan Ketiga, konflik antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal, misalnya: konflik antara dorongan seksual di satu pihak dengan tuntutan masyarakat agar dorongan itu disalurkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat ( misalnya melalui ikatan perkawinan). Dari ketiga macam pola konflik tersebut diatas, pola konflik yang ketigalah yang paling banyak kita alami, yang kadang kala, jika tidak dapat terealisir, maka menimbulkan gangguan terhadap proses adjustment tersebut. Proses penyesuaian diri ini dapat dipandang dari dua segi yaitu: (1) kualitas atau efisiennya, dan (2) proses berlangsungnya.  Apabila proses adjustment itu dipandang dari segi kualitas atau efisiennya, berarti kita akan menilai proses tersebut, dengan membedakan proses adjustment yang berhasil dan yang gagal, yang efisien maupun yang tidak efisien. Dalam menilai berhasil tidaknya proses adjustment itu pada diri seseorang, maka ada 4 (empat) kriteria yang dapat digunakan, atau harus ada yakni: 1). Kepuasan psikis: proses adjustment yang berhasil akan menimbulkan kepuasan psikis, sedangkan yang gagal akan menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi, dan sebagainya. 2). Efisiensi kerja: proses adjustment yang berhasil akan menampakkan intensitasnya dalam kerja atau aktivitas yang efisien, sedangkan yang gagal akan menampakkan dalam pekerjaan/aktivitas kerja yang tidak efisien, misalnya murid yang gagal dalam pelajaran disekolah, karyawan yang gagal dalam pekerjaannya di kantor, dan sebagainya. 3). Gejala-gejala fisik: Proses adjustment yang gagal akan menampakkan identitasnya dalam gejala-gejala fisik, seperti: pusing kepala, sakit perut, gangguan pencernaan, sakit gigi, dan lain sebagainya. 4). Penerimaan sosial: proses adjustment yang berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat, sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak setuju, bahkan cercaan dari masyarakat dan sebagainya. Apabila proses adjustment dipandang dari segi prosesnya sendiri, maka yang dipandang ialah berlangsungnya adjustment tersebut.  Proses adjustment adalah suatu proses progresif yang memungkinkan individu makin menguasai impuls-impulsnya dan lingkungannya. Sehubungan dengan ini, dapatlah disebutkan tiga proses adjustment diri seseorang, yaitu (1) dalam rangka adjustment itu individu mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya, misalnya: meskipun dalam keadaan lapar, akan tetapi dalam perjamuan maka individu menekan rasa lapar, (2) dalam rangka adjustment individu mengubah tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya: untuk mengubah tanah pertanian yang tandus menjadi subur, orang menggunakan pupuk. Agar orang lain dalam suatu rapat menerima pendapatnya, individu berusaha membujuk, atau mempengaruhi, dan meyakinkan beberapa orang untuk menjadi pendukung atas pendapatnya itu. Pigaet menyebut proses adjustment pertama sebagai proses akomodasi, sedangkan proses yang kedua sebagai proses asimilasi (S.T. Vembriarto; Sosiologi Pendidikan, 1987).
·         Aktivitas Pengalaman Mental. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu sikap terentu, artinya menimbulkan suatu reaksi terhadap suatu hal, atau suatu permasalahan. Semboyan ‘experience is the best teacher’ mungkin tetap jika kita gunakan disini.  Dari pengalaman seseorang itu, sangat banyak mempengaruhi proses pembentukan kepribadian  dan perkembangan diri seorang anak.  Apabila seorang amak kecil, sewaktu dari kecil terus-menerus dibantu untuk pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukannya, maka pengalaman ini akan terus melekat pada dirinya, sehingga setelah dewasapun kemungkinan besar sikap ketergantungan ini terus melekat, dan perkembangan mentalnya pun ikut tercipta, menjadi mental tempelan saja. Hal ini semakin menimbulkan kebingungan, ataupun putus asa, karena dia sendiri tidak mampu untuk menunjukkan mentalitas, identitas diri yang sebenarnya.

B.   Proses Sosialisasi Dalam Sketsa Sosiologis
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa sosialisasi mungkin merupakan suatu proses yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan proses paling mendasar dari terbentuknya masyarakat.  Melalui proses inilah nilai-nilai, norma-norma, tatanan kehidupan dan keterampilan-keterampilan lain diajarkan kepada sang individu agar dapat hidup secara normal didalam masyarakatnya, yang diawalinya dalam suatu keluarga.
Sosialisasi dalam keluarga biasa disebut sebagai ‘primary socialization’, yaitu sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang anak.  Para sosiolog, misalnya, Talcott Parsons, dalam The Social System tahun 1951 menjelaskan bahwa sosialisasi primer dalam keluarga menghasilkan ‘basic personality structure’ dimana pola orientasi nilai yang ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk diubah lagi sepanjang kehidupannya. Dengan demikian dalam pandangan parsons ini peranan keluarga amat menonjol.
Proses sosialisasi dalam konsepsi parsons ini seringkali disebut ‘pasive theory of socialization’ dimana sosialisasi dilihat sebagai proses satu arah.  Orang tua menanamkan nilai-nilai dan anak menerima serta belajar sampai perilakunya berubah dan terbentuklah suatu khazanah nilai dan norma dalam kepribadian individu yang disebut sebagai ‘basic personality structure’.  Individu seolah-olah memainkan peranan yang telah diberikan kepadanya (role playing). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari teori ini kurang sesuai dengan kenyataan. Suatu peranan di masyarakat ternyata bukan hanya merupakan ‘passive acceptance’ dari seorang  individu, melainkan merupakan suatu pelibatan diri secara aktif disertai berbagai penyesuaian diri terhadap masyarakat disekelilingnya, sehingga individu mampu mengambil peran tertentu atas inisiatifnya sendiri (‘role taking’), bahkan pelibatan diri yang mampu mengubah masyarakat sekelilingnya (‘role making’).
George Herber Mead dan Blumer, dalam Sociological Implications of the Tought of G.H. Mead, American Journal of Sociology, Vol. 71, (1965) sependapat bahwa manusia tidak hanya mampu melaksanakan peranannya, merespons orientasi nilai-nilai serta struktur sosial yang ada, tetapi juga secara aktif menciptakan perannya didalam masyarakat.  Pandangan interaksionis tersebut merupakan suatu kemajuan dalam ilmu sosiologi umumnya dalam melihat fenomena sosialisasi sehingga dinamika didalam masyarakat dapat dijelskan.  Namun lebih jauh lagi, para sosiolog yang beraliran kritis ternyata telah berhasil menambahkan suatu perspektif yang lebih jauh mengenai proses yang ‘basic’ ini.  Mereka menjelaskan bahwa peran itu sendiri sebenarnya merupakan suatu ‘structure network of  expectation’ yaitu harapan yang tidak diterima oleh individu secara konsensus (kerelaan menyatakan suatu persetujuan) tetapi ditentukan oleh struktur kekuasaan.  Oleh karena itu, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses yang penuh kedamaian dari orang tua kepada anaknya, tetapi, proses yang amat mengandung konflik suatu kelompok kepentingan pada kelompok lainnya.  Pembagian kekuasaan dalam masyarakat amat menentukan dan mewarnai proses ini.  Peran tidak selalu ‘pas’ dengan si pemegangnya; selalu ada jarak antara pemegang peran dan perannya (‘role distence’). Misalnya, seorang murid merasa bahwa perannya sebagai murid tidak seluruhnya sesuai dengan keinginannya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh pihak-pihak lain yang lebih berkuasa (guru, orang tua, dan bahkan pemerintah). Jadi, apa yang disebut sebagai ‘Radical theory of socialization’ ini terutama melihat bahwa sosialisasi terjadi didalam masyarakat yang berstratifikasi. 
‘Socialization is class socialization’, demikian yang dikatakan Clarke (1976).  Kelas sosial dalam masyarakat menentukan pola sosialisasi dan prilaku serta sikap individu-individu.  Melalui proses ini kelompok yang berkuasa dengan menggunakan berbagai saluran sosialisasi yang dikuasainya seperti lembaga keluarga, sekolah, media komunikasi massa, lembaga-lembaga pemerintahan, politik, agama, dan sebagainya. 
Ada dua hal yang dapat menarik perhatian atau cara pandang kita tentang hal tersebut, terutama pandangan kelompok kritis:
Pertama, adalah bahwa proses sosialisasi bukan hanya suatu proses yang mempertahankan kelangsungan hidup yang ‘fungsional’ bagi seluruh anggota masyarakat (suatu pandangan yang merupaka koreksi terhadap Talcott Parsons).  Akan tetapi, yang Kedua, konsekuensi logis dari pandangan ini ialah dalam prises sosialisasi sistim nilai yang dimiliki oleh kelompok dominan secara ‘caercive’ selalu ditanamkan pada kelompok lemah, dan kelompok dominan selalu berusaha dengan perangkat kontrol sosial yang ada untuk menjaga agar nilai-nilai yang establish tersebut, tidaklah digoyahkan oleh kekuatan lain (bahkan Berger dan Lukman dari kelompok interaksionis pun menandaskan bahwa pada hakekatnya kehidupan sosial adalah suatu kekuatan yang senantiasa mengontrol ‘... sosial is control’), sehingga dengan demikian cenderung terbentuk semacam ‘basic personality structure’ pada individu, mirip seperti apa yang dikatakan Parsons.  Hanya letak perbedaannya adalah bahwa Parsons menganggap sosialisasi diterima secara konsensus dan fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat seluruhnya, sedangkan kelompok kritis mengatakan bahwa sosialisasi terutama fungsional bagi kelanjutan dominasi kelompok kelompok yang berkuasa.
Kalau menyimak alur pemikiran atau pandangan tersebut di atas, maka sosialisasi dapat disimpulkan sebagai proses untuk mempertahankan keteraturan sosial yang ada. Namun, kesimpulan ini tidaklah cukup untuk menampung kenyataan sosial yang ada terutama dalam kehidupannya manusia dalam masa kini, sebab selalu dan senantiasa mengalami perubahan sosial yang cepat dan amat mendasar. Maka dari itu tetaplah berpijak pada pandangan kelompok interaksionisme tentang ‘active theory of socialization’. Bagaimanapun individu-individu mampu melakukan ‘reinterpretasi’ terhadap peran yang diembannya sehingga proses yang terjadi, bukan hanya ‘role playing’, tetapi juga ‘role taking’ dan ‘role making’, melalui tawar menawar yang terus menerus dalam proses interaksi sehari-hari, bahwa ‘social order is a negotiated order’.

C.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Sosiali-
       isasi
Dengan proses sosialisasi individu berkembang menjadi suatu pribadi sebagai mahluk sosial.  Baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial ini merupakan kesatuan integral dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui proses sosialisasi, sifat mana mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dalam suatu masyarakat. Proses sosialisasi dimungkinkan bagi perkembangan manusia sebagai mahluk sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut F.G. Robbins terdapat  lima faktor yang menjadi dasar perkembangan kepribadian yaitu: (1) sifat dasar, (2) lingkungan prenatal, (3) perbedaan individual, (4) lingkungan, dan (5) motivasi.
1)      Sifat dasar  adalah potensi-potensi yang diwarisi oleh seseorang dari orang tuanya, ayah dan ibunya.  Sifat dasar ini terbentuk pada saat konsepsi, yaitu moment bertemunya sel-sel pria dan wanita pada saat pembuahan.  Sifat dasar ini masih merupakan potensi-potensi, selanjutnya berkembang dan teraktualisasi karena pengaruh faktor-faktor lainnya.
2)      Lingkungan prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu.  Sel telur yang telah dibuahi (zygote) saat konsepsi itu berkembang sebagai  embrio dan feutus dalam lingkungan prenatal.  Dalam periode itu individu mendapatkan pengaruh-pengaruh secara tidak langsung dari si ibu, yang dapat dikategorikan sebagai berikut : misalnya gangguan penyakit pada pertumbuhan mental bayi dalam kandungan dan sebagainya, gangguan endoktrin keterbelakangan mental, cacat, lemah pikiran....
3)      Perbedaan individual adalah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses sosialisasi.  Sejak seseorang dilahirkan, tumbuh dan berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dari individu-individu yang lain. Dia bersifat selektif terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Perbedaan ini meliputi perbedaan dalam ciri fisik (bentuk badan, warna kulit, warna mata, rambut, dan lain sebagainya), ciri-ciri fisiologis (berfungsi sebagai sistem endokrin), dan ciri-ciri mental, emosional, ciri-ciri personal dan sosial.  
4)      Lingkungan adalah kondisi-kondisi disekitar individu yang mempengaruhi proses sosialisasinya. Lingkungan ini dapat dikategorikan menjadi: (1) lingkungan alam yaitu keadaan tanah, iklim, flora dan fauna, disekitar individu, (2) kebuayaan, yaitu cara hidup masyarakat tempat individu itu hidup; kebudayaan ini mempunyai aspek material (rumah, perlengkapan hidup, hasil-hasil teknologi dan sebagainya), dan aspek non seperti (nilai-nilai, pandangan hidup, adat istiadat dan sebagainya), (3) manusia lain dan masyarakat disekitar individu; pengaruh manusia lain dan masyarakat dapat memberi stimulasi pada proses sosialisasi.
5)      Motivasi adalah kekuatan-kekuatan (dorongan-dorongan) dari dalam diri individu yang menggerakkan individu untuk berbuat.  Motivasi sebagai dorongan adalah keadaan ketidak-seimbangan dalam diri individu, karena pengaruh dari dalam atau dari luar dirinya, yang mempengaruhi dan mengarahkan perbuatan individu dalam rangka mencapai keseimbangan kembali atau adaptasi; seperti dorongan untuk makan, minum, menghindarkan diri dari ancaman bahaya, dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan adalah dorongan yang telah ditentukan secara personal, sosial dan kultural.
Oleh Louis Rats kebutuhan-kebutuhan manusia yang terpenting adalah : (1) kebutuhan untuk bersama orang lain, (2) kebutuhan untuk berprestasi, (3) kebutuhan akan afeksi, (4) kebutuhan bebas dari rasa takut, (5) kebutuhan bebas dari rasa bersalah, (6) kebutuhan untuk turut serta mengambil keputusan mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya, (7) kebutuhan akan kepastian ekonomis, dan (8) kebutuhan akan terintegrasikannya sikap, keyakinan dan nilai-nilai.
Menurut teori ‘the hierarchy of needs’ dari Abraham Maslow bahwa kebutuhan manusia mempunyai tingkat-tingkat sebagai berikut:
(1) Kebutuhan fisik (physiological need), yaitu kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya, seperti makanan, air, pakaian, perumahan, tidur, pemuasan seks.
(2)   Kebutuhan untuk memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need), yaitu kebutuhan bebas dari bahaya, ketakutan, ancaman, kehilangan pekerjaan, miliknya, pakaiannya atau perumahannya.
(3)   Kebutuhan bermasyarakat (social need), atau kebutuhan untuk menerima/bekerja sama dalam kelompok (affiliation or acceptance need), yaitu kebutuhan untuk berkelompok dan bermasyarakat. Manusia suka berkelompok bersama-sama untuk maksud-maksud kehidupannya yang beraneka ragam.  Manusia perlu bergaul, termasuk di dalamnya untuk menerima dan diterima menjadi anggota kelompok, untuk mencintai dan dicintai.              
(4)   Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need), yaitu kebutuhan memperoleh reputasi/kemasyuran, terhormat dan dihormati.  Manusia membutuhkan pujian, penghargaan dan pengakuan atas kedudukannya (status).
(5)   Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (self actualization need), yaitu kebutuhan untuk membuktikan dirinya sebagai seseorang yang mampu mengembangkan potensi bakatnya, sehingga mempunyai prestasi yang dapat dibanggakan. Menurut Maslow, kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang tertinggi menurut hirarkhinya.            Maslow berpendapat, sebenarnya teori hierarchy of need hanya dapat dibagi dalam dua tingkat kebutuhan, yaitu ‘kebutuhan biologis’ dan ‘kebutuhan lain’.  Adapun kebutuhan lain hanya timbul apabila kebutuhan biologis telah dapat dipuaskan.  Penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat masyarakat yang masih rendah, maka kebutuhan biologis sangat dominan, tetapi pada tingkat masyarakat yang tinggi, kebutuhan yang paling dominan ialah kebutuhan memperoleh kebanggan. Pada masyarakat menengah, kebutuhan pertama dan kedua (kebutuhan fisik dan keamanan) cenderung berkurang, tetapi kebutuhan ketiga, keempat dan kelima (kebutuhan bermasyarakat, kehormatan dan kebanggaan) cenderung bertambah◙.


No comments: