Link Sukses

Banner 728x90 :

Wednesday 11 November 2015

KONSEP SOSIOLOGI KELUARGA







A.Pengertian Keluarga
Terdapat beragam  istilah yang bias di pergunakan untuk menyebut keluarga .Keluarga bisa berarti ibu,bapak,anak-anaknya atau seisi rumah.bisa juga disebut batih yaitu seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti kaum yaitu sanak saudara serta kaum kerabat.Definisi lainnya keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah,perkawinan,atau adopsi serta tinggal bersama.
Para sosiologi berpendapat bahwa asal usul pengelompokkkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan.Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dari berbagai segi.Pertama,dari segi orang melangsungkan perkawinan yang sah serta di karuniai anak.Kedua,lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memilki seorang anak namun tidak pernah menikah .Ketiga dari segi hubungan jauh antaranggota keluarga,namun masih memilki ikatan darah.Keempat,keluarga yang mengadopsi anak dari orang lain.
Beberapa pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat,bahkan hubungan tersebut bisa di sebut dengan hubungan lahir batin.Adanya hubungan ikatan darah menunjukkan kuatnya hubungan yang dimaksud. Hubungan antara keluarga tidak saja berlangsung selama mereka masih hidup tetapi setelah mereka meninggal dunia pun masing-masing individu. Individu masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Horton dan Hurt memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu:
1.Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama
2.Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan.
3.Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak
4.Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak
5.Para anggota suatu komunitas yangf biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga
B. Fungsi Keluarga
Setelah sebuah keluarga terbentuk ,anggota keluarga yang ada di dalamnya memilki tugas masing-masing.Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang di sebut fungsi.Jadi,fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan didalam atau di luar keluarga.
Fungsi keluarga terdiri dari:
a.Fungsi biologis
Fungsi ini berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri.Keluarga ialah lembaga pokok yang secara abash memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual.Kelangsungan sebuah keluarga,banyak di tentukan oleh keberhasilan dalam menjalani fungsi biologis ini.Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya,dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.
b.Fungsi Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak .Melalui fungsi ini keluarga berusaha mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku,sikap,keyakinan,cita-cita dan nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka.Sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak.

c.Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa di cinta.Kebutuhan kasih sayang merupakan kebutuhan yang sanga penting bagi seseorang yang diharapkan bisa di perankan oleh keluarga.Kecenderungan dewasa ini menunjukkan fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain,terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja diluar rumah.konskuensinya anak tidak lagi dekat secar psikologis karena anak akan menganggap orng tuanya tidak memilki perhatian.
d.Fungsi Edukatif
Keluarga merupakan guru pertama dalam mendidik manusia.Dalam hal itu dapat dilihat dari pertumbuhan seorang anak dimulai dari bayi,belajar jalan-jlan hingga mampu berjalan.Semuanya diajari oleh keluarga.
Tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak-anaknya sebagian besar atau bahkan mungkin seluruhnya telah diambil oleh lembaga pendidikan formal maupun non formal.Oleh karena itu,muncul fungsi laten pendidikan terhadap anak,yaitu melemahnya pengawasan dari orang tua.
e.Fungsi Religius
Dalam masyarakati Indonesia dewasa ini fungsi keluarga semakin berkembang,diantaranya fungsi keagamaan yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh aggotanya menjadi insane-insan agama yang penuh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Fungsi Religius dalam keluarga merupakan salah satu indicator keluarga sejahtera.
Model pendidikan agama dalam keluarga dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
1.Cara hidup yang sungguh-sungguh dengan menampilan penghayatan dan perilaku keagamaan dalam keluarga
2.Menampilkan aspek fisik berupa sarana ibadah dalam keluarga
 berupa hubungan social antara anggota keluarga dan lembaga-lembaga keagamaan.
Pendidikan agama dalam keluarga,tidak saja bisa dijalankan dalam keluarga,menawarkan pendidi kan agama,seperti pesantren,tempat pengajian,majelis taklim,dan sebagainya.
f.Fungsi Protektif
Keluarga merupakan tempat yang nyaman bagi para anggotanya.Fungsi ini bertujuan agar para anggota keluarga dapat terhindar dari hal-hal yang negativ.Dalam setiap masyarakat,keluarga memberikan perlindungan fisik,ekonoms,dan psikologis bagi seluruh anggotanya.Sebagian masyarakat memandang bahwa serangan terhadap salah seorang keluarga berarti serangan bagi seluruh keluarga dan semua anggota keluarga wajib membela atau membalaskan penghinaan itu.Namun demikian,Fungsi perlindungan dalam keluarga itu lambat laun bergeser dan sebagian telah diambil alih oleh lembaga lainnya seperti tempat perawatan anak,anak cacat tubuh dan mental,anak nakal,anak yatim piatu,orang-orang lanjut usia.
g.Fungsi Rekreatif
Fungsi ini bertujuan untuk memberikan suasana yang segar dan gembira dalam lingkungan.Fungsi Rekreatif dijalankan untuk mencari hiburan.Dewasa ini tempat-tempat hiburan banyak berkembang di luar rumah karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan pesatnya.Media TV termasuk dalam keluarga sebagai sarana hiburan bagi anggota keluarga.
h.Fungsi Ekonomis
Keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan pokok, seperti :
·         Kebutuhan akan makanan dan minuman
·         Pakaian untuk menutupi tubuhnya
·         Kebutuhan akan tempat tinggal.
Pada masa lau keluarga di Amerika berusaha memproduksi beberapa unit kebutuhan rumah tangga dan menjualnya sendiri.Keperluan rumah tangga itu,seperti seni membuat kursi,makanan dan pakaian di kerajakan sendiri ayah,ibu,anak,dan sanak saudara yang lain untuk menjalankan fungsi ekonominya sehingga mereka mampu mempertahankan hidupnya.
Seiring dengan perubahan waktu dan pertumbuhan perusahaan serta mesin-mesin canggih,peran keluarga yang dulu sebagai lembaga ekonomi secara perlahan-lahan hilang.Bahkan keluarga yang ada pada mulanya disatukan dengan pekerjaan yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam rumah tangganya.Kini,keluarga merupakan suatu kesatuan konsumsi ekonomis yang di persatukan oleh persahabatan.
i.Fungsi Penentuan Status
Dalam sebuah keluarga,seseorang menerima serangkaian status berdasarkan umur,urutan kelahiran,dan sbagainya.Status/kedudukan ialah suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok atau posisi kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya.Status tidak dapat di pisahkan dari peran.Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seorang yang mempunyai status.Status dan peran terdiri atas dua macam yaitu status dan peran yang ditentukan oleh masyarakat dan status dan peran yang diperjuangkan oleh usaha-usaha manusia.Misalnya wanita adalah status yang ditentukan (ascribed),seseorang mencapai status melalui tahapan tersendiri yang di usahakan (achieved).
C.Bentuk-bentuk Keluarga
Bentuk-bentuk keluarga sangatlah berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya.
1.Bentuk keluarga di lihat dari jumlah anggota keluarga:
a.Keluarga Batih(Nuclear family)
Keluarga Batih adalah kelompok orang yang terdiri dari ayah,ibu,dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri.Keluarga ini bisa juga disebut keluarga conjugal(conjugal family),yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya.Keluarga Batih(keluarga inti)terdapat pada masyarakat praindustri.Meskipun keluarga lain tidak lepas dari perhatian tekanan pada hubungan antar keluarga rumah tangga tempat dia tinggal.Pola keluarganya berupa pada keluarga inti ialah tempat tinggal yang sama dengan jumlah anggota terbatas.
b.Keluarga Luas(Extended family)
Keluarga luas yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yangsama termasuk keturunan masing-masing istri dan suami.Dengan kata lain keluarga luas ialah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memilki hubungan erat dan senantiasa di pertahankan.Sebutan keluarga yang diperluas digunakan bagi suatu system yang masyarakatnya mengiginkan beberapa generasi yang hidup dalam suatu atap rumah tangga.
Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memilki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut.Keuntungan keluarga luas yaitu pertama:keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah industry.Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa,yang dapat memberikan pelayanan social bagi  anggota-anggotanya.Kedua,keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar.
2.Bentuk Keluarga dilihat dari Sistem yang digunakan:
a.Keluarga Pangkal(Steam Family)
Keluarga Pangkal yaitu sejenis keluarga yang menggunakan system pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua.Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feudal.Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang.Pada mas tersebut seorang anak yang paling tua bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai ia menikah,begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lainnya.Dengan demikian,pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang.
b.Keluarga Gabungan (Joint family)
Keluarga Gabungan yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga antara lain saudara laki-laki pada setiap generasi.Disini tekananya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga.Kendatipun antarsaudara laki-laki itu tinggal terpisah mereka menganggap dirinya sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama termasuk membuat anggran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja.Disini terlihat bahwa keluarga gabungan didasarkan atas hubungan antara laki-laki yang telah dewasa dan bukan padahubungan suami istri.
3.Bentuk Keluarga dilihat dari status individu dalam keluarga:
a.Keluarga Prokreasi dan Keluarga Orientasi
Keluarga Prokreasi adalah sebuah keluarga yang individunya merupakan orang tua.Adapun orientasi adalah keluarga yang individunya merupakan salah seorang keturunan.Ikatan perkinan ini tidak dengan sendirinya  perkawinan merupakan dasar bagi terbentuknya suatu keluarga baru(keluarga prokreasi) sebagai unit terkecil dalam masyarakat.Namun demikian,perkawinan ini tidak dengan sendirinya menjadi sarana bagi penerimaan anggota dalam keluarga asal(orientasi).Hubungan suami dan istri dengan keluarga orientasinya sangat erat dan kuat.Otonomi dalam mengatur keluarga kadang-kadang berbenturan dengan kepentingan keluarga orientasi bahkan dalam batas-batas tertentu,keluarga orientasi bisa ikut campur dalam mengatur rumah tangga yang mengakibatkan putus ikatan perkawinan
D.Keluarga sebagai inti masyarakat
Keluarga sebagai inti masyarakat dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1.Dari urgensi keluarga itu sendiri di tengah-tengah masyarakat.Pada bagian ini keluarga di temapatkan sebagai lembaga social yang sangat penting dibandingkan dengan lembaga lainnya.Penjelasannya mengarah pada argument-argumen yang menempatkan keluarga sebagai lembaga yang tiada bandingannya.
2.Dapat juga di jelaskan melalui sejarah keluarga.Pada bagian ini peran keluarga di tengah-tengah masyarakat memiliki kontribusi penting bagi terbentuknya lembaga-lembaga social pada umumnya.
Keluarga merupakan kelompok social pertama dalam kehidupan social.Didalam kelompok primer ini terbentuklah norma-norma social berupa frame of reference  dan sense of belonging.Didalam keluarga manusia pertama kali memperhatikan keinginan orang lain,belajar sama dan belajar membantu orang lain.
Para sosiolog keluarga meyakini,meskipun perubahan besar terjadi pada setiap lapisan masyarakat,keluarga mendapat tugas penting untuk ikut ambil bagian di dalamnya.Bahkan,keluarga menjadi sumber kepuasan emosional yang terbesar.Secara historis,peran keluarga di tengah-tengah masyarakat jauh lebih penting daripada lembaga social lainnya.
Kelompok sebagai Kelompok Primer
Keluarga merupakan kelompok primer dalam masyarakat.Kelompok primer adalah suatu kelompok yang menyebabkan dapat mengenal orang lain sebagai suatu pribadi secara akrab.Hal tersebut dilakukan melalui suatu hubungan social yang bersifat informal,akrab,personal,dan total yang mencakup banyak aspek dari pengalaman hidup seseorang.
Kelompok primer dipandang penting karena perasaan dan perilaku yang dijalankannya memiliki arti tersendiri. Dalam kelompok primer, seseorang mengemukakan keakraban, simpati dan rasa kebersamaan yang menyenangkan.
E. Keluarga Sebagai Lembaga Sosial
Konsep sosiologis mengenai lembaga berbeda dengan konsep yang umum digunakan. Sebuah lembaga bukanlah sebuah bangunan sekelompok orang dan bukan juga sebuah organisasi. Lembaga (institution) adalah suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting.
Dalam masyarakat yang paling sederhana, keluarga adalah lembaga social satu-satunya. Pekerjaan diatur oleh unit-unit keluarga, sedangkan anak-anak dididik oleh anggota keluarga. Dalam masyarakat seperti ini, tidak dibutuhkan struktur lain diluar keluarga.
Suatu lembaga tidak lagi memiliki anggota, melainkan pengikut. Perbedaan anggota dan pengikut sangatlahh tipis, misalnya lembaga perbankan adalah prosedur yang dibekukan untuk mengelola transaksi keuntungan tertentu. Bankir adalah orang yang memimpin transaksi tersebut. Bank adalah sekelompok bankir yang terorganisasi. Pendidikan adalah lembaga yang berupaya mengatur mekanisme pendidikan. Dalam bentuknya yang kongkrit pendidikan berwujud sebagai universitas, sekolah dasar dan sebagainya.
Proses terjadinya suatu lembaga sangatlah panjang. Mula-mula orang mencari cara praktis dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam pemenuhan kebutuhan itu, dibuatlah norma dan aturan. Dalam terbentuknya aturan bisa tertulis atau tidak tertulis. Aturan itu ada yang mengikat para anggota masyarakat dan ada yang tidak. Kekuatan sebuah aturan dapat diketahui dari acaranya (usage) masyarakat memperlakukannya, kebiasaan (folkways) dan adai istiadat (custom). Bila sudah dilakukan oleh masyarakat, norma tersebut telah melembaga.
Norma yang telah melembaga itu pada akhirnya tumbuh dan berkembang dimasyarakat kemudian membentuk intitusi atau pranata. Terbentuknya pranata dalam sebuah masyarakat, pada dasarnya mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk memberikan pedoman pada anggota masyarakat untuk bertindak, menjaga keutuhan masyarakat, dan mengadakan system pengendalian social (social control)
Akhirnya,muncullah lembaga keluarga dalam masyarakat sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan seksual, perlindungan, kasih sayang dsb. Lembaga keluarga ini kemudian memberikan pengaturan tertentu yang dapat diikuti manusia.















BAB. IV. MASALAH-MASALAH KELUARGA DEWASA INI



A. Pengantar
Tidak ada satu perbuatan ‘menyimpang’ yang menimbulkan masalah dapat berdiri sendiri. Suatu perbuatan yang disebut ‘menyimpang’ atau ‘bermasalah’ bilamana perbuatan tersebut dinyatakan ‘menyimpang’. Becker (1963) mejelaskan bahwa ‘penyimpangan’ bukanlah kualitas dari suatu tindakan yang dilakukan orang lain, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan ataupun norma dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan itu.
Dengan demikian, maka penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dan hal ini, tentunya menimbulkan berbagai masalah. Misalnya, kekacauan keluarga yang dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit kesatuan sosial terkecil (keluarga), terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya (cfr. William J. Goode, Family Disorganization, in Robert K. Merton and Robert A. Nisbet (eds), Contemporary Social Problems (New York: Hartcourt, Brace & World, 1961: 370).
Perihal mengenai masalah ini akan dibahas pada bagian berikut ini.
B. Disorganisasi Dan Disharmonisasi Keluarga
Disorganisasi suatu keluarga berkaitan erat dengan disharmonisasi dalam suatu keluarga, yang berada dalam suatu masyarakat secara keseluruhan. ‘Kasus Keluarga’ diawali dengan pasangan suami istri yang menjalankan ‘bahtera perkawinan’ yang mengharapkan kebahagiaan selamanya tidak terwujud. Apakah yang menjadi sumber hambatan bagi suatu keluarga, sehingga pasangan suami istri tidak hidup dalam suatu situasi yang membahagiakan? Jawaban atas pertanyaan ini akan ditelusuri pada beberapa hal tersebut.
1. Ikatan Perkawinan Dipermasalahkan
Keluar-biasaan dari tata peneguhan suatu pernikahan lebih bersifat liturgis dan sosial daripada yuridis, artinya orang yang melangsungkan ‘perkawinan rahasia’, biasa menikah menurut ‘forma canonica ordinaria’ yakni di hadapan imam/diakon/ awam yang diangkat, akan tetapi umat atau masyarakat setempat tidak mengetahui telah berlangsungnya suatu pernikahan/perkawinan.
Perkawinan tersebut dapat disebut sebagai ‘matrimoniumn conscientiae’, memberikan petunjuk tentang pertanyaan: (a) siapakah yang boleh memberikan ijin untuk menikah secara rahasia; (b) apa sebabnya boleh memberikan ijin atas pernikahan tersebut (atas alasan yang sangat mendesak dan berat); (c) unsur-unsur manakah yang terkandung dalam ijin ini: *sebelum pelangsungan nikah (pemeriksaan dijalankan secara rahasia), *sementara pelangsungan nikah (hanya hadir dua mempelai, peneguh nikah dan dua saksi), *sesudah peneguhan nikah (rahasia disimpan oleh mereka semua termasuk pula pemberi ijin nikah); (d) berapa lama pemberi ijin nikah terikat oleh rahasia itu (sampai muncul bahaya batu sandungan berat/ketidak adilan terhadap kesucian perkawinan.
Halangan nikah berlaku beberapa dalil sebagai berikut:
(a) Halangan dari hukum Ilahi senantiasa berlaku, jadi seorang calon mempelai tidak bisa memberikan kepada dirinya sendiri dispensasi (epikeia) dari halangan ini, yakni :
§ mempelai terlalu muda untuk kawin,
§ impotensia untuk bersetubuh,
§ ikatan nikah dengan seorang partner lain,
§ hubungan darah dekat (orang tua dengan kakak, adik, nenek dan cucunya, dan lain sebagainya).
(b) halangan dari hukum agama, dsb.
Jadi, dengan kata lain, ikatan perkawinan tidaklah dipersoalkan ataupun dipertentangkan, maka haruslah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
§ habilitas, yaitu luput dari larangan moral maupun larangan yuridis.
§ consensus yang cukup pada kedua belah pihak agar valid.
§ adakalanya perlu forma debita agar valida.
§ keadaan rahmat, agar terjadi convalidatio licita.
Sebab-musabab yang ikut mempengaruhi suatu pernikahan dapat dipermasalahkan, bersumber pada tiga hal (invaliditas nikah) :
a. Defectus habilitatis, yaitu kekurangan dalam kemampuan yuridis untuk
menikah.
b. Defectus consensus, yaitu kekurangan pada kesepakatan nikah.
§ Tidak ada pengetahuan minimal tentang kodrat nikah.
§ Kekeliruan mengenai diri orangnya.
§ Kekeliruan mengenai sifat yang menjadi tujuan langsung dan utama dan sangat mengacau persekutuan nikah karena tipuan.
§ Kekeliruan mengenai sifat hakiki nikah, error mana yang menentukan kemauan.
§ Kekeliruan mengenai ketidaksahnya perlangsungan nikah jika mempengaruhi kemauan.
c. Defectus formae debitae, yaitu kekurangan dalam formalita pelangsungan nikah, yaitu:
§ satu atau kedua mempelai atau wakilnya tidak hadir.
§ mereka hadir namun kesepakatan nikah tidak dinyatakan.
§ mempelai tidak diwakili, tanpa mandat yang sah.
§ tidak ada pengaruh peneguh ex officio atau ex delegationae, dan sebagainya.
2. Unsur-unsur Hakiki Perkawinan Ditolak.
Bisa jadi, orang mau menikah namun mengesampingkan salah satu unsur positif atau yang fundamental tentang perkawinan, yang antara lain disebutkan berikut ini:
a) Dalam setiap persetubuhan/kontak genital ditolak. Disini dapat dijelaskan bahwa orang yang bisa saja mau menikah atau kawin agar ada teman yang dianggap sebagai pelindung, atau sebagai pengurus rumah tangga, namun semenjak permulaan menolak untuk bersetubuh, bahkan pada saat nikah dilangsungkan hak atas persetubuhan tidak diserahkan, dan atau tidak diterima. Sikap ini muncul dari suatu pandangan rendah dari seksualis uang mungkin dianggapnya sebagai ‘najis’, bisa juga muncul dari suatu kekurangan psikis dan fisik normal dalam kematangan affektif, dan sebagainya. Bisa jadi, orang menderita trauma karena suatu pengalaman pahit yang pernah dialaminya, sehingga setiap kontak badani selalu dibenci.
b)Keterarahan persetubuhan kepada bonum prolis sama sekali ditolak. Sering dilihat bahwa seseorang suka akan persetubuhan atau pergaulan seksual, namun sama sekali menolak untuk hamil atau melahirkan anak. Oleh karena itu, copula hanya mau dibuat secara antikonsepsional.
c) Keterarahan persetubuhan menuju pembinaan anak ditolak. Penolakan semacam ini jarang akan muncul. Memang agak sulit bisa kita bayangkan bahwa pada saat peneguhan perkawinan seseorang mempelai akan menyatakan bahwa ia sungguh mau menikah, mau bersetubuh pula, mau melahirkan anak pula, akan tetapi menolak mendidik anaknya itu.
d) Kebersamaan nikah ditolak pada saat nikah dilangsungkan. Statement ini sangatlah baru dan agak kabur bobotnya. Kendatipun demikian, kekaburan itu rupanya sudah agak pasti bahwa jika ada orang yang mau manikah, namun hanya bermaksud bersetubuh pada waktu-waktu tertentu tetapi sama sekali tidak mau membentuk suatu rumah tangga atau membentuk suatu unit sosial/psikhologis/ekonomis tertentu dengan partner seksualnya.
3. Ketegangan-ketegangan Dalam Keluarga
Hal-hal yang menimbulkan suatu ketegangan dalam keluarga, selain keluarga, selain perkawinan yang dipermasalahkan adalah bahwa perihal tersebut bisa saja menciptaka konflik antara suami dan istri, yang sekaligus mengancam stabilitas perkawinan. Ketegangan-ketegangan dalam keluarga merupakan suatu ‘variasi’ dalam keluarga bersama sebagai suatu unit terkecil yaitu keluarga. Misalnya, ketegangan antara anak dan orang tuanya, antara mertuanya dan anak mertuanya, yang kadangkala terbawa pada suatu kelompok kerabat yang lebih luas, dan selain itu pula ketegangan yang muncul karena hadirnya ‘orang ketiga’ (hugel) diantara pasangan suami-istri.
Ketegangan-ketegangan keluarga ini merupakan suatu kenyataan, karena pengaruh perkembangan atau bergesernya struktur sosio-ekonomi dalam keluarga itu sendiri. Misalnya perkembangan industri, meningkatnya sekularisasi, pertumbuhan urbanisasi ataupun mobilitas sosial, dan sebagainya. Faktor-faktor ini dapat mendorong ‘instabilitas’ keluarga yang langsung membuyarkan ‘harmonisasi’ yang dijalin dalam suatu keluarga. Pengaruh kumulatif ini merupakan suatu bagian dari keadaan yang dapat menjadi amat berat lagi bagi suatu pihak atau keluarga, dan menjadi ambang hancurnya sebuah keutuhan rumah tangga.
Ketegangan-ketegangan yang muncul itu juga di karenakan kedua pasangan suami-istri gagal saling memberi dan menerima diri apa adanya. Mencari cinta dan kasih sayang yang mendasar dalam hidup bersama mengalami situasi kelabu dalam berbagai segi ataupun aspek kehidupan keluarga (nuclear family) maupun (extended family). Di antaranya, yang sangat mendasar adalah kebutuhan biologis (seksual) yang tidak kesampaian diakibakan karena proses penyerahan diri tidak secara utuh.
Selain itu, ketegangan-ketegangan dalam kategori ekonomi, artinya sang suami mungkin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan lahiriah dari sang istri dan anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan lahiriah ini jika tidak dapat dipenuhui maka seringkali menimbulkan pula ketegangan-ketegangan baru. Misalnya seorang istri jika tidak merasa ‘at home’ pada suaminya maka ia mencari jalan ‘konformitas’ baru diluar keluarganya. Dengan kata lain, ia lari mencari pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya pada aktivitas-aktivitas lainya, termasuk ke ‘entertainment’ yang dapat memberikan kepenuhan dan kepuasan sosial-ekonomi bagi dirinya ataupun keluarga, anaknya. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi maka akan mengancam stabilitas keutuhan keluarga.
Untuk itu pada dewasa ini istri yang bekerja (sebagai salah satu fenomena karier ganda) merupakan kenyataan yang telah diterima oleh kalangan masyarakat luas. Kebanyakan wanita (kelas menengah) yang bekerja saat ini masih belum mengaggap pekerjaannya sebagai suatu karier. Mereka beranggapan hanya sebagai pemenuhan atau penopang kehidupan ekonomi keluarga, bila suaminya tidak bekerja atau berpenghasilan kecil. Hal ini sudah barang tentu memberikan kesan sang suami tidaklah dapat diandalkan, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan keutuhan keluarga.
Masalah-masalah dalam keluarga, pasangan suami-istri sangatlah kompleks yang berhubungan dengan seluruh rangkaian kebutuhan baik pribadi, sosial maupun ekonomi, sehingga tidaklah mengherankan apabila stabilitas, harmonisasi keluarga seringkali terganggu, yang apabila tidak dapat diselesaikan secara rasional, maka bukan tidak mungkin akibatnya fatal yaitu malapetaka perceraian.
C. Perceraian
Banyak orang yang berpikir bahwa disorganisasi dan disharmonisasi keluarga dalam bentuk-bentuk manifestasi seperti perpisahan, penyelewengan, perceraian, kegagalan untuk membantu kehidupan dan kekerasan fisik. Banyak pasangan suami istri yang tidak harmonis segan untuk bercerai karena demi anak-anaknya atau karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti harta, jabatan, kehormatan, gengsi dan lain sebagainya. Namun kemungkinan meningkatnya perceraian selalu ada, walaupun berbeda nilai budaya dan pandangan terhadap masalah perceraian.
Industrialisasi seringkali dikaitkan dengan peningkatan perceraian. Wanita yang semakin tinggi pendidikannya dan bekerja diluar rumah, memiliki keberanian untuk menuntut haknya bahkan berani mengajukan perceraian bila terjadi ketidak harmonisan dalam keluarga. Pada masa lampau ketergantungan pada suami dibidang ekonomi membuat wanita pasrah. Kepasrahan ini telah membudaya sehingga wanita menekan perasaannya untuk memberontak, menentang. Rasa malu untuk bercerai agak berkurang karena mobilitas spasial menjadi lebih mudah, sehingga orang tidak terkungkung dalam lingkungan sosial setempat seumur hidupnya.
Seatherstone mengatakan (1979) bahwa meningkatnya perceraian tidak dapat dipandang sebagai indikator kemerosotan/kegagalan lembaga keluarga dalam mempertahankan eksistensinya, akan tetapi sekedar krisis dari daya tahan keluarga. Suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka perceraian meningkat, tetapi sebagian besar orang yang bercerai segera menikah lagi. Kenyataan ini membuktikan bahwa bukan kehidupan berkeluarga yang tidak disukai melainkan pasangan terdahulu.
Perceraian merupakan kecemasan yang paling menyakitkan bagi setiap anggota keluarga yang mengalaminya. Perceraian berkembang dengan sangat pesat, semakin umum orang menerimanya dan tidak lagi dianggap sebagai tabuh atau aib, karena semakin banyak orang tua, saudara atau kerabat, sahabat dan orang lain yang bercerai.
Ketidak-bahagiaan dalam perkawinan (keluarga) mungkin atau tidak mungkin telah berkembang, akan tetapi kesediaan untuk bercerai sebagai jalan keluar dari ketidak harmonisan/ketidaksesuaian semakin banyak orang yang memilihnya. Sebagai contoh dari hasil penelitian Glick dan Norton, 1979 menunjukkan bahwa kira-kira 38 % perkawinan pertama bagi wanita yang sekarang berusia 25 sampai 29 tahun berakhir dengan perceraian, 75 % dari wanita yang bercerai menikah lagi, dan 45 % dari yang menikah lagi, kemudian bercerai.
Perceraian sulit untuk diatasi karena berhubungan dengan kesadaran moral orang mengenai kesesuaian masing-masing pasangan, kebebasan untuk menentukan sikap, dan mengambil keputusan, walaupun secara keagamaan dianggap tidak mungkin, namun manusia punya kehendak bebas untuk merealisasikan keputusannya untuk bercerai.
Upaya untuk meminimalisasikan keinginan pasangan untuk bercerai, baik oleh kalangan akademis maupun agama dan pemerintah cukup maksimal, hal itu nampak dari keinginan masyarakat untuk (1) tidak menekan cinta; perkawinan merupakan kesatuan kerja, bukan petualangan cinta romantis. Jika tidak banyak yang diharapkan dari perkawinan, biasanya lebih banyak perkawinan akan berhasil, (2) memisahkan cinta dari perkawinan; sejumlah masyarakat khususnya di masyarakat-masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sekularitas mempunyai serangkaian klub persahabatan kaum pria dan mengijinkan pria bebas berpetualangan seksual, (3) Masyarakat dapat mensosialisasikan para anggotanya untuk memiliki kepribadian dan harapan yang stabil serta terintegrasi dengan baik sehingga bukan tidak mungkin perkawinan dapat berhasil mencapai penyetaraan, (4) Keluargaisme yang kuat pengaruhnya sehingga perceraian tidak dapat diterima yaitu dengan sebanyak mungkin kepentingan, hak istimewa dan kepuasan seseorang dikaitkan dengan pertalian perkawinan/keluarga, sehingga peluang atau upaya untuk memutuskan ikatan perkawinan akan berarti membatalkan hampir seluruh tuntutan dan hak istimewa yang membuat realita kehidupan perkawinan dapat diterima, (5) melarang perceraian secara hukum atau aturan hukumnya dibuat sangat sulit sehingga pasangan perkawinan yang kemudian tidak bahagia/tidak harmonis, enggan melihat perceraian sebagai suatu jalan keluar◙.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1) A.M. Rose., Sociology; Alfred A. Knopf, New York, 1967.
2) Cooley H. Charles., Social Organization; New York : Charles Scribner’s Sons, 1909.
3) E.S. Bogardus., Sociology; The Mac Millan Company, New York, 1954.
4) Ernest W. Burgess and Harvey J. Locke., The Family From Institution To Companionship; American Book Company, New York, Second Edition, 1960.
5) F.E. Merrill., Society and Culture; Prentice Hall, Inc, New Jersey, 1965.
6) Field David., Kepribadian Keluarga; Kanisius, Yokyakarta, 1992.
7) Horton B. Paul dan Chester L. Hunt., Sosiologi, Jilid I, Ed. 6, Erlangga, 1987.
8) Indra S., Faktor-faktor Penting Dalam Kehidupan Keluarga Bahagia; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1980.
9) J. Van Paassen., Hukum Nikah Kanonik; STF. Seminari Pineleng, 1983.
10) Khairuddin H., Sosiologi Keluarga; Nur Cahaya, Cetakan I, 1985.
11) Mabe A. Elliot and Prancis E. Merrill; Social Disorganization; Harper & Brothers, Publishers, New York, 1961.
12) Olmsted Michael S.., The Small Group; New York, Random House, 1962
13) R.J. Havighurst and B.L. Neugarten., Society and Education; Allyn and Bacon,Inc., Boston, 1964.
14) R.M. Mac Iver and Charles H. Page., Sosiety an Introductory Analysis; Mac Millan & Co, Ltd, London, 1952.
15) R.S. Lazarus., Adjustment and Personality; Mc. Graw-Hill Book Co, Inc, New York, 1961.
16) Robert Biersted., The Science Of Sociology, 1957., dalam Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi., Setangkai Bunga Sosiologi; Yayasan Badan Penerbit FE-UI, Jakarta, 1964.
17) Soleman B. Taneko., Struktur Dan Proses Sosial; CV. Rajawali, Jakarta, Cet.II, 1990.
18) Soerjono Soekanto., Sosiologi Keluarga; Rineka Cipta, Jakarta,1990.
19) Sanderson Stephen K., Sosiologi Makro; Edisi II, Cet. I, Rajawali Pers, Jakarta 1993.
20) Thomas Ford Hoult., Dictionary Of Modern Sociology; Little Field, Adams & Co., New Jersey, 1974.
21) Veeger K.J., Sosiologi Perkawinan Dan Keluarga; Stisipol Merdeka, Manado, 1983.
22) Vembriarto S.T., Sosiologi Pendidikan; Yayasan Pendidikan Paramita, Yokyakarta, 1987.
23) William J. Goode., Sosiologi Keluarga; Bina Aksara, Jakarta, 1983.
24) Wirotomo Paulus., Sosialisasi Dalam Keluarga Indonesia; Fisip UI, Jakarta, 1994.