A. Konsepsi Proses
Sosialisasi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sosialisasi yang dinyatakan oleh
Havighurst dan Neugarten sebagai suatu proses belajar, namun apakah sebenarnya
hakekat dari sosialisasi itu, lebih jauh akan ditelusuri lebih lanjut dalam
bagian ini.
Thomas Ford Hoult (1974), berpendapat bahwa proses sosialisasi adalah;
‘.... almost always denotes the process whereby individuals
learn to behave willingly in accordance with the prevailing standards of their
culture; altough occasionally used synonymously with learning, usually reserved
for the tyoe of learning that bears on future role performace and that particularly
involves group
approval;...’.
Proses sosialisasi adalah proses belajar individu
untuk bertingkah laku sesuai dengan standart yang terdapat dalam kebudayaan
masyarakatnya. Menurut R.S. Lazarus; ‘The entire process of
socializaiton, by means of which the child acquires the values and conduct
patterns of the culture, is a processof accomodation, in which the child lears
to inhibit and modify his impuls in favor of environmental pressures, and
develops new ones that are culturally determined’, dalam Adjusdment
andPersonality (1961).
Jadi, proses sosialisasi adalah juga proses akomodasi,
dimana individu akan mengubah impuls-impuls sesuai dengan tuntutan lingkungan,
dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakatnya.
G.H. Mead, dalam F.G Robbins, (1953) berpendapat bahwa
dalam proses sosialisasi itu individu ‘taking over of another person’s
habits, attitudes, and ideas and reorganizing of them into one’s own system’.
Dalam proses sosialisasi ini individu mengadopsi
kebiasaan, sikap, dan ide-ide orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu
cara hidupnya atau standard hidupnya.
Dari batasan konsepsi proses sosialisasi tersebut
diatas, maka dapatlah disimpulkan:
§ Proses sosialisasi adalah proses belajar,
yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah
impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan
masyarakatnya.
§ Dalam proses sosialisasi itu, individu
mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan
standard tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
§ Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari
dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan
sistim dalam diri pribadinya.
Dalam proses sosialisasi, mencakup paling kurang tiga
aktivitas pokok sebagai berikut:
·
Aktivitas
Belajar. Belajar menurut Morgan C.T adalah sebagai suatu perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku, akibat pengalaman masa lalu. Woodworth R.S.
merumuskan konsep belajar sebagaimana dikutip oleh Singgih Gunarsa (1982)
‘belajar terdiri dari melakukan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu
dicamkan (artinya, dimasukkan kedalam fungsi ingatan) oleh individu, yang ditampilkan
kembali dalam ingatan’. Belajar sebagai suatu proses ‘penemuan identitas diri’
bagi seorang anak melalui tahapan sebagai berikut: Tahap Imitasi:
Imitasi adalah suatu cara atau proses belajar seorang anak dengan mengikuti
atau mencontohi orang lain. Menurut
psikolog, G. Tarde bahwa unsur tunggal dari segenap kehidupan sosial ialah
hubungan antar dua orang, dan antar hubungan itu selalu bersifat meniru atau
mencontohi orang lain. Dan juga imitasi ini terjadi perubahan-perubahan
dalam berbagai jenis kecakapan, dan lain sebagainya. Proses imitasi tidak
selalu membawa pengaruh positif bagi orang yang mencontoh atau menirunya. Akan
tetapi, dapat juga berakibat negatif, apabila orang yang meniru hal-hal yang
negatif dari orang lain. Tahap Sugesti: Sugesti adalah suatu anjuran
tertentu yang memberikan suatu redaksi langsung tanpa pikiran panjang pada
individu yang menerima sugesti tersebut. Faktor sugesti berlangsung apabila
seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya
yang kemudian diterima oleh pihak yang lain., dan kebanyakan faktor sugesti
terjadi apabila orang yang mempunyai pandangan tersebut mempunyai kewajiban
yang tinggi atau sangat disenangi oleh orang lain. Sehingga kebanyakan apa yang
diberikan oleh orang tersebut akan diterima saja atau diturut oleh orang lain.
Sebab dari pada ini, pihak yang menerima kebanyakan mengalami kondisi berpikir
yang labil dan emosi tidak menentu yang kemudian menyebabkan tidak lagi
berpikir secara rasional. Sugesti hampir mirip dengan imitasi. Akan tetapi
tentu saja keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan tertuntu ; di mana imitasi
merupakan proses belajar, di mana berbagai jenis kecakapan diubah, diperbaiki
dan disempurnakan dengan meniru orang lain. Sebaliknya, sugesti melepaskan atau
menggiatkan suatu reaksi yang sudah ada tetapi tersembunyi sifatnya dalam
individu, berdasarkan pengalamannya masa lalu. Misalnya, orang-orang
terpengaruh menggunakan sabun merek tertentu, konon dalam reklame disebut bahwa
orang yang menggunakan sabun tersebut adalah orang yang tercantik di dunia.
Jadi di sini, seakan-akan sebab kecantikan orang tersebut adalah sabun yang
dimaksud. Tahap simpati: Simpati adalah kecakapan untuk merasai diri
seolah-olah dalam keadaan orang lain dan ikut merasakan apa yang dilakukan,
dialami, atau diterima, ataupun diderita oleh orang lain. Oleh sebab itulah
dalam simpati perasaan seseorang memegang peranan penting, walaupun dorongan
utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain. Dasar dari
kecakapan ini, karena mungkin manusia mempunyai organ yang sama. Sehingga
apabila ada orang yang jatuh dan merasa sakit, kita juga seakan-akan merasainya
apabila timbul rasa simpati. Tahap Indentifikasi: Indentifikasi adalah
merupakan hal yang lebih mendalam dari pada simpati. Kalau simpati bermaksud
agar orang merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sedangkan identifikasi
tidak hanya merasakan tetapi juga sedapat mungkin dirasakan sama dengan orang
yang diidentifikasikan. Jadi, identifikasi merupakan
faktor-faktor imitasi, sugesti, dan simpati. Identifikasi dapat membentuk
kepribadian, dan proses ini dapat terbentuk secara tidak disadari. Seperti
ungkapan dalam sosiologi, suatu prnyataan ringkas oleh Mayor Polak bahwa
‘Identifikasi memegang peranan penting dalam perkembangan kepribadia anak,
karena dengan identifikasi dioper pula nilai-nilai kebudayaan yang dan
sifat-sifat kepribadian yang dimiliki oleh orang yang menjadi teladan’.
Adapun identifikasi dapat terbentuk dengan sengaja meniru perilaku atau
kepribadian orang lain. Dan biasanya, orang yang menjadi anutan ini adalah
tokoh ideal. Seperti misalnya, seorang
anak mengidentifikasikan diri dengan orang tua dengan mengoper norma-norma
orang tua menjadi normanya sendiri.
·
Adjustment Activity. Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak
dapat begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya.
Konsep adjustment activity seringkali disama artikan dengan adaptasi. Tindakan
atau tingkah laku manusia dapat diterangkan sebagai reaksi terhadap tuntutan
ataupun tekanan dari lingkungan kehidupannya. Misalnya, pada daerah dingin,
manusia haruslah berpakaian yang tebal dengan maksud mengatasi tuntutan iklim,
artinya menghindarkan diri dari kedinginan, dan lain sebagainya. Oleh karena
manusia hidup dalam suatu masyarakat (community), maka tingkah lakunya
tidak saja merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan fisik
lingkunganya, melainkan juga penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan
sosial orang lain. Pada waktu seseorang masih bayi, atau kanak-kanak, orang
tuanya memberi tuntutan terhadapnya agar dia menerima nilai-nilai dan memiliki
pola-pola tingkah laku yang baik. Di sekolah, misalnya, dia mendapatkan
tuntutan dari guru dan teman-teman sekelasnya untuk bertingkah laku sebagaimana
yang diterima oleh mereka. Dan setelah dia menanjak dewasa, seseorang tersebut
tidak lepas dari tuntutan orang lain (baik itu suami, istri, majikan,
teman-teman sekerja, tetangga, dan sebagainya) agar ia bertanggung jawab serta
bertingkah laku sebagaimana yang biasa diterima oleh kelompok masyarakat
tertentu, di mana ia hidup dan berada. Proses penyesuaian diri atau adjustment
ini merupakan reaksi terhadap tuntutan-tuntan terhadap dirinya seseorang.
Tuntutan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yakni tuntutan internal dan
tuntutan eksternal. Tuntutan internal adalah tuntutan yang berupa dorongan atau
kebutuhan yang timbul dari dalam, baik berupa fisik, maupun sosial, misalnya :
kebutuhan makan, minum, seks, penghargaan sosial, persahabatan, kecintaan, dan
sebagainya. Sedangkan kebutuhan eksternal adalah tuntutan yang berasal
dari luar dari individu, baik bersifat fisik maupun sosial, misalnya : keadaan
iklim, lingkungan alam, individu lain, serta masyarakat. Tuntutan-tuntutan tersebut tidak selalu serasi, kerap kali individu
mengalami konflik-konflik tuntutan. Ada tiga pola konflik tuntutan, yang
dapat terlihat sebagai berikut: Pertama, konflik antara tuntutan
internal yang satu dengan tuntutan internal yang lain, misalnya : untuk mendapatkan
status, atau prestige sosial seseorang haruslah bersaing atau bertentangan
dengan teman-temannya sendiri, Kedua, konflik antara tuntutan eksternal
yang satu dengan tuntutan eksternal yang lainnya, misalnya: seseorang anak
laki-laki mendapat tuntutan dari ayahnya agar dia memiliki sifat-sifat
kelelaki-lelakian dan menjadi olah ragawan, sedangkan ibunya menuntut agar ia
memiliki sifat-sifat yang halus sebagai seniman, dan Ketiga, konflik
antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal, misalnya: konflik antara
dorongan seksual di satu pihak dengan tuntutan masyarakat agar dorongan itu
disalurkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat ( misalnya
melalui ikatan perkawinan). Dari ketiga macam pola konflik tersebut diatas,
pola konflik yang ketigalah yang paling banyak kita alami, yang kadang kala,
jika tidak dapat terealisir, maka menimbulkan gangguan terhadap proses
adjustment tersebut. Proses penyesuaian diri ini dapat
dipandang dari dua segi yaitu: (1) kualitas atau efisiennya, dan (2) proses
berlangsungnya. Apabila proses adjustment itu
dipandang dari segi kualitas atau efisiennya, berarti kita akan menilai proses
tersebut, dengan membedakan proses adjustment yang berhasil dan yang gagal,
yang efisien maupun yang tidak efisien. Dalam menilai berhasil tidaknya proses
adjustment itu pada diri seseorang, maka ada 4 (empat) kriteria yang dapat
digunakan, atau harus ada yakni: 1). Kepuasan psikis: proses adjustment yang
berhasil akan menimbulkan kepuasan psikis, sedangkan yang gagal akan menimbulkan
rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk perasaan kecewa, gelisah, lesu,
depresi, dan sebagainya. 2). Efisiensi kerja: proses adjustment yang berhasil
akan menampakkan intensitasnya dalam kerja atau aktivitas yang efisien,
sedangkan yang gagal akan menampakkan dalam pekerjaan/aktivitas kerja yang
tidak efisien, misalnya murid yang gagal dalam pelajaran disekolah, karyawan
yang gagal dalam pekerjaannya di kantor, dan sebagainya. 3). Gejala-gejala
fisik: Proses adjustment yang gagal akan menampakkan identitasnya dalam
gejala-gejala fisik, seperti: pusing kepala, sakit perut, gangguan pencernaan,
sakit gigi, dan lain sebagainya. 4). Penerimaan sosial: proses adjustment yang
berhasil akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat, sedangkan yang gagal
akan mendapatkan reaksi tidak setuju, bahkan cercaan dari masyarakat dan
sebagainya. Apabila proses adjustment dipandang dari segi prosesnya sendiri,
maka yang dipandang ialah berlangsungnya adjustment tersebut. Proses
adjustment adalah suatu proses progresif yang memungkinkan individu makin
menguasai impuls-impulsnya dan lingkungannya. Sehubungan dengan ini, dapatlah
disebutkan tiga proses adjustment diri seseorang, yaitu (1) dalam rangka
adjustment itu individu mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya,
misalnya: meskipun dalam keadaan lapar, akan tetapi dalam perjamuan maka
individu menekan rasa lapar, (2) dalam rangka adjustment individu mengubah
tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya: untuk mengubah tanah
pertanian yang tandus menjadi subur, orang menggunakan pupuk. Agar orang lain
dalam suatu rapat menerima pendapatnya, individu berusaha membujuk, atau
mempengaruhi, dan meyakinkan beberapa orang untuk menjadi pendukung atas
pendapatnya itu. Pigaet menyebut proses adjustment pertama sebagai proses
akomodasi, sedangkan proses yang kedua sebagai proses asimilasi (S.T.
Vembriarto; Sosiologi Pendidikan, 1987).
· Aktivitas Pengalaman Mental. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu
sikap terentu, artinya menimbulkan suatu reaksi terhadap suatu hal, atau suatu
permasalahan. Semboyan ‘experience is the best teacher’ mungkin tetap jika kita
gunakan disini. Dari pengalaman seseorang itu, sangat banyak mempengaruhi
proses pembentukan kepribadian dan perkembangan diri seorang anak.
Apabila seorang amak kecil, sewaktu dari kecil terus-menerus dibantu untuk
pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukannya, maka pengalaman ini
akan terus melekat pada dirinya, sehingga setelah dewasapun kemungkinan besar
sikap ketergantungan ini terus melekat, dan perkembangan mentalnya pun ikut
tercipta, menjadi mental tempelan saja. Hal ini semakin menimbulkan
kebingungan, ataupun putus asa, karena dia sendiri tidak mampu untuk
menunjukkan mentalitas, identitas diri yang sebenarnya.
B. Proses Sosialisasi
Dalam Sketsa Sosiologis
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa sosialisasi mungkin merupakan
suatu proses yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan proses
paling mendasar dari terbentuknya masyarakat. Melalui proses inilah
nilai-nilai, norma-norma, tatanan kehidupan dan keterampilan-keterampilan lain
diajarkan kepada sang individu agar dapat hidup secara normal didalam
masyarakatnya, yang diawalinya dalam suatu keluarga.
Sosialisasi dalam keluarga biasa disebut sebagai ‘primary
socialization’, yaitu sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang
anak. Para sosiolog, misalnya, Talcott Parsons, dalam The Social
System tahun 1951 menjelaskan bahwa sosialisasi primer dalam keluarga
menghasilkan ‘basic personality structure’ dimana pola orientasi nilai
yang ditanamkan pada seseorang akan sulit untuk diubah lagi sepanjang
kehidupannya. Dengan demikian dalam pandangan parsons ini peranan keluarga amat
menonjol.
Proses sosialisasi dalam konsepsi parsons ini seringkali disebut ‘pasive
theory of socialization’ dimana sosialisasi dilihat sebagai proses satu
arah. Orang tua menanamkan nilai-nilai dan anak menerima serta belajar
sampai perilakunya berubah dan terbentuklah suatu khazanah nilai dan norma
dalam kepribadian individu yang disebut sebagai ‘basic personality
structure’. Individu seolah-olah memainkan peranan yang telah
diberikan kepadanya (role playing). Akan tetapi, dalam kehidupan
sehari-hari teori ini kurang sesuai dengan kenyataan. Suatu peranan di
masyarakat ternyata bukan hanya merupakan ‘passive acceptance’ dari
seorang individu, melainkan merupakan suatu pelibatan diri secara aktif
disertai berbagai penyesuaian diri terhadap masyarakat disekelilingnya,
sehingga individu mampu mengambil peran tertentu atas inisiatifnya sendiri (‘role
taking’), bahkan pelibatan diri yang mampu mengubah masyarakat
sekelilingnya (‘role making’).
George Herber Mead dan Blumer, dalam Sociological Implications of the
Tought of G.H. Mead, American Journal of Sociology, Vol. 71, (1965) sependapat
bahwa manusia tidak hanya mampu melaksanakan peranannya, merespons orientasi
nilai-nilai serta struktur sosial yang ada, tetapi juga secara aktif
menciptakan perannya didalam masyarakat. Pandangan interaksionis tersebut
merupakan suatu kemajuan dalam ilmu sosiologi umumnya dalam melihat fenomena
sosialisasi sehingga dinamika didalam masyarakat dapat dijelskan. Namun
lebih jauh lagi, para sosiolog yang beraliran kritis ternyata telah berhasil
menambahkan suatu perspektif yang lebih jauh mengenai proses yang ‘basic’
ini. Mereka menjelaskan bahwa peran itu sendiri sebenarnya merupakan
suatu ‘structure network of expectation’ yaitu harapan yang tidak
diterima oleh individu secara konsensus (kerelaan menyatakan suatu persetujuan)
tetapi ditentukan oleh struktur kekuasaan. Oleh karena itu, proses
sosialisasi bukan hanya merupakan proses yang penuh kedamaian dari orang tua
kepada anaknya, tetapi, proses yang amat mengandung konflik suatu kelompok
kepentingan pada kelompok lainnya. Pembagian kekuasaan dalam masyarakat
amat menentukan dan mewarnai proses ini. Peran tidak selalu ‘pas’ dengan
si pemegangnya; selalu ada jarak antara pemegang peran dan perannya (‘role
distence’). Misalnya, seorang murid merasa bahwa perannya sebagai murid
tidak seluruhnya sesuai dengan keinginannya, tetapi lebih banyak ditentukan
oleh pihak-pihak lain yang lebih berkuasa (guru, orang tua, dan bahkan
pemerintah). Jadi, apa yang disebut sebagai ‘Radical theory of
socialization’ ini terutama melihat bahwa sosialisasi terjadi didalam
masyarakat yang berstratifikasi.
‘Socialization is class socialization’, demikian
yang dikatakan Clarke (1976). Kelas
sosial dalam masyarakat menentukan pola sosialisasi dan prilaku serta sikap
individu-individu. Melalui proses ini kelompok yang berkuasa dengan
menggunakan berbagai saluran sosialisasi yang dikuasainya seperti lembaga
keluarga, sekolah, media komunikasi massa, lembaga-lembaga pemerintahan,
politik, agama, dan sebagainya.
Ada dua hal yang dapat menarik perhatian atau cara pandang kita tentang hal
tersebut, terutama pandangan kelompok kritis:
Pertama, adalah bahwa proses sosialisasi bukan hanya suatu proses yang
mempertahankan kelangsungan hidup yang ‘fungsional’ bagi seluruh anggota
masyarakat (suatu pandangan yang merupaka koreksi terhadap Talcott
Parsons). Akan tetapi, yang Kedua, konsekuensi logis dari
pandangan ini ialah dalam prises sosialisasi sistim nilai yang dimiliki oleh
kelompok dominan secara ‘caercive’ selalu ditanamkan pada kelompok
lemah, dan kelompok dominan selalu berusaha dengan perangkat kontrol sosial
yang ada untuk menjaga agar nilai-nilai yang establish tersebut, tidaklah
digoyahkan oleh kekuatan lain (bahkan Berger dan Lukman dari kelompok
interaksionis pun menandaskan bahwa pada hakekatnya kehidupan sosial adalah
suatu kekuatan yang senantiasa mengontrol ‘... sosial is control’),
sehingga dengan demikian cenderung terbentuk semacam ‘basic personality
structure’ pada individu, mirip seperti apa yang dikatakan Parsons.
Hanya letak perbedaannya adalah bahwa Parsons menganggap sosialisasi diterima
secara konsensus dan fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat seluruhnya,
sedangkan kelompok kritis mengatakan bahwa sosialisasi terutama fungsional bagi
kelanjutan dominasi kelompok kelompok yang berkuasa.
Kalau menyimak alur pemikiran atau pandangan tersebut di atas, maka
sosialisasi dapat disimpulkan sebagai proses untuk mempertahankan keteraturan
sosial yang ada. Namun, kesimpulan ini tidaklah cukup untuk menampung kenyataan
sosial yang ada terutama dalam kehidupannya manusia dalam masa kini, sebab
selalu dan senantiasa mengalami perubahan sosial yang cepat dan amat mendasar.
Maka dari itu tetaplah berpijak pada pandangan kelompok interaksionisme tentang
‘active theory of socialization’. Bagaimanapun individu-individu mampu
melakukan ‘reinterpretasi’ terhadap peran yang diembannya sehingga
proses yang terjadi, bukan hanya ‘role playing’, tetapi juga ‘role
taking’ dan ‘role making’, melalui tawar menawar yang terus menerus
dalam proses interaksi sehari-hari, bahwa ‘social order is a negotiated
order’.
C. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Proses Sosiali-
isasi
Dengan proses sosialisasi individu berkembang menjadi suatu pribadi sebagai
mahluk sosial. Baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial ini
merupakan kesatuan integral dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui
proses sosialisasi, sifat mana mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dalam
suatu masyarakat. Proses sosialisasi dimungkinkan bagi perkembangan manusia
sebagai mahluk sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Menurut F.G. Robbins terdapat lima faktor yang menjadi dasar
perkembangan kepribadian yaitu: (1) sifat dasar, (2) lingkungan prenatal, (3)
perbedaan individual, (4) lingkungan, dan (5) motivasi.
1) Sifat dasar adalah potensi-potensi
yang diwarisi oleh seseorang dari orang tuanya, ayah dan ibunya. Sifat
dasar ini terbentuk pada saat konsepsi, yaitu moment bertemunya sel-sel pria
dan wanita pada saat pembuahan. Sifat dasar ini masih merupakan
potensi-potensi, selanjutnya berkembang dan teraktualisasi karena pengaruh
faktor-faktor lainnya.
2)
Lingkungan prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu. Sel
telur yang telah dibuahi (zygote) saat konsepsi itu berkembang
sebagai embrio dan feutus dalam lingkungan prenatal. Dalam periode
itu individu mendapatkan pengaruh-pengaruh secara tidak langsung dari si ibu,
yang dapat dikategorikan sebagai berikut : misalnya gangguan penyakit pada
pertumbuhan mental bayi dalam kandungan dan sebagainya, gangguan endoktrin
keterbelakangan mental, cacat, lemah pikiran....
3)
Perbedaan individual adalah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses sosialisasi. Sejak seseorang dilahirkan, tumbuh dan
berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dari individu-individu yang lain.
Dia bersifat selektif terhadap pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Perbedaan
ini meliputi perbedaan dalam ciri fisik (bentuk badan, warna kulit, warna mata,
rambut, dan lain sebagainya), ciri-ciri fisiologis (berfungsi sebagai sistem
endokrin), dan ciri-ciri mental, emosional, ciri-ciri personal dan
sosial.
4)
Lingkungan adalah kondisi-kondisi disekitar individu yang mempengaruhi
proses sosialisasinya. Lingkungan ini dapat dikategorikan menjadi: (1)
lingkungan alam yaitu keadaan tanah, iklim, flora dan fauna, disekitar
individu, (2) kebuayaan, yaitu cara hidup masyarakat tempat individu itu hidup;
kebudayaan ini mempunyai aspek material (rumah, perlengkapan hidup, hasil-hasil
teknologi dan sebagainya), dan aspek non seperti (nilai-nilai, pandangan hidup,
adat istiadat dan sebagainya), (3) manusia lain dan masyarakat disekitar
individu; pengaruh manusia lain dan masyarakat dapat memberi stimulasi pada
proses sosialisasi.
5)
Motivasi adalah kekuatan-kekuatan (dorongan-dorongan) dari dalam diri
individu yang menggerakkan individu untuk berbuat. Motivasi sebagai
dorongan adalah keadaan ketidak-seimbangan dalam diri individu, karena pengaruh
dari dalam atau dari luar dirinya, yang mempengaruhi dan mengarahkan perbuatan
individu dalam rangka mencapai keseimbangan kembali atau adaptasi; seperti
dorongan untuk makan, minum, menghindarkan diri dari ancaman bahaya, dan lain
sebagainya. Sedangkan kebutuhan adalah dorongan yang telah ditentukan secara
personal, sosial dan kultural.
Oleh Louis Rats
kebutuhan-kebutuhan manusia yang terpenting adalah : (1) kebutuhan untuk
bersama orang lain, (2) kebutuhan untuk berprestasi, (3) kebutuhan akan afeksi,
(4) kebutuhan bebas dari rasa takut, (5) kebutuhan bebas dari rasa bersalah,
(6) kebutuhan untuk turut serta mengambil keputusan mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya, (7) kebutuhan akan kepastian
ekonomis, dan (8) kebutuhan akan terintegrasikannya sikap, keyakinan dan
nilai-nilai.
Menurut teori ‘the
hierarchy of needs’ dari Abraham Maslow bahwa kebutuhan manusia mempunyai
tingkat-tingkat sebagai berikut:
(1) Kebutuhan fisik (physiological
need), yaitu kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya,
seperti makanan, air, pakaian, perumahan, tidur, pemuasan seks.
(2) Kebutuhan untuk
memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need), yaitu
kebutuhan bebas dari bahaya, ketakutan, ancaman, kehilangan pekerjaan,
miliknya, pakaiannya atau perumahannya.
(3) Kebutuhan
bermasyarakat (social need), atau kebutuhan untuk menerima/bekerja sama
dalam kelompok (affiliation or acceptance need), yaitu kebutuhan untuk
berkelompok dan bermasyarakat. Manusia suka berkelompok bersama-sama untuk
maksud-maksud kehidupannya yang beraneka ragam. Manusia perlu bergaul,
termasuk di dalamnya untuk menerima dan diterima menjadi anggota kelompok,
untuk mencintai dan dicintai.
(4) Kebutuhan untuk
memperoleh kehormatan (esteem need), yaitu kebutuhan memperoleh
reputasi/kemasyuran, terhormat dan dihormati. Manusia membutuhkan pujian,
penghargaan dan pengakuan atas kedudukannya (status).
(5) Kebutuhan untuk
memperoleh kebanggaan (self actualization need), yaitu kebutuhan untuk
membuktikan dirinya sebagai seseorang yang mampu mengembangkan potensi
bakatnya, sehingga mempunyai prestasi yang dapat dibanggakan. Menurut Maslow,
kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang tertinggi menurut hirarkhinya.
Maslow
berpendapat, sebenarnya teori hierarchy of need hanya dapat dibagi dalam
dua tingkat kebutuhan, yaitu ‘kebutuhan biologis’ dan ‘kebutuhan lain’.
Adapun kebutuhan lain hanya timbul apabila kebutuhan biologis telah dapat
dipuaskan. Penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat masyarakat yang
masih rendah, maka kebutuhan biologis sangat dominan, tetapi pada tingkat masyarakat
yang tinggi, kebutuhan yang paling dominan ialah kebutuhan memperoleh
kebanggan. Pada masyarakat menengah, kebutuhan pertama dan kedua (kebutuhan
fisik dan keamanan) cenderung berkurang, tetapi kebutuhan ketiga, keempat dan
kelima (kebutuhan bermasyarakat, kehormatan dan kebanggaan) cenderung
bertambah◙.
No comments:
Post a Comment