Link Sukses

Banner 728x90 :

Sunday 13 September 2015

Budaya Jawa dan Filsafat Jawa


Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1979:193).  Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 1979:195).  Kusumohamidjojo (2009:149) memaknai kebudayaan dalam arti culture sebagai keseluruhan proses dialektik yang lahir dari kompleks perifikir, perijiwa, dan perinurani yang diwujudkan sebagai kompleks perilaku dan karya manusia dalam bentuk materialisasi (things), sebagai gagasan (ideas) yang diadaptasi, diterapkan, distandarisasikan, di-kembangkan, diteruskan melalui proses belajar, dan diadaptasikan dalam kehidupan bersama.
Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara dimaknai sebagai berikut.
Kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, sedangkan budaya berasal dari perkataan budi yang dengan singkat boleh diartikan sebagai jiwa manusia yang telah masak. Budaya atau kebudayaan tidak lain artinya dari buah budi manusia. Di dalam bahasa asing kebudayaan itu dinamakan kultur dan diartikan pula sebagai buah budi manusia. Perkataan kultur itu berasal dari cultura dari bahasa Latin, perubahan dari colere yang berarti memelihara, memajukan serta memuja-muja. Perkataan kultur itu biasanya terpakai berhubungan dengan pemeliharaan hidup tumbuh-tumbuhan, pun juga berhubung dengan pemeliharaan hidup manausia (kebudayaan Jawa).
Yang perlu diutamakan dalam segala soal kebudayaan atau kultur yaitu, bahwa di dalamnya tidak saja terkandung arti buah budi, tetapi juga arti memelihara dan memajukan. Dari sifat kodrati ke arah sifat kebudayaan. Itulah tujuan dari segala usaha kultural. Acapkali suatu bangsa itu hanya mementingkan sifat keindahan atau kemegahan yang terdapat pada suatu benda kebudayaan hingga lupa akan hubungan kebudayaan dengan masyarakat yang hidup pada suatu zaman (Majelis Luhur Tamansiswa, 2011:72).
Peursen terjemahan Dick Hartoko (1988: 10-11) memaknai kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah- tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup dari seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya, dan justu itulah yang kita namakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat menusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, bala pecah, pakaian, cara-cara untuk menghiasi rumah dan badannya. Itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan bangsa-bangsa alam itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik dari ladang, maupun dari wanita), erotik, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi menurut macam-macam kotak. Jadi, menurut pandangan ini ruang lingkup kebudayaan sangat diperluas.
Sutrisno (2008:6-8), dengan bertitik tolak dari pengertian kebudayaan menurut Peursen, menyatakan bahwa kebudayaan dewasa ini difahami sebagai kegiatan produktif dan bukan produksinya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang beku dan jadi, melainkan sesuatu yang senantiasa dalam proses perubahan. Manusia dewasa ini memahami dirinya sebagai suatu proses. Kehidupan sosial politik tidak dapat dianggap sekali jadi dan serba lengkap, melainkan berada dalam proses semakin memungkinkan hidup yang lebih manusiawi. Penemuan-penemuan teknologi dan ilmiah semakin memungkinkan manusia untuk hidup bebas di alam. Konsep dinamis kebudayaan dimaknai sebagai kebudayaan yang lebih dapat difahami dengan tepat. Kebudayaan dalam konteks Indonesia, kebudayaan tidak semata-mata dipandang sebagai warisan leluhur, tetapi juga sesuatu yang sedang diciptakan sekarang ini lewat pembangunan nasional. Kebudayaan bukan hanya kenyataan masa lampau yang dibanggakan, melainkan juga keharusan masa depan yang disusun dalam sebuah strategi kebudayaan.
Peursen yang diterjemahan oleh Dick Hartoko (1988:18), kebudayaan itu tergambar dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap mitis, (2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsional. Tahap mitis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Tahap ontologis yaitu sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya. Ontologi berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuna yang sangat dipengaruhi oleh fifsafat dan pengetahuan. Tahap fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern, manusia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), manusia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis). Manusia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Dalam tahap fungsional nampak dengan jelas bahwa kebudayaan bukanlah semata-mata benda, melainkan sebuah kata kerja, yaitu sesuatu yang menggambarkan cara seorang manusia mengekspresikan diri dengan mencari relasi-relasi yang tepat terhadap dunia sekitarnya.
Koentjaraningrat (1979:200-201) menyatakan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan.
Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di kepala-kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai sebuah aktivitas dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling dalam kehidupan sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan yang disebut kebudayaan fisik adalah seluruh total dari hasil fisik aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Unsur-unsur kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia, terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (2) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian (Koentjaraningrat, 1979: 218). Pengertian, wujud, dan unsur kebudayaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diberlakukan juga dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa didasarkan atas peta kewilayahan yang meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa, dengan pusat kebudayaan wilayah bekas kerajaaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2007: 329).
Wujud dan unsur kebudayaan dapat dilihat dalam kekhasan budaya Jawa. Kamajaya (2007:84­85) menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pangejawantahan budi manusia Jawa, yang merangkum kemauan, cita-cita, ide, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan lahir batin. Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prahistori. Datangnya bangsa Hindu-Jawa dan dengan masuknya agama Islam dengan kebudayaannya, maka kebudayaan Jawa menjadi filsafat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam. Arif (2010:35) mengatakan filsafat menempatkan kebudayaan pada aras metafisis yang merujuk pada penempatan nilai sebagai aspek formal intrinsik.
Ciptoprawiro (1986: 11) berdasarkan definisi bahwa “filsafat diartikan suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar”, apa yang ada dalam banyak perenungan di Jawa yaitu suatu usaha untuk mengartikan hidup dengan segala pangejawantahannya, mansia dengan tujuan akhirnya, hubungan yang nampak dengan yang gaib, yang silih berganti dengan yang abadi, tempat manusia dalam alam semesta, adalah merupakan pemikiran filsafat. Memang dalam penelitian kesusasteraan Jawa belum jauh benar, namun sudah cukup jauh untuk menjadi dasar sebagai filsafat Jawa. Malahan tidak perlu mencari terlalu jauh dalam kesusasteraan Jawa untuk mendapatkan pemikiran filsafat Jawa, tetapi apa yang telah hidup di Jawa, tidak hanya yang hidup di kalangan para pengembang kebudayaan, melainkan di kalangan rakyat biasa, sudah cukup untuk meyakinkan tentang kecintaan mereka terhadap renungan filsafat. Ketenaran tokoh Wrekudara dalam mecari air hidup untuk memperoleh wirid ilmu sejati, merupakan suatu petunjuk betapa usaha ke arah pemikiran filsafat Jawa telah berakar dalam kehidupan orang Jawa.
Ciptoprawiro (1986:12) menyatakan terdapat perbedaan yang dalam antara sistem-sistem filsafat Barat dengan ungkapan-ungkapan renungan-renungan filsafat Jawa yang sering bersifat fragmentaris dan kurang nampak adanya hubungan yang jelas. Perbedaan utama antara filsafat Barat dan filsafat Timur, dalam filsafat Timur bukan menciptakan filsafat untuk filsafat itu sendiri. Pengetahuan senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, suatu langkah ke jalan menuju kelepasan atau bahkan mencapainya, satu-satunya jalan bagi manusia untuk sampai kepada tujuan akhirnya.  Dalam filsafat Barat, tidak didapatkan pertentangan antara filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan. Justru didapatkan dalam filsafat Timur bahwa kearifan tertinggi, yang merupakan puncak filsafat adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang yang Mutlak dan hubungannya dengan manusia. Rumusan filsafat Barat (Yunani) bahwa perkataan filsafat berasal dati bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta kearifan (the love of wisdom), sedangkan filsafat Jawa, pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, dapatlah dirumuskan bahwa di Jawa, filsafat berarti cinta kesempurnaan (the love of perfection). Dalam bahasa Jawa, filsafat Jawa adalah ngudi kasampurnan (berusaha mencari kesempurnaan), sedangkan filsafat Barat adalah ngudi kawicaksanan (mencari kebijaksanaan).
Untuk menjelaskan perbedaan antara pemikiran filsafat Barat dan filsafat Jawa, Ciptoprawiro (1986: 14-15) mempergunakan jembatan keledai yaitu abjad dan alfabet. Dalam abjad ABCD yang kini umum dipergunakan, abjad Jawa hanacaraka senantiasa menceritakan sebuah kisah, yaitu kisah Aji Saka yang menggambarkan kedua abdinya yang saling bertengkar, sama kesaktiannya, dan akhirnya menemui ajalnya. Penjelasan cerita sebagai berikut:
a.        Hanacaraka             :  ada utusan
b.        Datasawal               :   saling bertengkar
c.        Padhajayanya          :  sama kesakiannya
d.        Magabathanga        :  meninggal semua
Uraian tentang pemikiran filsafat, baik              dalam ngudi   kasampurnan maupun    dalam ngudi
kawicaksanan mempergunakan lima huruf pertama dalam    abjad Jawa, yaitu hanacaraka.
a.                                                                                                                                                                       Ha : hurip, urip = hidup. Suatu          sifat zat Yang Maha Esa.
b.                         Na : (1) hana = ada
-       Ada semesta = ontologi
-       Alam semestra = kosmologi (2) manungsa = manusia = antropologi filsafat
c. Caraka: (1) Utusan
(2)       Tulisan:
-       Ca: cipta = pikir = nalar—akal (thinking)
-       Ra: rasa = perasaan (feeling)
-       Ka: karsa = kehendak (willing)
Manusia adalah utusan Tuhan dan merupakan tulisannya dalam bentuk kodrat kemampuannya: Cipta Rasa Karsa. Hanacaraka merupakan suatu kesatuan, ada semesta, Yang Mutlak, Yang Esa, Tuhan dengan Alam Semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan, seperti rumusan Romo Zoetmulder kesatuan kosmos dan saling berhubungan semua di dalamya. Dalam filsafat Jawa dapat dinyatakan bahwa manusia itu selalu berada dalam hubunan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan dan Alam Semest serta menyadari kesatuannya. Maka, bagi filsafat
Jawa, manusia adalah: manusia--dalam--hubungan, demikian dalam mempergunakan kodrat kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa-karsa.
Berbeda dengan filsafat Barat, di mana cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya, sehingga terjadi jarak antara manusia dengan lingkungannya. Kebudayaan Barat mengidentifikasi aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Maka, dapatlah dikatakan bahwa filsafat Barat menggambarkan manusia sebagai: manusia—lepas—hubungan. Bilamana Socrates menyebut manusia sebagai animal rationale, filsafat Timur umumnya beranggapan bahwa di dalam diri mauia terdapat sifat-sifat illahi.
Filsafat Jawa menurut Kusbandriyo (2007:13) dalam tulisannya Pokok-pokok Filsafat Jawa, dimaknai sebagai filsafat yang menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berfikir dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam kaitan dengan Tuhan. Dimensi ini adalah karakteristik yang dominan dan tidak dapat dilepaskan dengan kecenderungan hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup, oleh karena itu intuisi memegang peranan penting. Filsafat Jawa, sebagaimana dikemukakan oleh Zoetmulder (dalam Kusbandriyo, 2007:13) mengandung pengetahuan filsafat yang senantiasa merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, sehingga dapat dirumuskan bahwa filsafat berarti cinta kesempurnaan. Berfilsafat dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu merupakan kesatuan, kebulatan. Oleh karen itu pada dasarnya tidak ada perbedaan bidang metafisika, epistemologi, maupun etika, yang masing- masing tidak dapat berdiri sendiri. Ketiga bidang itu merupakan segi yang tak terpisahkan dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan, karena filsafat Jawa tidak mempertanyakan apakah manusia, apakah Tuhan. Eksistensi manusia diasumsikan sebagai kenyataan, dari kenyataan itu dipertanyakan dari mana asalnya, ke mana ujuannya.
Ciptoprawiro (1986:15) menjelaskan di dalam filsafat Jawa dapat dinyatakan bahwa manusia itu selalu berada dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan dan alam semesta serta meyakini kesatuannya. Manusia menurut filsafat Jawa adalah: manusia-dalam-hubungan. Manusia dalam mempergunakan kodrat kemampuannya selalu diusahakan kesatuan cipta-rasa- karsa. Ciptoprawiro (1986:21) juga menegaskan bahwa berfilsafat dalam arti luas, di dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujua itu. Usaha tersebut merupakan suatu kesatuan, suatu kebualatan. Filsafat pada dasarnya tidak didapatkan pembedaan bidang metafisika— epistemologi--etika, yang masing-masing berdiri sendiri. Ketiga bidang ini hanya merupakan segi tak terpisahkan dalam kesatuan gerak usaha manusia menuju kesempurnaan.
Bakker (1992:59) menyatakan bahwa dalam filsafat Indonesia kejawen, Tuhan dan ciptaan itu ya sama, ya berbeda. Tuhan itu baik transenden dengan total (tan kena kinayangapa) dan imanen secara total (pamoring kawula Gusti). Susunan sifat-sifat manusia dan alam dikuasai klasifikasi, dengan dua ciri, pertama, segala bidang kenyataan digolongkan menjadi lima unsur asasi, empat yang padu dalam yang kelima (moncopat, kala mudheng, pancasuda). Prototipe adalah dunia bersudut empat dengan satu pusat (papat keblat, kalima pancer), menurut urutan selatan, barat, utara, timur, pusat, hari-hari digolongkan legi, paing, pon, wage, kliwon. Demikian juga terkait dengan warna-warna, dengan pohon-pohon, dengan sifat-sifat manusia, dan sebagainya. Kelima unsur di bidang yang satu masing-masing memiliki parner pada setiap bidang lain (kiblat angin, warna, dan sifat), dan di antara partner-partner dari bidang-bidang yang berbeda-beda itu terdapat kesatuan, bahkan identitas baku, sehingga mereka dapat ditukarkan satu sama lain (warna tertentu dengan pohon tertentu, atau dengan sifat tertentu). Partner-partner dalam setiap persahabatan harus selaras satu sama lain, mewujudkan kohesi dan harmoni. Kedua, antara manusia (buana kecil atau mikrokosmos) dan alam (buana besar atau makrokosmos) ada keselarasan progresif, tetapi bukanlah identitas. Tatanan abadi dipartisipasikan oleh manusia (homologi dan antropokosmis).
Filosofi Jawa tentang kesempurnaan hidup atau ngudi kasampurnan dan asal dan arahnya yang ada atau ngelmu sangkan paraning dumadi dapat dilihat dalam Serat Centhini yang tercermin melalui tokoh utama Seh Amongraga (Wibawa, 2013:52-56). Nilai filosofis kesempurnaan hidup antara lain ditunjukkan oleh Seh Amongraga saat berdiskusi dengan Ki Bayi Panurta. Serat Centhini jilid V, Seh Amongraga menjelaskan kepada Ki Bayi tentang ilmu jisim jriyah kariyah, yaitu ilmu yang ada dalam semuanya. Jisim itu ada di dalam oral. Segala makhluk hidup itu sesungguhnya tidak mempunyai kekuasaan, seperti sampah dalam lautan tidak mungkin berharap menyatu. Gusti tetaplah Gusti, hamba tetaplah hamba, tidak bisa saling berganti.
Manusia percaya bahwa Hyang Agung tanpa arah tanpa tempat, tanpa bau warna tanpa rasa. Tanpa tempat tetapi bertempat yang tidak diketahui. Itulah mukmin, berkumpulnya ada dan tiada. Seh Amongraga menjelaskan tentang “curiga manjing warangka” dan “warangka manjing curiga”. Itu adalah perlambang suksma masuk ke badan dan badan masuk ke suksma, itu adalah kesejatian shalat. Pada saat takbiratul ihram, di situlah menyatunya sukma ke badan dan badan ke sukma. Saat itulah menyatunya kehendak. Sebagai pintu masuk ke hati sanubari, dibuka dengan ikhram, mirat, munajad, tubadil, lestari maksudnya. Sukma ke badan. Dalam hal masuknya badan ke sukma, yaitu apabila sudah khusni dalam ikramnya shalat. Kusta daim ismu alim, lestari masuknya badan ke sukma. Sukma sudah bisa dikuasai oleh karena badan dapat memenuhi tuntutan sukma.
Cahaya malaikat adalah sinar penglihatan sejati. Malaikat itu gaib, meliputi segala rupa. Hanya segala yang dihendakai dari Hyang Agung yang bersifat bijaksana saja yang dihendaki. Cahaya malaikat itu hidayah sejati. Tanda-tanda nabi adalah pada zat yang mengeluarkan keramat. Tanda-tanda mukmin ialah pada afngal yang mengeluarkan mangunah yang meliputi tiga tingkat. Raja zaman nabi, mendapat anugerah Hyang Agung cahaya nurbuat, mulia dunia akhirat. Raja zaman wali diberi anugrah Hyang Widi berupa wahyu cahaya hidayat, diberikan rahmat pada akhir. Raja zaman mukminun diberi anugrah Hyang Wahyu lailatul qadri. Kemukminan pasti diberikan rahmat keduniaan (Marsono-V, 2005: 135-137).
Nilai kesempunaan hidup yang lain tercermin dalam wejangan Seh Amongraga tentang sepuluh pedoman hidup yang menjadi patokan dalam kehidupan. Pertama, syahadat dalam kaitan ini adalah rusaknya ilmu kebenaran karena tindakannya tidak sesuai dengan Nabi dan agama Rasullulah. Kedua, takyun yaitu menyatakan bahwa hal-hal yang baiklah yang mendapat perhatian khusus. Ketiga, sebab kematian adalah bahwa asal kematian yang akan mendatangi kita adalah akhir dari asal dan tujuan. Keempat adalah iman, yaitu hanya penerimaannya artinya penerimaan kekal, tidak ada kekhawatiran hati, hanya memusatkan diri kepasa Tuhan. Kelima adalah pana, yaitu bersyukur kepada tauhid yang berarti tekad yang teguh. Keenam adalah amal, yaitu keikhlasan. Ketujuh adalah niat, yaitu kemauan yang tiada henti-hentinya. Kedelapan adalah shalat karena Allah, artinya disertai dengan Lah ‘karena Allah’ ialah tanpa rasa susah, karena yang menyebabkan rusaknya shalat adalah kesusahan hati. Kesembilan adalah surga, yaitu mengikuti ajaran dengan penuh keyakinan, artinya syariat, dalil, hadis, dan ijmak.
Kesepuluh adalah neraka, yaitu tidak mengikuti rasul, artinya tidak menurut akhlak (Marsono- VII, 200: 84-85).
Ilmu kesempurnaan hidup dapat dilihat juga melalui wejangan Seh Amongraga kepada istrinya yang berlangsung pada masa empat puluh delapan hari empat puluh delapan malam. Wejangan dimulai dari apa yang diperlukan dalam hidup, yaitu ngelmu yang muktamad (dapat dipercaya). Ngelmu dan nafkah sama pentingnya. Seorang istri diwajibkan untuk melaksanakan ajaran agama dengan memenuhi tatanan agama, yaitu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Wejangan berikutnya adalah tentang membaca Alquran harus benar dalam ucapan; hakikat ilmu bahwa seseorang wajib ahli dalam ilmu; ajaran puji sejati yang dimaknai suci bersinar dalam kehendak sendiri; ajaran amal orang hidup ada empat, yaitu melaksanakan amal yang perlu, melaksanakan amal yang wajib yaitu memuji kepada Allah, beramal hakikat Iman, dan melakukan amal hidup yang sempurna dengan bersyukur kepada Tuhan dan tidak mempersekutukan Tuhan. Wejangan tatanan agama berupa syariat, tarekat, hakikat dan makrifat dinyatakan juga oleh Ciptoprawiro (1986:28) bahwa para wali pada zaman Demak lebih menekankan ke-Esa-an Tuhan dengan nama Allah. Zaman Demak ini juga didapatkan istilah manunggaling kawula Gusti berkat sifat demokratis Islam dan isi Sahadad, yang juga menyebut Muhammad sebagai hamba, abdi, atau kawula. Gerak kembali manusia kepada Allah digambarkan dalam empat tingkat, yaitu syariat berupa hukum menjalankan rukun Islam, tarikat merupakan jalan menuju Allah, hakikat merupakan kebenaran, dan makrifat merupakan pengetahuan dan manunggal.
Ilmu kesempurnaan hidup yang lain ditunjukkan oleh Seh Amongraga bahwa pelaksanaan ilmu Tuhan dalam hidup ada empat hal, yaitu syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat wirid. Syariat wirid dalam menyebut kalimat Lailaha ilallah mengikuti panjang keluarnya nafas.
Tidak ada Tuhan kecuali Allah yang menjadikan semuanya. Tarekat wirid adalah lafal ilallah, ilallah menurut nafas yang keluar masuk, bunyi makna hati, percaya kepada Tuhan. Makrifat wirid ialah lafal hu, hu, hu menurut nafas yang keluar dari hidung, dalam hati menyebut Tuhan itu abadi. Hakikat wirid adalah lafal Allah, lafal Allah mengikuti keluar masuk nafas, bunyi makna hati, percaya kepada Allah. Syariat wirid satariyah dalam shalat menutupi telinga, mata, dan hidung. Tarekat wirid isbandiyah dalam shalat menutup hidung, mata, dan mulut. Makrifat wirid yaitu jalallah, menutup mata, telinga, dan mulut dan hanya membuka hidung. Hakikat wirid barzah, shalat daim, menutup mulut, hidung, dan telinga. Selanjutnya Seh Amongraga menjelaskan tentang zat, sifat, asma, dan af al, serta wujud, ilmu, nur, dan suhud. Zat itu satu tidak mungkin mendua. Sifat tentang keindahannya yang tidak mungkin dibandingkan. Asma ialah abadi, sedangkan af al itu pasti. Wujud adalah adanya kita ini dan adanya Tuhan. Ilmu ialah ilmu yang sesungguhnya tahu tentang sifat Tuhan. Nur adalah hidup kita karena asma Allah. Suhud adalah kenyataan mati kita karena af al Allah. Dengan demikian, wujud kita adalah zat Allah, ilmu kita sifat Allah, nur kita asma Allah, dan suhud kita af al Allah. Orang yang diberi pahala adalah orang yang mengagungkan Tuhan, sedangkan orang yang disiksa adalah orang yang menganggap Tuhan tidak Maha Kuasa (Marsono-VI, 2005: 116-118).
Selanjutnya tentang hakikat ilmu bahwa dalam sasmita hidup, wajib ahli dalam ilmu. Sabda Tuhan yang sejati dan mulia, segala tingkah lakunya menambah dekat dengan Tuhan, seperti jiwa dalam tubuhnya, senantiasa melayani segala kehendak. Seyogyanya selalu ingat dan awas kepada Tuhan, memastikan yang belum, hati terlanjur seperti lorong, terlampau sangat senang melanggar larangan, tidak sayang hidupnya akan terlunta-lunta. Makna hidup yang dirasakan secara pribadi, adapun akhir kejadian disebut ilmu syariat sejati, yang merupakan nasihat utama. Tarikat sejati menimbang-nimbang perkataan para syuhada dan dalil hadis. Ilmu hakikat merupakan pendapat yang telah dianggap benar oleh agama Islam.. Selanjutnya Seh Amongraga mengajarkan Tambangraras agar dalam berbakti hendaknya sampai pada kesempurnaan tunggal. Bakti adalah niat kehendaknya, sebab tidak ada yang tampak kecuali keadaan diri sendiri sebab sejatinya kawula Gusti satu. Tubuh ibarat lampu kurung bersolek. Roh ilapi ibarat nyalanya, ilmu seperti asap. Zat mutlak panasnya (Marsono-VII, 2005: 14-16). Koesnoe (1996:55-60) dengan mengaitkan ngudi kasampurnan, menyatakan bahwa filsafat Jawa merupakan filsafat sangkan paraning dumadi (filsafat asal dan arahnya yang ada) atau yang juga dikenal dengan nama ajaran “Manunggaling Kawula Gustf. Filsafat sangkan paraning dumadi adalah suatu ajaran yang menunjukkan ulah daya hidup yang dinamakan sukma, yang bergerak menuju dan bersatu dalam daya hidup yang diberi nama kesempurnaan. Sangkan paraning dumadi juga dimaknai suatu ajaran yang tempatnya tidak di dalam alam kawruh yang menangangi kanoragan, melainkan menangani gerak rohani untuk menyatu di dalam arus kehidupan secara benar-benar hidup sebagai kenyataan hidup sejati. Dalam konsep sangkan paraning dumadi atau manunggaling Kawula Gusti, yang pertma harus diperhatikan ialah pandangan mengenai ulah sukma dalam upaya mengetahui, mengerti, memahami, dan menilai segala kejadian yang merupakan ulah daya hidup sukma. Dalam hal ini terlihat bahwa filsafat Jawa menunjukkan perbedaannya dengan filsafat Barat. Dalam filsafat Barat berpihak pada daya pikir, bahkan daya pikir merupakan dasar eksistensi manusia, sesuai dengan apa yang dikatakan Descrartes cogito ergo sum yang berarti saya berfikir, karena itu saya ada. Pernyataan ini dapat dikatakan bahwa adanya segala yang terjabar di dalam semesta ini adanya adalah karena pikiran. Dengan demikian dasar berpijak filsafat Barat berbeda dengan filsafat Jawa yang menunjuk percaya sebagai dasar mengetahui, memahmi tentang segala yang terjabar di dalam alam semesta.
Filsafat Jawa tentang asal dan arahnya yang ada atau ngelmu sangkan paraning dumadi dalam Serat Centhini tercermin dalam wejangan Seh Amongraga tentang asal-usul manusia di dunia. Wejangan Seh Amongraga menyebutkan manusia diciptakan di dunia ini harus tahu asalnya. Barang siapa tahu dirinya, sesungguhnya itu tahu Tuhan. Isi kitab Ihya Ulumuddin menyatakan hendaknya semua manusia berebut ilmu pengetahuan dan wajib untuk mengetahui diri dan mengenal Hyang Suksma. Diceriterakan dalam kitab Ajadulngibat, subkana wa tangala, Hyang Maha Suci menciptakan manusia, akhadiyat dan takyun, tiada beradab tempatnya, wujud warna, bau, dan rasa belum ada di tempatnya tetapi sudah pasti kehadiran-Nya, nukat dan gaib.
Dalam 40 hari, gaibul guyub namanya, alamnya alam lahut, gelap tempatnya, gelap kalbunya. Hadir dalam waktu 40 hari lagi, wahdat kun diam sabda-Nya. Pusat kun dalam uluwiyah masih remang-remang, masih samar-samar dan tidak terang kalbunya. Selanjutnya, 40 ketiga wakidiyat kun ahya,artinya darah baru melekat di tempatnya, gaib uwiyah menunjukkan terangnya kalbu. Keempat, 40 hari selanjutnya adalah alam arwah dan daging barulah melekat. Selanjutnya 40 hari lagi adalah alam ajesan, sudah berwujud tetapi belum jelas. Empat puluh hari yang keenam adalah alam mitsal, saat itulah sudah mulai jelas seluruh tubuhnya, pria wanitanya, namun berhakikat sama. Empat puluh hari yang ke tujuh adalah alam insan kamil, martabat manusianya sudah sempurna dan sudah berpisah jaraknya. Setelah yang sembilan bulan sepuluh hari, sudah jadilah syarat dan sifat manusianya, kemudian ditulislah batas usianya, keuntungan dan kemalangannya, kaya miskin, besar kecil, tinggi pendek, mulus cacat, jelek baik, sudah ada di dalam duryat kebahagiaan dari kodrat Illahi. Setiap manusia ditunggui malaikat yang diberi tugas menunggui di dalam tubuh manusia sampai lahir di dunia. Setelah lahir, manusia dikaruniai alat ucap dan pendengar, penglihat dan pencium, dan dilengkapi pula dengan budi pekerti. Manusia diciptakan melebihi sesamanya, yaitu semua yang diciptakan di dunia. Maka, hendaklah manusia bersyukur kepada Hyang Widi. Hanya manusialah yang banyak kenikmatannya. Oleh karena itu, sebagai manusia harus bertabiat yang baik. Menurut dalil, jangan lalai dalam pengetahuan, jika lalai sesatlah yang akan ditemui (Marsono-VII, 2005: 93­96).
Selain ngudi kasampurnan dan sangkan paraning dumadi, dalam filsafat Jawa terkandung pandangan hidup berupa hidup berselaras (Soenarto-Timur, 1996:40). Soenarto- Timur mengutip ajaran Sosrokartono sebagai berikut:
Menawi kula ajrih, rak kirang mantep kula dhateng Gusti kula. Payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula. Namung kula mboten kenging nilar pathokan waton kula piyambak utawi supe dhateng maksud lan ancasipun agesang, inggih punika ngawula dhateng kawulaning Gusti, lan memayu ayuning urip. Ingkang tansah dados ancasipun lampah kula mboten sanes namung sunyi pamrih, puji kula mboten sanes namung sugih, sugeng, senenging sesami. Prabot kula mboten sanes badan lan budi. Lampah kula tansah anglampahi dados kawulaning sasami, tansah anglampahi dados muriding agesang, wajib tiyang gesang sinau anglaras batos saha raos.
Terjemahannya sebagai berikut:
Kalau saya takut, saya tidak mantap dengan Tuhan saya. Perlindungan saya Tuhan saya, tameng saya ya Tuhan saya. Tetapi saya tidak boleh meninggalkan pedoman saya sendiri atau lupa dengan maksud dan tujuan hidup, yaitu mengabdi kepada sesama umat Tuhan dan berusaha menjaga kelestarian hidup. Yang selalu menjadi tujuan hidup saya tidak lain adalah menjauhkan dari keingingan, doa saya tidak lain hanya memiliki harta, keselamatan, membuat senang pada sesama. Peralatan saya tidak lain adalah badan dan budi/watak. Perilaku saya selalu berlaku sebagai sesama hidup, selalu melakukan sebagai murid yang membuat hidup, wajib selalu sebagai makhluk hidup untuk hidup berselaras secara batin dan rasa (Sosrokartono dalam Soenarto-Timur, 1996:39).
Ajaran Sosrokartono sebagaimana dikutip di atas menunjukkan pentingnya faktor aku dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Bahwa manusia hidup di dunia berpusat kepada aku. Aku adalah pusat kehidupan semesta. Kehidupan semesta dengan segala isi dan fenomenanya tercetak menurut pola yang ada pada aku, tidak boleh meninggalkan pedoman yang ada pada diri aku. Alam semesta merupakan kesatuan utuh yang terdiri atas berjuta-juta aku lainnya yang menghuni permukaan bumi, yang satu dengan lainnya berbeda, yang memiliki kewenangan masing-masing dan memiliki titik pusatnya terhadap kehidupan semesta yang utuh. Manusia tidak hidup sendiri, melainkan hanya mampu mengatur hidup masing-masing selaras dengan masyarakat serta alam lingkungannya. Selain mengandung makna mengingatkan manusia agar menghormati kepentingan sesama hidup serta lingkungannya, juga mengandung ajaran pengakuan adanya Tuhan yang merupakan sumber dari segala sumber kehidupan semesta, payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula (Soenarto Timur, 1996:40-42).
Hubungan Tuhan, manusia, dan alam semesta digambarkan juga oleh Ciptoprawiro (1986:23) bahwa Tuhan tidak dibayangkan seperti apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh tidak ada perbatasan: dat kang tan kena kinayangapa, cedhak tanpa singgolan, adoh tanpa wangenan. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya menggambarkan sifatnya, seperti Sang Hyang Taya, Wenang, Tunggal. Manusia terdiri dari unsur-unsur yang menjadi sarana kembali, jasmani dan rohani. Jasmani kakang adhi ari-ari: air ketuban dan plasenta, lubang sembilan, dan panca indera. Rohani sedulur papat kalima pancer (empat saudara dan penuntun sebagai saudara kelima). Nafsu empat: mutmainah, amarah, lauwamah, dan supiah. Aku dengan kodrat kemampuan cipta rasa karsa. Pribadi atau ingsun suksma sejati sebagai penuntun aku. Sukma sejati merupakan percikan Tuhan atau Suksma Kawelas. Kembali kepada Tuhan disebut pulang kepada asal, mulih-mula-mulanira. Alam semesta atau dunia penuturan tentang penciptaan dunia (kosmogoni) dan gambaran dunia (kosmologi) berbentuk beraneka ragam dengan unsur-unsur budaya Hindu, Budha, dan Islam.
Filsafat Jawa tidak bisa dilepaskan dari filsafat moral Jawa yang telah diteliti oleh Magnis-Suseno (1983:108-110), antara lain disimpulkan etika norma-norma Jawa hanya berlaku secara relatif, norma-norma itu memang berlaku, tetapi tidak mutlak. Tidak satu pun norma- norma moral Jawa boleh dipegang secara mati-matian, tidak satu norma pun dapat memberi orang hak untuk melibatkan diri secara seratus persen. Masyarakat Jawa mengembangkan daya ikat norma-norma moral agar menemukan batasnya pada prinsip kerukunan. Siapa yang berdasarkan norma-norma, misalnya keadilan melibatkan diri kepada sesama secara emosional sehingga melampaui batas yang ditentukan oleh kode etika situasinya sendiri, seseorang mengejar sesuatu yang kurang enak. Orang itu berusaha melampaui batas-batasnya sendiri. Norma moral Jawa berada dalam relativitas, seperti ketelitian, keberanian moral, kecondongan untuk berfikir dengan jelas dengan independensi moral. Filsafat moral Jawa mengandung keutamaan-keutamaan moral yang tercermin pada sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, yaitu kesediaan untuk melepaskan diri. Sikap-sikap itu adalah kesabaran, kerelaan untuk menerima segala-galanya untuk melepaskan apa yang dimiliki. Relativitas baik dan buruk tidak lagi mutlak bertentangan satu sama lain, yang jahat, yaitu adanya kehendak yang tidak mengikuti norma- norma moral, tidak dapat dikutuk begitu saja, melainkan harus dianggap sebagai akibat tak terelakkan dari suatu perkembangan rohani yang masih kurang, dan selain itu sebaiknya dianggap sepi saja, mengingat kenyataan bahwa toh setiap orang mengikuti jalan yang sudah ditentukan baginya.
Ciptoprawiro (1986:26) menjelaskan dalam etika Jawa atau filsafat moral, baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma di dalam pelbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu: mutmainah, amarah, lauwamah, dan supiah. Keinginan baik (mutmainah) akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarah-lauwamah-supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Asumsi tujuan hidup manusia adalah kasampurnan, akan terjelma sifat Illahi dengan tercapainya manunggaling kawula Gusti, maka pertentangan baik buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran, yang juga disebut kadewasan jiwa, kedewasaan jiwa manusia. Kesusilaan tidak lepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang menentukan laku susilanya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan watak-watak pendeta, pandhita- ratu, satria, diyu, dan cendhala. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaku hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahirnya.
Dasar-dasar filsafat Jawa dapat dilihat dari empat bangunan filsafat, yaitu metafisika, ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Sebagaimana dijelaskan pada Bab II bahwa metafisika berasal dai bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Metafisika adalah ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini, metafisika digunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi. Metafisika dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.
Ciptoprawiro (1986: 22-24) menjelaskan metafisika Jawa sebagai berikut:
Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta) — Tuhan — Manusia—, dapat dianggap sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Karena hasil ini dinyatakan berupa penuturan dengan kata (verbal) dan tersusun secara sistematis, maka dapat disebur filsafat dalam arti sempit. Ciri-ciri dasarnya adalah (1) Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak, (2) Alam semesta merupakan pangejawantahan Tuhan, dan (3) Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan, yang biasanya disebut kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.
Pemikiran filsafat bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Bukan dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran, (1) sangkanparaning dumadi: awal —akhir alam semesta, (2) sangkan paraning manungsa: awal - akhir manusia, dan (3) dumadining manungsa: penciptaan manusia. Pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh atau mengerti sangkan paran. Fisafat Jawa sepanjang masa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi dan manungsa, yang berarti (1) awal berarti berasal dari Tuhan dan (2) akhir berarti kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali pada asalnya atau Tuhan dilakukan baik dengan jalan jasmani maupun rohani, atau jalan lahir maupun jalan batin.
Pada bagian lain, Ciptoprawiro menjelaskan tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta sebagai berikut:
(1)      Tuhan: Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh tiada perbatasan, dat kang tan kena kinayangapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan. Dalam rumusan Barat adalah imanen - transenden. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya menggambarkan sifatnya, seperti Sang Hyang Taya, Wenang, dan Tunggal.
(2)      Manusia: unsur-unsur yang menjadi sarana kembali jasmani, kakang kawah, adhi ari-ari; air ketuban dan plasenta, lubang sembilan, dan panca indera. Rohani sedulur papat kalima pancer: empat saudra dan penuntun sebagai saudara kelima. Nafsu ada empat: mutmainah, amanah, lauwamah, dan supiah. Aku dengan kodrat kemampuan cipta, rasa, dan karsa. Pribadi (self) atau ingsun, sukma sejati, sebagai penuntun aku. Sukma sejati merupakan percikan Tuhan atau Sukma Kawelas. Kembali kepada Tuhan juga disebut pulang kepada asal: mulih -- mula -- mulanira.
(3)      Alam semesta (dunia): penuturan tentang penciptaan dunia (kosmogoni) dan gambaran dunia (kosmologi) berbentuk beraneka ragam dengan usnur-unsur budaya Hindu. Budha, dan Islam, yang sangat menonjol adalah susunan hierarkhi di dalamnya.
Pandangan tentang metafisika Jawa yang merupakan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta juga diungkapkan oleh Koesbandriyo (2007:14-20) yang menyatakan bahwa metafisika Jawa mempunyai karakteristik: pertama, pengakuan tentang kemutlakan Tuhan, kedua, Tuhan yang transenden imanen di alam dan pada manusia, dan ketiga, alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan yang bisa disebut kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.
Ungkapan metafisika ini dapat dilihat dealam naskah-naskah sastra Jawa. Koesbandriyo
memberi contoh dalam Serat Centhini I, pupuh 345 sebagai berikut:
Sang wirya kalih kang kantun Tapakur ing dikir Tanjeh ing oanaul Tan kalingan wus kalingling Linglungpagut kejumbuhan Loro-loroning atunggil
Tan pae paekanipun Kaula kelawan Gusti Neng sajroning kaenangan Enange oneng ening Pawore tunggal kahanan Aneng anane pribadi.
Terjemahan bebas sebagai berikut:
Kedua tokoh yang tinggal (yakni Seh Amongraga dan Jayengwresthi) melibatkan diri
dalam semedi dan dikir. Mereka melepaskan diri dari segala ikatan dan memasuki tahap
pelenyapan diri yang total. Mereka memandang tanpa tirai. Lepas dari ikatan indera mereka
mempersatukan diri dengan Tuhan, “loro-loning atunggil’. Dalam keadaan seperti itu tak ada
lagi perbedaan antara kawula lan Gusti (manusia dan Tuhan), dalam keadaan sunyi sepi mereka
bergaul dalam kemanunggalan kodrat, dalam ada itu sendiri.
Dalam contoh yang lain, yaitu Serat Wirid Hudayat Jati mengungka-kan tentang sifat-
sifat Tuhan sebagai berikut:
Ingkang Esa iku nyata siji
Siji-siji sawiji kang Esa
Yeku kita sejatine
Makaten nyatanipun
Kang ngendika wus tanpa lathi
Satuhu amung purba lamun karsa iku
Anggada wus datanpa karna
Lamun dulu tanpa netra yekti Muhun waskita iku jatine Kang sarta tan arah lire Tanpa enggon punika Tanpa rupa datanpa warni Sawawi para kadang Mitra sadeyeku Makaten minggah ing kula Rening gaib tan keni kinira dening Wus nir kinaya ngapa Terjemahan bebas sebagai berikut:
Yang Esa itu sungguh satu, yakni benar-benar hanya satu, yaitu kita sesungguhnya, demikian kenyataannya. Dat yang bersabda tanpa mulut, hanya niat saja. Mencium tanpa hidung, hanya menyengaja saja. Mendengar tanpa telinga. Bila melihat, tidak dengan mata, itulah yang disebut waskita (awas). Tuhan tiada arah, artinya tiada tempat. Tiada rupa dan tiada warna. Demikian pendapatku, terserah pada penilaian kalian. Karena gaib tiada diperkirakan, dan tak dapat diserupakan dengan apa pun.
Contoh lain adalah konep dualisme realitas yang dapat dilihat pada Tembang Gambuh berikut ini.
Sapantuk wahyuning Allah Gya dumilah manulah ngelmu bangkit Bakat mikat reh mengukut Kukutane jiwangga
Kang mangkono kena ingaran wong sepuh Liring sepuh sepi hawa Awas loroning atunggal
Terjemahan bebas sebagai berikut:
Barang siapa mendapatkan wahyu Illahi, ia akan segera memiliki kemampuan luar biasa untuk mempelajari ilmu. Dan ia akan mampu mendapatkan dan menguasai tata tertib bersemedi, yaitu dengan menyingkirkan dan menghentikan kerja-kerja jiwa dan raga. Kondisi manusia yang demikian ini dapat dikatakan sebagai tua. Artinya tua yaitu terbebas dari hawa nafsu, dan waspada terhadap adanya dua macam anasir yang sebenarnya ke-dwi tunggal-an.
Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa dalam filsafat Jawa selalu bermuara pada titik akhir, yaitu Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang sering disebut sangkan paraning dumadi. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia harus menunjukkan suatu citra harmonis, kesempurnaan manusia akan terwujud bilamana telah melepaskan diri dari ke- aku-annya dengan tidak terbelenggu dengan dunia.
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ontologi merupakan bagian dari filsafat yang paling umum. Ontologi merupakan metafisika umum, yang mempersoalkan adanya segala sesuatu yang ada.
Ontologi dalam filsafat Jawa, misalnya dapat dilihat dalam Serat Centhini yang berangkat dari kenyataan yang sungguh-sungguh ada. Hal itu dapat dilihat dari awal tujuan penulisan Serat Centhini. Dalam Serat Centhini jilid satu, disebutkan putera mahkota kerajaan Surakarta Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III memberi perintah kepada juru tulis Sutrasna, untuk memaparkan segala pengetahuan Jawa yang dapat digunakan sebagai induk (babon) semua pengetahuan Jawa (pangawikan Jawi) dalam gubahan cerita yang dituangkan dalam bentuk tembang, agar tidak menjemukan tetapi menyenangkan pendengar, seperti dalam teks tembang berikut ini:
Sri narpadmaja sudigbya, talatahing nuswa Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik, Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tumrap kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.
Lejere kanang carita, laksananing Jayengresmi, ya Seh adi Amongraga, atmajeng Jeng Sunan Giri, kontap janma linuwih, oliya wali majedub, paparenganing jaman, Jeng Sultan Agung Mentawis, tinengeran srat kang susuluk Tambangraras.
Karsaning kang narputra, baboning pangawikan Jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi, nemlikur Sabtu Pahing, lek Mukaram wewarseku, Mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama dewa ri, Amawulu Wogan Suajang sumengka.
Pancasudaning satriya, wibawa lakuning geni, windu Adi Mangsa Sapta, sangkala angkaning warsi. Paksa suci sabda ji, rikang pinurwa ing kidung, duk kraton Majalengka, Sri Brawijaya mungkasi, wonten maolana sangking nagri Juddah.
Terjemahan bebas sebagai berikut:
Putera mahkota kerajaan Surakarta Adiningrat di wilayah Jawa, memerintahkan kepada juru tulis, Sutrasna, untuk menggubah sebuah cerita, yang berisi segenap penhetahuan Jawa, yang dihimpun dalam tembang, agar menyenangkankan yang mendengar.
Pokok cerita tentang perjalnan Jayengresmi, ya Seh Amongraga, putera Sunan Giri, yang termasyur sebagai wali, di jaman Sultan Agung Mataram, yang diberi judul Suluk Tambangraras.
Kehendak sang putera mahkota, menjadi induk pengethuan Jawa, diuraikan dalam bentuk ceritera, penulisan dimulai hari Sabtu Pahing, tanggal dua puluh enam tahun Mukharam, wuku Marakeh, dewa Hyang Surenggana, padewan Batahara Yama, paringkelan mawalu, pandangon wogan.
Pancasuda satriya wibawa jalannya api, windu Adi, mangsa tujuh, sangkala angka tahun 1724, ketika memulai menulis tembang, jaman karaton Majalengka, raja terakhir Brawijaya, ada maulana dari Jeddah.
Berdasarkan empat bait tembang tersebut, jelas bahwa apa yang diuraikan dalam Serat Centhini berangkat dari sesuatu yang ada, yaitu segala pengetahuan Jawa yang lengkap dan menyeluruh. Darusuprapto (1991:3) dalam saduran Serat Centhini jilid satu, menyebutkan jenis pengetahuan Jawa antara lain mengenai hal ikwal yang bertalian dengan agama, mengenai beraneka ilmu: kebatinan, kekebalan, perkerisan, perumahan, dan pertanian; berbagai kesenian: kesusasteraan, karawitan, dan tari; bermacam primbon: perhitungan baik buruk hari atau waktu berjampi-jampi; berbagai jenis masakan makanan; adat istiadat dan cerita yang bertalian dengan peninggalan bangunan kuna setempat, dan sebagainya. “Mengingat luasnya pengalaman jasmani dan rohani yang dipaparkan dalam Serat Centhini, sudah pantas kita menyebutnya sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa, yang sebagian besar mengandung kenyataan yang masih terdapat pada masyarakat Jawa dewasa ini” (Darusuprapto, 1991:v). Apa yang tertulis dalam Serat Centhini merupakan realitas kehidupan masyarakat pada saat Serat Centhini itu ditulis, yaitu sekitar tahun 1814 Masehi. Serat Centhini merupakan bagian dari karya sastra yang menggambarkan realitas kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren (1989:109) bahwa sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Realitas kehidupan masyarakat yang berupa konsepsi kehidupan masyarakat yang berkembang dan digunakan oleh masyarakat pada saat Serat Centhini ditulis. Serat Centhini ditulis dengan cara mengumpulkan data langsung dari seluruh wilayah Jawa, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai Jawa Barat, bahkan untuk pengetahuan agama Islam terlebih dahulu menugasi anggota penulis untuk naik haji. Tugas ketiga pujangga adalah R.Ng. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur dari Surakarta melalui Jawa Tengah bagian utara ke Banyuwangi, kembalinya lewat bagian selatan, R.Ng. Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa Tengah sebelah utara, melalui Surakarta sampai Anyer, Banten, berangkat lewat Jawa Tengah utara, kembalinya lewat bagian selatan, dan R.Ng. Sastradipura bertugas menguraikan segala sesuatu soal ilmu agama Islam, terutama ilmu Tasawuf. Tugas para pujangga itu untuk melihat, mendengarkan, menyelidiki, mendalami, dan mencatat segala sesuatu yang dijumpai dalam penjelajahannya (Kamajaya, 1996:4-5).
Contoh pengetahuan tentang yang ada yang digunakan sebagai pedoman masyarakat pada masa itu adalah konsepsi pengetahuan memilih jodoh yang diuraikan Ki Ajar Sutikna kepada Cebolang, sebagaimana disebutkan pada pupuh 187, bait 30-32, kata Ki Ajar, “Jika kamu akan memilih wanita yang baik, pantas dijadikan istri, silakan merenungkan makna kata-kata bobot, bebet, dan bibit. Kata bobot bermaksud hendaknya memilih wanita sejati, yang dilihat dari silsilah keturunan ayahnya, ada tujuh macam dan salah satu dapat menjadi syarat pilihan. Selanjutnya dijelaskan pada pupuh 188, bait 1 sampai dengan 44 ada tujuh macam, yaitu: (1) berdarah bangsawan, keturunan para raja Jawa yang sewaktu hidup mempunyai kedudukan tinggi, (2) keturunan orang beragama, keturunan para ulama yang ahli kitab dan maknanya, (3) keturunan pertapa, keturunan para pendeta yang melakukan tapa, (4) keturunan sujana atau orang baik, keturunan orang yang berulah ilmu budaya, ketajaman rasa, dan kebijaksanaan, (5) keturunan orang pandai, orang yang pintar dalam segala pekerjaan, berulah kecekatan dan keterampilan, (6) keturunan perwira, keturunan prajurit yang mahir berperang dan terkenal keberaniannya, dan (7) keturunan orang supatya, keturunan petani yang rajin, tangguh, dan patuh. Kata bebet yaitu syarat bagi orang tua wanita, hendaknya dipilih orang supadya, yaitu orang yang banyak harta benda dan selalu mau memberi dana kepada orang miskin serta orang yang banyak beruntung sepanjang hidupnya. Kata bibit, yaitu syarat bagi wanita yang baik dijadikan istri. Hendaknya dipilih wanita yang baik parasnya dan banyak kepandaiannya. Ada 21 macam, yaitu (1) wanita bongoh tampak indah menyenangkan, tubuh wanita itu berseri, gemuk lagi kuat. Orang yang memperistri merasa puas. Wanita yang berciri demikian biasanya bijaksana, dapat membuka keinginan untuk bercinta, (2) sengoh, berkulit kuning, banyak senyum memberahikan. Wajah wanita itu berseri agak gemuk. Orang yang memperistri merasa sedap dan senang memandangnya, (3) plongeh, senyum, wanita itu tampak agak banyak tersenyum. Wanita yang berciri demikian berwatak setia dan rela, tingkah lakunya menarik hati, bersahaja sikapnya, wanita yang demikian mempesona, orang yang menghadapinya kagum memandangnya, (4) ndemenakake, menyenangkan. Sinar muka, sinar mata dan tutur katanya mengenakkan hati.
Orang yang memperistri akan tertarik hatinya. Penampilan dan tingkah lakunya tidak angkuh. Wanita yang demikian membuka hati dalam bercinta, (5) sumeh, manis sering tertawa, pancaran wajahnya berhati sabar. Wanita yang demikian membangkitkan rayuan, (6) manis, manis air muka dan kocak matanya membuat orang terpesona karena mengandung perbawa, (7) merakati, menarik hati. Pandangan mata dan lafal bicara menarik hati. Orang yang memperistri senang karena daya rahasia yang tersembunyi. Wanita yang demikian dapat membangkitkan orang memandang dan mendengar bicaranya, (8) jatmika, sopan santun. Orang yang memperistri menjadi tenang, jernih pikiran dan dapat membuka jalan penalaran yang benar, (9) susila, berbudi baik. Sikap bicara dan pandangan mata, tingkah laku, berbudi baik, dan serba ikhlas, (10) kewes, terampil bicara. Roman muka manis, sikap tegas dan tajam pandangannya, membuat tertarik bagi yang diajak bicara, (11) luwes, bila berbicara fasih dan lentur gerak-gerik anggota tubuhnya, (12) gandhes, tutur kata dan tingkah lakunya menarik hati. Wanita yang demikian membangkitkan rasa senang, (13) dhemes, tenang sikap dan tutur katanya, serta sopan tingkah lakunya. Wanita yang demikian membangkitkan rasa senang, (14) sedhet, bentuk dan tinggi wanita itu sedang, cekatan bertingkah dan tidak tercela, (15) bentrok, wanita itu bertubuh besar, tinggi dan berisi, tampak serba seimbang, (16) lencir, wanita yang bertubuh tinggi semampai menarik hati, anggota tubuh bulat berisi, (17) wire, ialah wanita yang bertubuh kecil serasi, anggota tubuh ketat dan tidak bercacat, (18) gendruk, wanita yang bertubuh besar, seimbang, tetapi agak kendor, (19) sarenteg, wanita yang bertubuh agak tinggi dibanding dengan besar tubuhnya. Anggota tubuh berisi, gemuk buah dadanya, (20) lenjang, wanita yang bertubuh agak kecil, tetapi tinggi, dan (21) rangkung, wanita bertubuh besar, kurang tinggi, agak kerempeng (Darusuprapto, 1994:53-55).
Serat Centhini dilihat dari kuantitas kenyataan termasuk bagian dari monisme, yang menurut Bakker (1992:30), dalam pandangan filsafat Jawa, semua berada dalam kesatuan dengan Tuhan, entah itu tata alam, langit, atau Dewa. Kesatuan itu masih sementara di dunia, tetapi permanen di akhirat, jumbuhing atau pamoring kawula-Gusti adalah surga. Penjelasan tentang manusia dan Tuhan terdapat pada wejangan Seh Amongraga tentang zat, sifat, asma, dan af al, serta wujud, ilmu, nur, dan suhud. Zat itu satu tidak mungkin mendua. Sifat tentang keindahannya yang tidak mungkin dibandingkan. Asma ialah abadi, sedangkan af al itu pasti. Wujud adalah adanya kita ini dan adanya Tuhan. Ilmu ialah ilmu yang sesungguhnya tahu tentang sifat Tuhan. Nur adalah hidup kita karena asma Allah. Suhud adalah kenyataan kematian manusia karena af al Allah. Wujud manusia adalah zat Allah, ilmu manusia sifat Allah, nur manusia asma Allah, dan suhud manusia af al Allah (Marsono-VI, 2005: 116-118).

No comments: